Antagonis.
0
Oh aku tahu sekarang, jadi begitu cara
bekerjanya. Kamu memilih di tempat yang aman. Tempat di mana bebas mengkritik:
Menyuarakan kekurangan yang lain, menyuarakan kelemahanku. Dan berteriak
setelah itu. Jika posisimu salah, ah kau kan begitu memesona, hingga sesentipun
kau tak dianggap cacat.
Satu, oh setengah tahun yang lalu, aku begitu
tak berdayanya di atas motor, 50 km per jam memutari gejayan. Menangis. Aku,
menjijikkan sekali. Menangis hanya oleh karena tuduhan tidak bermutu yang
dengan beruntung, sampai padaku. Mm, ijinkan aku coba mengingat kembali, agar
ini yang aku kenang ketika aku mengingatmu. Haha, terlalu kejam? Kau pikir kau
apa hah, kalau aku kejam. Mari kita katakan, ada pihak ketiga, untuk menghargai
jasanya, membelamu.
Beberapa hari sebelum adegan mengitari
gejayan, kamu mengirim pesan singkat. Mengajak sharing, mengajak bertemu untuk
bercerita, berbagi, dan katamu, berguru. Aku membalas: aku bisa hari Senin.
Hari Senin aku tiba di waktu yang aku janjikan, di tempat yang aku janjikan.
Kamu tidak datang, aku SMS. Kamu tidak membalas. Aku lalu kuliah. Aku pikir itu
mungkin saja berarti kamu sudah lega, tidak usah sharing. Kamu sudah menemukan
solusi, tidak usah bertanya padaku. Tapi, suatu hari, pihak ketiga tiba-tiba
datang padaku, meminta bertemu. Aku ngelesi, jadi aku tidak datang. Besok
paginya aku bertemu denganmu, menawarkan kalau memang kamu mau cerita. Kamu
bilang kamu sibuk. Lalu tidak sengaja bertemu pihak ketiga, mengklarifikasi.
Aku bukannya paham malah bingung, coba merecall memori yang sudah mentok ini.
Kata pihak ketiga, kamu menyampaikan padanya, “Lah, udah males aku sama Mbak
Rahma mas. Ta hubungi nggak bisa-bisa, mau cerita nggak jadi-jadi, eh tadi dia
mau minta cerita, ya males udahan.”
Singkat cerita, aku nyambung, memoriku masih
bisa dikerok. Ini, kalau pelajaran di TPA dulu yang disebut adu domba. Tapi aku
sudah tidak peduli namanya, aku hanya melabeli serangkaian peristiwa itu, dan
kamu, sebagai antagonis. Pihak ketiga lalu berujar bahwa harus selalu ada dan
bukan malah tidak peduli dengan kamu, seorang adik. Tolong sebentar saja
jelaskan padaku bagaimana cara kerja kita memesan makanan. Kita lapar, lalu
pergi ke warung, dan bilang ke abangnya kalo kita mau makan bakso. Percayalah,
sedekat apapun abang warung dengan pembeli, dia tidak akan tahu isi hati mau
makan apa kan? Bagaimana bisa dikasih bakso kalau kita saja tidak bilang kita
mau makan bakso? Maka jangan salahkan kalau abang warung akan diam saja atau
justru salah memberikan makanan. Alih-alih bakso, ia hanya menyuguhi nasi
kucing.
Aku sudah selesai dalam urusan merangkai
benang merah, sudah kupintal. Tapi aku menyerah dalam hal ‘memahami’ apa maumu.
0 comments: