kata ia, tentang jarak...

4
03:17


Untuk kamu yang percaya bahwa jarak tercipta agar rindu tetap hidup tanpa pernah redup, tolong tanyakan pada nuranimu dulu sekarang. Kau benar-benar mempercayai itu, atau kau hanya menggunakan konsep itu untuk menenangkanmu? Karena kau tak punya cara lain memandang jarak, kan? tak mau membayangkan efek terburuk dari jarak, tak mampu mengantisipasi sesuatu yang diciptakan jarak. 

Hal yang paling menyedihkan adalah berpura-pura pada dirimu sendiri.

4 comments:

Tuan, siapa?

0
02:47

Tuan, saya rasa Tuan salah orang. Tuan bahkan tidak berada di sekitar saya selama ini, mengapa Tuan berniat meminang saya? Sungguh lah saya saja terheran-heran. Bagaimana Tuan bisa mengenal orang seperti saya, yang berparas cantik pun tidak, kaya apa lagi. Sangat tidak mencolok. Darimana Tuan lantas bisa tahu saya? Teman? Kerabat? Apa yang mereka katakan? Kalau boleh saya cakap, barangkali Tuan salah dengar, atau kalau bukan karena itu, barangkali mereka sedang menjebak Tuan, dengan merekomendasikan saya untuk Tuan. Sekiranya benar, tolonglah Tuan bisa berbicara tegas kepada mereka, bukan hanya Tuan yang jadi korban, saya yang lebih jelata pastilah korban sebenar-benarnya. Saya memang bukan siapa-siapa, tapi Tuan sungguh tidak pantas berbuat main-main dengan saya.

Hari itu saya bingung dengar berita ini. Saya saja tidak kenal Tuan siapa. Guru saya berkata saya harus lebih dulu memastikan saya sudah siap atau belum untuk itu, baru setelah itu saya akan diberitahu siapa Tuan sebenarnya. Hanya sedikit yang saya berhasil temukan informasi tentang Tuan. Tuan lebih tua dua tahun dari saya, dan Tuan orang langitan. Maka seperti yang sudah saya katakan di awal, barangkali Tuan salah orang. Kata guru saya, Tuan bukan dari padepokan ini, saya semakin heran bagaimana Tuan bisa mengenal saya. Yang lebih sulit bagi saya untuk percaya adalah kenyataan bahwa semakin kecil kemungkinan saya mengetahui identitas Tuan.

Tapi di luar itu, saya sungguh ingin tahu siapa Tuan. Penasaran sekali. 

0 comments:

Masih.

0
02:45

Sampai sekarang aku masih sering merasakan gempa kecil.
Ya, gempa kecil. Kau menamakannya demikian. Pada setiap nyeri ini, aku bahkan begitu jelas mengingat katamu tentang sakit kepala. Pada setiap kesakitan ini, aku masih dengan bodoh melihat layar HP: munculkah sebuah nama  disana? Pada setiap usaha menghentikan gempa ini, bukan obat yang kucari, tapi kenangan. Sekarang gempa kecil ini terjadi lagi, kali ini, mm... rinduku, sampaikah ia?

Sampai sekarang aku masih sering lupa atau bahkan salah jalan.
Tapi bagaimana bisa untuk perkara satu itu, kamu, aku bahkan selalu ingat. Hal-hal yang tidak penting seperti kamu pernah mengatakan apa pada situasi bagaimana, kamu tidak suka makan apa, kamu akan melakukan apa pada saat seperti apa. Gang mana yang pernah dilalui beriringan, buku apa yang telah dibahas bergantian, kesempatan apa yang telah diambil bersama-sama. Kemarin ini aku benar-benar berfikir, berusaha melupakan sesuatu ternyata jauh lebih sukar daripada berusaha mengingat sesuatu..

Sampai sekarang aku masih sering memutar lagu itu, yang aku baiat sebagai theme song.
Haha, ngilu. Ini sama sekali bukan lagu sedih, yang membuat pendengarnya termehek-mehek. Tapi hingga lepas dini hari, saat aku tahu kamu—atas kehendakmu, benar-benar pergi, aku sudah tidak sadar betapa tergugunya ketika dengan sengaja kuputar lagu itu. Kini, mungkin batin yang beku membantu semua ini pulih, aku sudah baik-baik saja ketika mendengarnya. Masihkah lagu itu terdengar sama, bagimu? Oh, sebentar. Masihkah kau menandai lagu itu sebagai ... aku?

Sampai sekarang aku masih begitu berdebar dengan hanya melihatmu.
Kamu tidak akan menyangka seberapa sering aku ambil jalan memutar ketika kamu, tanpa aba-aba, melintas di sudut mata. Aku sungguh tak pernah membayangkan skenario macam apa saat aku benar-benar harus berjumpa denganmu. Bingung berkata apa saat bertemu, apakah hanya akan menanyakan kabar, menyoal tentang nasi telor sekarang harganya lima ribu, atau buku-buku yang masih kau pinjam. Ah, yang jelas aku toh tak akan berani berbincang tentang kemarin. Bagimu hiburan, bagiku siksaan.

Hingga aksara-aksara ini dibaca, aku tahu aku belum pulih benar tentang hal ini. Atau kalau kau pikir aku telah sembuh, maka aku hanyalah aktor yang dengan pahit berhasil melakoni peranku: kebohongan. 

0 comments:

Lampu dan Lilin

0
00:15

Kau hanya berikan lampu 5 watt. Ku butuh lebih dari temaram itu. Kau tak adil. Telah kusediakan ruang yang lebih besar daripada yang hanya bisa kau terangi dengan 5 watt. Tapi kau berhenti hanya dengan bola lampu 5 watt. Kau juga hanya sediakan pendar cahaya lilin kecil di sudut lain ruangan. Ah, ternyata bahkan lebih buruk dari 5 watt tadi. Kukira kau punya lilin yang cahayanya lebih terang. Atau dengan penuh harap, lampu seterang neon 20 watt.

GELAP.

GELAP..

GELAP…

Aku tak bisa lihat apa-apa, termasuk dirimu. Hanya, aku sadar akan sesuatu. Lampu 5 watt mu makin lemah cahayanya. Lalu tiba-tiba konslet, dan….pet! Mati. Lilinmu jauh lebih malang. Dia begitu cepat meleleh, dan.…pet! Mati.

Mati.

Toh, sesaat lagi aku juga akan….pet!

MATI.



0 comments: