kau harus berjanji padaku

1
08:47


Jangan mundur sekarang
selangkah saja kita teredam maka habislah
tetap di situ
meski sepenat apapun
meski terlihat sulit
meski sepertinya tak mungkin
meski harus berkorban banyak hal
meski dibenci
meski kau disuruh pergi
meski durasi sebentar lagi akan habis
meski kau tak dipertimbangkan
meski sendirian, tak berkawan,  tak bersekutu
meski sabar hampir sampai ujung

Tetap disitu. Janji? Pinky swear?



1 comments:

‘dandelion yang jatuh dari tangkainya tak pernah membenci angin...’

0
08:59


Sebelumnya, kuterangkan dulu siapa aku sebenarnya. Mungkin tidak penting, ini juga hanya untuk memuaskan keinginanku, keinginan terhadap kejelasan posisi. Aku kapok pada penghakiman-penghakiman dini yang asal kasih cap, asal kasih stigma. Aku ingin orang-orang memandangku secara lebih objektif. Itu saja.

Maka aku jelaskan bahwa aku hanya sebagai penutur. Entah orang ke berapa yang berusaha bercerita. Tentang apa? Semua. Semua hal. Sudah pernah kubilang belum, aku suka bercerita. Dan meskipun bukan urusanmu, sekali lagi, ini menjadi penting untuk memperjelas posisiku. Pencerita. Dan sore ini aku sudah lelah berujar, penat benar mendongeng, maka kurebahkan saja tubuhku. Sekenanya. Di tengah ilalang ini. Kalo mau lebih tepat, padang ilalang.

Tak pernah begitu peduli pada rumput-rumput ilalang yang tidak ramah, sepertinya memang pekerjaan mereka untuk membuat gatal dan tidak nyaman orang yang berbaring di atasnya. Tapi kali ini ada yang mengalihkan perhatianku untuk tidak menggaruk-garuk bagian tubuh yang kena ‘ranjau’ ilalang. Serbuk-serbuk yang entah darimanaputih, lembut. Untuk memenuhi kriteria sebagai orang yang normal, aku merasa ingin tahu. Aku berjalan saja mencari, tak sadar itu ternyata berlawanan dari arah angin yang membawa serbuk aneh tadi kepadaku. Toh berhasil. Ia, bersembunyi dibalik rumput liar dan rumput gajah tinggi-tinggi itu. Sudah kuduga, ia sejenis tanaman.



Itu terjadi sudah cukup lama, dan aku hanya sebatas tahu bahwa ia sejenis tanaman. Asal muasal serbuk putih nan lembut itu adalah dari bebungaan. Hingga ketika suatu hari ditakdirkan atasku, aku mendengar namanya. Dandelion. Menurutku itu nama yang ajaib, dan ironis. Seperti berharga mahal sekali, -llion-nya itu lho, mirip million, billion. Terdengar mahal, tapi ternyata setiap kali berjumpa dengan merekasekelompok Dandelion itu, selalu jauh dari taman-taman hias. Justru berada bersama rumpu-rumput kelas bawah. Grass root.

Sungguh warnanya hanya putih, jika ingin dipertegas, putih berdebu. Bukan seperti mawar yang cantik jelita apalagi matahari yang cerah ceria. Seperti anggrek juga bukan, yang punya banyak kawan berkostum tidak seragam di berbagai tempat,  ia hanya punya satu varietas. Yang warnanya putih, putih berdebu itu tadi. Tapi, putih bukannya tentang kesederhanaan? Putih bukannya tentang ketenangan? Ia membuat iri. Bahkan dalam medan liar, ia tetap tenang. Bahkan ketika warna adalah mahkota yang luar biasa, hal yang paling dibanggakan dari sebuah bunga, ia cukup berterima dengan warna yang sesederhana itu...

Ia kecil, tapi dia tegak. Siapa pula yang sebenarnya akan mempedulikan hal ini. Bunga kelas pinggiran seperti dia toh jarang dilirik. Namun Dandelion tahu benar makna keteguhan. Ia tahu benar bagaimana sikapnya itu suatu kali akan menghasilkan sesuatu. Ia tahu bahwa tak gentarnya berada di sekitar rumput yang mulai menguning akan mengantarnya pada banyak hal yang menantang.

Dan ketika angin sudah datang, serabut-serabut putih itu terenggut. Sebenarnya bodoh. Dalam keadaan seperti ini saja mereka masih setia. Bagaimana tidak? Begitu mudah dia percaya pada sesepoi angin yang entah meniupnya kemana. Dengan anggun, ia rela terbebas ke udara, meliuk menyapu ilalang, kadang berseteru dengan apa yang menghalanginya. Dengan lembut ia menari, seolah berteriak ingin menyaingi daun ‘Dandelion yang jatuh dari tangkainya tidak pernah membenci angin...’

Begitulah ia setia mengikuti angin. Dandelion mungil nan pucat itu tak tahu arahnya kemana. Entah ia punya keyakinan sebesar apa. Yang ia tahu toh hanya ia terbang. Diterbangkan angin. Ke suatu tempat. Selesai. Dan setelah itu tak satupun tahu keberadaan dirinya, sekelompok serbuk putihatau bahkan dengan unit yang lebih besar, segerombolan bunga Dandelion lain tak satupun tahu kemana arah serabut halus lembut itu terbang. Kadang aku sampai bertanya-tanya, kalau sampai jingganya senja datang dan dia belum berhenti terbang, apakah dia punya waktu istirahat untuk sekedar merebahkan diri? Kenapa sepertinya tak adil baginya? Dia kan pasti capek...

Tapi lihat, dengan perginya serbuk Dandelion itu, ia hanya berpindah tempat. Di tempat lain, ia bahkan melakukan hal hebat: menciptakan kehidupan baru. Dandelion yang rapuh tapi perkasa, sok banget memang, berjuang untuk hidupnya saja pelikdalam beberapa kesempatan aku mengamati ia terinjak, tapi ia mencoba untuk berjuang bagi kehidupan (baru) untuk yang lainnya. Ia kuyu, tapi ia membuktikan tak butuh air dari tempayan manapun untuk sekedar membuatnya hidup. Ia membuktikan tak butuh jadwal pemupukan rutin untuk dapat membuatnya bertahan.


“Suatu saat nanti Dandelion itu akan kembali ke tempat itu, tempat dimana dia pernah berada.. Disana.. Dia rindu tempat itu..”



0 comments:

tidak pernah lebih dari segenggam gandum

3
01:31



Aku tidak pernah memintamu lebih dari segenggam gandum. Karena aku yakin dengan ini saja aku sudah kenyang. Aku sudah tak lapar lagi. Bahkan aku tak pernah untuk sekedar menginginkannya. Gandum itu tidak seperti bubur yang ketika baru dihabiskan, maka lapar seakan punya ruang meminta. Gandum itu long-lasting. Jadi, aku pikir ‘segenggam’ adalah porsi pas untukku. Aku rasa kita sudah selesai dengan hal ini.

Aku tidak pernah memintamu lebih dari segenggam gandum. Karena aku tak punya bungkus, aku tak punya plastik untuk mengantungi lebih dari segenggam yang bisa kubawa. Toples juga tak punya, toples kemarin sudah usang. Susah membawa yang berat-berat, segenggam kan paling cuma berapa ons. Lebih-lebih, aku tak punya banyak cadangan perencanaan mau dimasak apa nanti kalo lebih dari itu. Perkara gandum saja sampai harus dibuat resep. Ah, membuat bingung. Aku anggap kau sudah tau tentang hal ini.

Aku tidak pernah memintamu lebih dari segenggam gandum. Karena aku tahu sekarung penuh gandum itu masih ada yang punya. Entah segenggam milik siapa, sekilo punya siapa, seplastik hak siapa. Walau aku tak tahu baik, tapi aku paham jatahku. Bukan, kamu pikir aku sok peduli sama orang lain. Aku tidak takut mereka tidak makan, yang lainnya tidak kebagian, yang lainnya tidak mendapat jatah. Aku hanya tak mau mengkhianati apa itu adil. Aku kira kita sudah sepaham dengan hal ini.

Aku tidak pernah memintamu lebih dari segenggam gandum. Karenanya, kalau ada yang minta lebih, itu bukan aku. Hey, mungkin mereka memang butuh lebih. Dia memang suka gandum, atau dia ingin menyimpannya untuk cadangan, atau dia sedang ada program penggemukan, emm atau dia hanya makan gandum dan tak ada yang dia makan selain itu. Maka silakan berikan. Tapi jangan berikan padaku. Karena tawaranmu akan sia-sia. Kalau yang ini, aku pikir  kau jelas tak butuh keterangan lain.

Aku tidak pernah memintamu lebih dari segenggam gandum. Karena aku memang hanya membutuhkan itu darimu. Aku pikir kau benar-benar sudah tak perlu mendapat penjelasan lebih dariku tentang ini.

3 comments:

"Anak ke berapa?"

3
01:20

Kenapa embak pergi jauh sebelum aku bisa mengenal embak?

bahkan jauh sebelum aku dilahirkan

harusnya aku bisa punya embak mbak

jadi aku bisa cerita kalau aku habis dapat 5 di ulangan logaritma

dan baru saja ada teman laki-laki sekelasku yang SMS tapi tumben

tidak menanyakan tugas


3 comments: