A letter from me to me

2
17:33
Dear Rahma,
We’ve been together in 24 hours for 19 years. We’ve been through a lot of things together. But, this is the first time I send you a letter.
The purpose of this letter is to warn you. No warning? Well, okay, you can read it ‘remind’. I’d like to remind you about your improper act. Your bad habit is in aserious condition: forgetting, losing, or breaking. Let’s see the list you’ve made.

ü  flash disk  were lost : five times
ü  mobile phones were lost : twice
ü  mobile phone was broken : once
ü  glasses was broken : once
ü  TV remotes were broken :  twice
ü  sandals  were washing away : twice
ü  dishes were broken :  ten times (or even more)
ü  homework and task were forgotten : many times (I’m not sure to mention a particular number)
ü  the things (you’ve put in somewhere) were forgotten though it’s already put 1 minute ago : hundred times

I believe that you don’t want these. I do believe that losing two mobile phones is not something you have planned. I believe that you must be regretful or even upset. But, what’s so important of your regretful? You yourself still do the same thing. Repeatedly. Continuously.
Rahma, you’ve been in a college. See? You must take responsibility of yourself, no more careless acts. The list above can be longer if you don’t try to change your behavior. What I can do are just reminding and giving some advice. Make a note, sist. Yes, it’s like to-do list. Try to list something that you have to do today, then do them all. Hope you can remember that you have to submit your task on Monday, for instance. And the most important is be careful. Be careful in doing everything, be careful in putting everything. You can’t put your mobile phone anywhere or it will be three times you cause your mobile phones to lose. Yes, be careful. May I repeat it? Be careful!
I believe you can. You are be able to throw your improper acts off. I bet it. And now, it’s the time for me to watch your efforts!

Inside of you,

Rahma.

2 comments:

kau... kini berbeda...

0
17:24

Sebuah episode selalu menghadirkan cerita. Beberapa ratus jengkal kisah yang lalu, semua sapa tersampaikan, semua cerita mengalir. Ketika asa bertemu idealisme, dan lantas egoisme berbicara,  semua cerita masih mengalir, semua sapa selalu tersampaikan, tawa seperti tak habis-habisnya terlontar. Klasik dan hangat.

Sayangnya, aku kini berada di episode ini. Sungguh seperti tak ada episode yang lalu, seperti kita hanya tiba-tiba dipertemukan pada episode ini saja. Tak ada sapa. Dan ketika nyaman sudah tak berpendar lagi, lalu kuurai salam, kuhembuskan nafas persahabatan. Balasannya? Ini bukan episode happy ending

Jahat sekali ketika tanpa penjelasan yang gamblang, kau tiba-tiba tampak tak bertelinga. Menjawabpun tidak, mendongak apalagi. Tapi kau masih bertelinga, buktinya kau bisa dengan senang hati mendengarkan yang lain, memainkan kisah, menyertakan ceria. Kenapa hanya aku yang tak kau ajak cerita? Kenapa hanya salamku yang tak kau jawab? Kenapa setelah episode-episode yang lalu begitu bersahabat, kini episode ini sangat pekat? Klasik dan gersang. 

0 comments:

Partisipasi Aktif: Mempelajari dan Mengajari Budaya

0
17:20

Batik, Reog Ponorogo, tari Folaya, lagu daerah Rasa Sayange, Hombo Batu, alat musik Angklung, dan tari Pendet merupakan kebudayaan bangsa yang hampir diketahui oleh semua warga negara Indonesia. Sayangnya, hasil kebudayaan ini baru dikenal luas dan dianggap istimewa ketika justru ada klaim yang dilakukan negeri tetangga bahwa semua budaya tersebut adalah milik mereka. Seni daerah tersebut baru benar-benar dipromosikan ketika justru lebih dahulu ada promosi international visit dari negeri yang bersangkutan untuk menarik wisatawan asing berkunjung ke negaranya.

Masyarakat Indonesia cukup reaktif dalam menganggapi hal ini. Jumlah klaim yang dilakukan negara tersebut atas budaya yang dimiliki di Indonesia masih terhitung beberapa, namun upaya-upaya yang mulai digalakkan untuk melestarikan budaya Indonesia semakin berkembang. Diantara banyak langkah yang bisa dilakukan, upaya terkonkrit datang dari kaum intelektual, termasuk mahasiswa.

Konsekuensi dari posisi menjadi seorang mahasiswa, adalah seorang agen. Agen penjaga budaya. Maka tidak berlebihan jika diharapkan upaya penjagaan budaya hendaknya bisa digawangi oleh para mahasiswa itu sendiri. Peran mahasiswa dalam rangka melaksanakan penjagaan terhadap budaya ini dapat secara sederhana dirumuskan dengan satu frasa: Partisipasi Aktif.

Pada dasarnya, usaha mempromosikan hasil budaya, menggelar pertunjukan kesenian daerah, mengadakan kompetisi membatik, ataupun usaha-usaha lainnya merupakan suatu bentuk kepedulian mahasiswa yang langsung dilaksanakan dalam wujud partisipasi aktif. Ketidakantipatian itu setidaknya mampu menginisiasi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mau MEMPELAJARI dan MENGAJARI budaya kita sendiri pada generasi selanjutnya.

Isu pengklaiman sekaligus pelestarian budaya hanyalah akan jadi isu semata bila tidak ada langkah konkrit. Diawali dari partisipasi aktif mahasiswa mempelajari dan mengajari budaya, diharapkan kebudayaan Indonesia akan terus terwarisi dan lestari.

*   Tenang, tanda bintang ini tidak seperti yang Anda jumpai di sampo ‘jika digunakan untuk keramas setiap hari pada rambut kering berketombe.’ Tanda bintang ini hanya ingin berkata bahwa tulisan ini disusun sebagai syarat penerimaan anggota baru Limlarts FBS UNY, unit kegiatan mahasiswa di bidang penelitian. Maunya nulis esai eh malah kagak tau esai yang kayakmana, ya beginilah…

0 comments:

Speaking I, Speaking II, Speaking III

0
01:50

Kalau Biologi punya Biokimia, Matematika punya Integral, lalu Fisika punya Kesetimbangan Benda Tegar, maka bahasa Inggris punya Speaking. Hal yang membuatmu paling tidak mengingatnya sebelum tidur dan ketika kau terbangun, maka akan berdebar-debar, demi hari itu kau akan hadapi salah satu dari mereka. Hal selanjutnya yang entah wajar atau tidak─ dialami adalah nggereges-nggreges, tangan kaki dingin, deg-degan kenceeng banget, sama yang paling nyebelin perut mules. Udah kayak ada yang bending aja di lambung hehe

Silly. Kayak nggak ada yang lebih penting buat diparnoin. Kenapa mesti speaking aku juga nggak tau. Let’s make it clear, speak = berbicara. Bound morpheme –ing yang ditambahin bikin kata kerja ini jadi kata benda, bicara. Na kalo di English skill, maka jadinya adalah pelajaran bicara. Silakan heran saat kemampuan berbicara yang udah dari dedek bayi diajarkan dan selanjutnya berkembang sampai sekarang, tapi kenapa musti ditakutin.

Jijah       : “… speaking itu fun banget ya, kayak main aja kalo kuliah ini”
Aku        : “Izzit? Speaking aku malah sebel”
Jijah       : “Hah? Kenapa? Udah suruh ngobrol doang, tugasnya gampang-gampang, nilainya enak,
dosennya bule lagi!”
Aku        : “Nggak. Kenapa mesti pelajarannya ngobrol, tugasnya bikin deg-degan, tambah-tambah ada bule masuk kelas”
Jijah       : “Takut bule? Mereka kan malah enak diajak ngobrol”
Aku        : “Sebel bule. Enak apaa? Bikin sepanjang kuliah jantungnya dhum dhum dhum lha iya”
Jijah       : “Waa… berarti kamu seneng ama bulenya malah? Ceiyeee, seneng aja bilang sebel..”
Aku     : “Kalo seneng ama bulenya udah aku pentengin aja tu Mr. Orin, Mr. Tamas. Rileks banget kalo kuliah speaking, hobi banget kalo disuru maju. Nah ini jah, deg-degn terus tiap Kamis pagi”
Jijah       : “Hahah, iyaya dari dulu Speaking Kamis. Tapi lebay lu ma!”
Aku      : “Beneran. Inaaang… Makul paling nyebelin ya Speaking. Nek ngerjakke tugas we aku ngresula wae jah, mlebu keas karepe mbok koyo arep ngiolang-ngilango, nggak nyaman pol. Dari dosennya masuk sampe keluar rasane kaku tenan”
Jijah       : “Hha.. what makes you do that? Nothing is wrong with speaking”
Aku       : “It is. I can’t blame speaking nor I can blame lecturers. The one and only who can be blamed is me. I myself.”
Jijah       : “You yourself, rite? Try to find it out then, what is it makes you hate speaking?”
Aku      : “Don’t know. Hearing such a noun, yaa… ‘speaking’ is very annoying. Like you’ve threatened to face face something. To do something. You have to speak.”
Jijah       : “So what’s wrong if you have yo speak in the speaking class?”
Aku        : “Enggak, maksudnya …”
Jijah     : “Is there something annoying when you have to just speak? I bet you’re good in it. You can speak…”
Aku        : “Of course I can speak!”
Jijah       : “You can speak English well…”
Aku        : “I can’t”
Jijah       : “You lie. Last speech you presented in the final exam? You can”
Aku       : “Jah, not fair nooo. It can’t be determined by such a test. I’m not comfortable speaking English. The main problem is I have to force myself to say something”
Jijah       : “I suppose that it is what people normally do. They talk, they force their mouth to open”
Aku      : “You know the context. I feel that you, the others, enjoy speaking class very much. You express your feeling, you talk. Happily.”
Jijah       : “And the question is why didn’t you do that?”
Aku     : “I did, but this is what I called nyebeli. Nggak terlalu suka dipaksa ngomong jah, kalo pengen ngomong ya mbok le ngetuprus yo ngetuprus, lha di speaking aku pengen ngomong. Freely. Tapi jaaah… kadang sebel, awan-awangen yo ho’oh, kadang yo ragu… mbuh ah”
Jijah      : “Lil bit confused.. Doubt? You don’t need to feel it. You do so when you can’t. So, I have no doubt at all. I speak. Whether it’s true or not, indeed I’m thinking about it. But it never forces my mind to do not speak”
Aku        : “That’s the difference. You can…”
Jijah       : Speaking ki gampang yo, Ma.. Rasah digawe angel, ndadak wedi mbarang”
Aku       : “I’ve ever thought that, Jah. And I’ve ever told this to somebody and she gave advice just like what you’ve said. Alas, it didn’t work”
Jijah       : “It works! You are talking to me, in English. You speak freely, rite?”
Aku       : “Jijaaah! Tapi neng kelas ki rasane bedoo… Ra nyaman lah speaking njelehi pokoke”
Jiajah    : “Halah rasamu dhewe ma. Asumsi! You spend your energy to think that speaking itu njelehi. If you do so along speaking class, you will suffer. At least for 4 semesters. Kita bakal ada speaking empat semester, Ma…”

“If you spend your energy to think that speaking itu njelehi, you will suffer. You’ll suffer. Suffer. Indeed I do. Hmm, percakapan setelah kelas speakingnya Mr. Tamas di semester 2 ini sebenernya belum selesai (yang segitu juga udah hasil ringkesan). Menyedihkan menghadapi fakta bahwa sedikit atau bahkan hampir tidak ada yang mengalami, atau sekadar merasakan hal serupa: Sensitivitas pribadi sama Speaking.

Hal yang disyukuri adalah aku tidak bermasalah dengan hasil, hasil dari 3 semester speaking yang sudah ditempuh. Aku, bermasalah dengan proses. Proses yang susah untuk dinikmati. Kalo ngerjain tugas speaking aja yang dirasain cuma ribet, nggak coba merumuskan keuntungan habis ngerjain tugas. Kalo ikut kuliah bawaannya dheg dheg serr, sebel banget kalo udah denger ‘Yes, next, Rahma, please’, suruh share ideas express opinion ogah-ogahan. Kalo mau kelas bukannya semangat tapi malemnya susah merem, paginya gejala masuk angin, mau masuk kelas malah pengin berjumpa WC. Yakin, ini nggak lebay. Ini kayak kalo kamu mau lomba deklamasi pas SD itu lho. Atau kayak di SMA pas upacara ada komando dari protokol ‘Pengibaran Sang Saka Merah Putih’ saat kamu jadi paskibranya. Menderita kan? Iya, kayak gitu rasanya.

Dan yang aku heran, kenapa bagi banyak orang ini menyenangkan? Jadi favorit? 

0 comments:

percik putih abu

0
21:11
Ini adalah tulisan insidental dalam suasana hati yang gombal. Harapannya bisa jadi sebungkus memori monumental. Saat kesal, mengingat masa-masa bengal. Percik putih abu…





Maka tak menjadi gombal bila masa-masa itu begitu dirindukan,“Kangeeen….”








Maka tak menjadi omong kosong ketika perjumpaan begitu gencar diinisiasi, “Ayo pada ngumpul yuk!”










Maka tak menjadi berlebihan apabila ingin mengulang episode itu kembali,  "Pengin balik lagi ke SMA..."

0 comments:

Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu (Minggu)

0
20:17
Masih latah sama tema postingan sebelumnya. Jadi, ngepostnya ya SMA lagi, SMA lagi. Abis adiktif. Mencandu. Hmm, SMA, SMA, banyak tugas banyak pelajaran kok tetep long lasting di hati…

Sajak ini pernah mampir di mading. Lalu karena softfilenya hilang, kutulis lagi, walau dengan banyak beda.

HARI, CEREBRUM, dan BUKU PAKET.  

Alur pikir mempersiapkan tenaganya
menghadang Senin
bersiap memasuki rantai karbon
bertemu etil, metil, dan butil
berjumpa isomer cis trans, bersua sifat koligatif larutan

Harus ada Selasa setelah itu
yang menggenggam Hukum Keppler
Termodinamika, Radiasi Benda Hitam, sekaligus Momen Inersia
yang melepas teori Planck karena tak mau ditaklukkan

Tak ada alasan untuk tidak menghadapi geometri di hari Rabu
inilah saatnya sumbu-sumbu otak kita dipermainkan
diintegralkan
dideferensialkan
dihempas kanan hempas kiri
oleh teorema dahsyat Trigonometri

Bahwa Kamis adalah hari makhuk hidup sedunia
saatnya Animalia dan Plantae dielu-elukan
dalam genetika, persilangan dihibrid pemenangnya
dalam biosistematik, Binomial Nomenklatur memimpin
dalam metabolisme, Respirasi yang terdepan

Walau sudah mual, tapi Jumat tetap datang
dibersamai dengan sastra
ya. Susunan kata-kata itu
kelompok huruf-huruf itu, Kawan!
mereka meneror
dengan sintaksis
dengan grammar
dengan formula-formula gila enambelas tenses

selesai?
belum.
masih ada Sabtu sebagai penutup
akhir itu indah, setahuku
tapi tidak bila dipenuhi dengan chord-chord yang mencekik
not-not balok rumit yang katanya, itu seni luar biasa
berisik sekali alto, soprano…..

Selanjutnya, Minggu hanya jeda
untuk menanti teorema
lagi
menanti teorema

0 comments:

Petang. Sabtu. 18. Juni. 2011.

0
20:12

Aku lewati lagi bangunan itu. Setembok tua kalau tidak ingin dibilang lusuh− SMA Negeri 1 Banjarnegara. Seorang anak perempuan berseragam OSIS, ya lengkap dengan dasi dan sabuknya, menyetop bis sekenanya lalu berujar, “Pucang, Mas…”

Lepas itu dia naik bis dari pintu depan. Beruntung bocah ini tak ditolak oleh sang kernet. Jarak yang begitu dekat kerap kali jadi alasan ditolaknya calon penumpang. Selesai? Belum. Baru dari sini akan kumulai narasi. Melihat bocah SMA tadi, alur pikirku langsung berlari mundur ke memori satu sampai empat tahun silam. Wuuss! Sampai pada rantai-rantai ingatan itu, aku berhenti.

Berhenti pada ingatan kostum norak gila MOS tahun 2007. Kresek lorek lorek helm cething. Kalungnya, kawan, masihkah kau ingat rupanya? Atau kalau tidak, baunya? Ugh. Bawang-cabai-kencur. Dan lalu aksi pentas seni? Hmm, tak kalah norak. Sebutir memori inilah inisiasi dari semua.

Hari-hari setelahnya memang dipenuhi rumus dan teka-teki otak. Tapi selalu ada jeda untuk itu. Antrian kantin Anita yang dulunya jadi prioritas sekarang ratingnya mulai disaingi oleh soto, bakso, dan kupat tahu. Selebrasi dirgahayu, momen berbalut seribu kisah, kreasi, lelah, amarah, air mata, sorak sorai, hingga iuran. Tapi satu hal yang paling kurindu, dentum kaset VO2Max. Setelah lari bong dan volinya Pak Edi, VO2Max selalu menjadi alasan bagi beberapa untuk membenci olahraga. “Nut… nut nit nut! Start level two” Ketika salah satu berhenti, maka akan menjadi sunah bagi yang lain untuk lanjut ke level berikutnya. Hehe

Masih segar memori ini dengan bunyi bel masuk, lagu Tanah Air yang baris terakhirnya bahkan jarang sekali kudengar. Bukan satu dua kali mengisi ‘formulir’ siswa terlambat. Bukan satu dua kali ‘rajin’ ke perpus saat jam pertama dan kedua. Bukan satu dua kali ‘mendapat penghargaan’ upacara di depan ruang piket. Kalau sedang beruntung, sprint dari depan bank BKK melintasi Nurul di arena penyeberangan dan sesiapa guru piket yang bertugas jaga, akan sangat berguna.

Belum lagi dengan pencapaian pribadi hasil bakat, ketekunan, ataupun iseng usil jahil masing-masing kita. Daftar pencapaian itu terukir necis dengan judul ‘Apa dan Bagaimana SMAmu?’ Yang jaya lewat prestasi, angka seratus atau piagam-piagammu akan jadi bukti kecemerlangan cerebrum dan cerebellum kalian. Yang menggenggam asa lewat ekstrakurikuler, ini mungkin kali pertama kau pegang kamera MD 10.000, hai insan Sinematografi. Ini mungkin membuka wacanamu tentang bagaimana Pramuka kini dipandang, wahai bantara. Ini mungkin tentang bagaimana ukhuwah bisa terjalin lewat cakap kecil dari teras-teras masjid, duhai Rohis ce_ri@. Ini mungkin saat dimana titik, bidang, garis, dan bentuk diduetkan dengan warna dan imajinasi, Cilukba...

Yang temukan sebungkus jati diri, artinya rentang waktu SMA kemarin benar-benar menentukan dirimu sekarang. Yang temukan cita-cita, aku kok yakin kau pasti akan kangen masa-masa merumuskan mimpi, menyulam harapan di bangku kelas, depan alat-alat laboratorium, dan sebelah buku-buku tebal tipis. Yang temukan seseorang, yang kau sebut mereka sahabat, musuh, rival, ataupun beibeh, sudahkah kau ucapkan terima kasih pada mereka? Atas pasrahnya mau dengarkan tumpah ruah cerita, atas kesediaannya mau berkompetisi, atas sukarelanya terimamu apa adanya, atas jasanya PELANGIkan SMAmu.

Aku sadar bahwa akan ada saat dimana itu hanya bisa jadi catatan. Tapi aku juga paham catatan itu ─sekarang dan esok lagi─ akan sering ‘terpanggil’. Bukankah kau masih ingat adegan tiap Jum’at: menggiring siswa laki-laki ke masjid ala Pak Shobari? Bukankah kau masih ingat seringai Pak Sugeng saat kita sedang sibuk-sibuknya sembunyikan HP, rambut gondrong, dan sepatu balet? Bukankah kau masih ingat pada Bu Giring Nidji sahabat aku itulah aku dekat denganku? Pada siapa yang sebagian dari mereka panggil Bunda? Pada siapa yang menyuruhmu mengumpulkan tumpukan surat undangan? 

Terima kasih telah hadir pada episode ini. Dan….mengisi. 

0 comments: