‘dandelion yang jatuh dari tangkainya tak pernah membenci angin...’
0
Sebelumnya, kuterangkan dulu siapa aku sebenarnya.
Mungkin tidak penting, ini juga hanya untuk memuaskan keinginanku, keinginan
terhadap kejelasan posisi. Aku kapok pada penghakiman-penghakiman dini yang
asal kasih cap, asal kasih stigma. Aku ingin orang-orang memandangku secara
lebih objektif. Itu saja.
Maka aku jelaskan bahwa aku hanya sebagai penutur. Entah
orang ke berapa yang berusaha bercerita. Tentang apa? Semua. Semua hal. Sudah
pernah kubilang belum, aku suka bercerita. Dan meskipun bukan urusanmu, sekali
lagi, ini menjadi penting untuk memperjelas posisiku. Pencerita. Dan sore ini
aku sudah lelah berujar, penat benar mendongeng, maka kurebahkan saja tubuhku.
Sekenanya. Di tengah ilalang ini. Kalo mau lebih tepat, padang ilalang.
Tak pernah begitu peduli pada rumput-rumput ilalang yang
tidak ramah, sepertinya memang pekerjaan mereka untuk membuat gatal dan tidak
nyaman orang yang berbaring di atasnya. Tapi kali ini ada yang mengalihkan
perhatianku untuk tidak menggaruk-garuk bagian tubuh yang kena ‘ranjau’
ilalang. Serbuk-serbuk yang entah darimana—putih, lembut. Untuk memenuhi kriteria sebagai orang yang
normal, aku merasa ingin tahu. Aku berjalan saja mencari, tak sadar itu
ternyata berlawanan dari arah angin yang membawa serbuk aneh tadi kepadaku. Toh
berhasil. Ia, bersembunyi dibalik rumput liar dan rumput gajah tinggi-tinggi
itu. Sudah kuduga, ia sejenis tanaman.
Itu terjadi sudah cukup lama, dan aku hanya sebatas tahu bahwa
ia sejenis tanaman. Asal muasal serbuk putih nan lembut itu adalah dari bebungaan.
Hingga ketika suatu hari ditakdirkan atasku, aku mendengar namanya. Dandelion.
Menurutku itu nama yang ajaib, dan ironis. Seperti berharga mahal sekali,
-llion-nya itu lho, mirip million, billion. Terdengar mahal, tapi ternyata
setiap kali berjumpa dengan mereka—sekelompok Dandelion itu, selalu jauh dari taman-taman
hias. Justru berada bersama rumpu-rumput kelas bawah. Grass root.
Sungguh warnanya hanya putih, jika ingin dipertegas,
putih berdebu. Bukan seperti mawar yang cantik jelita apalagi matahari yang
cerah ceria. Seperti anggrek juga bukan, yang punya banyak kawan berkostum tidak
seragam di berbagai tempat, ia hanya
punya satu varietas. Yang warnanya putih, putih berdebu itu tadi. Tapi, putih
bukannya tentang kesederhanaan? Putih bukannya tentang ketenangan? Ia membuat
iri. Bahkan dalam medan liar, ia tetap tenang. Bahkan ketika warna adalah
mahkota yang luar biasa, hal yang paling dibanggakan dari sebuah bunga, ia
cukup berterima dengan warna yang sesederhana itu...
Ia kecil, tapi dia tegak. Siapa pula yang sebenarnya akan
mempedulikan hal ini. Bunga kelas pinggiran seperti dia toh jarang dilirik. Namun
Dandelion tahu benar makna keteguhan. Ia tahu benar bagaimana sikapnya itu
suatu kali akan menghasilkan sesuatu. Ia tahu bahwa tak gentarnya berada di
sekitar rumput yang mulai menguning akan mengantarnya pada banyak hal yang
menantang.
Dan ketika angin sudah datang, serabut-serabut putih itu
terenggut. Sebenarnya bodoh. Dalam keadaan seperti ini saja mereka masih setia.
Bagaimana tidak? Begitu mudah dia percaya pada sesepoi angin yang entah
meniupnya kemana. Dengan anggun, ia rela terbebas ke udara, meliuk menyapu
ilalang, kadang berseteru dengan apa yang menghalanginya. Dengan lembut ia
menari, seolah berteriak ingin menyaingi daun ‘Dandelion yang jatuh dari
tangkainya tidak pernah membenci angin...’
Begitulah ia setia mengikuti angin. Dandelion mungil nan
pucat itu tak tahu arahnya kemana. Entah ia punya keyakinan sebesar apa. Yang
ia tahu toh hanya ia terbang. Diterbangkan angin. Ke suatu tempat. Selesai. Dan
setelah itu tak satupun tahu keberadaan dirinya, sekelompok serbuk putih—atau bahkan
dengan unit yang lebih besar, segerombolan bunga Dandelion lain tak satupun
tahu kemana arah serabut halus lembut itu terbang. Kadang aku sampai
bertanya-tanya, kalau sampai jingganya senja datang dan dia belum berhenti
terbang, apakah dia punya waktu istirahat untuk sekedar merebahkan diri? Kenapa
sepertinya tak adil baginya? Dia kan pasti capek...
Tapi lihat, dengan perginya serbuk Dandelion itu, ia
hanya berpindah tempat. Di tempat lain, ia bahkan melakukan hal hebat:
menciptakan kehidupan baru. Dandelion yang rapuh tapi perkasa, sok banget
memang, berjuang untuk hidupnya saja pelik—dalam beberapa kesempatan aku mengamati ia terinjak, tapi
ia mencoba untuk berjuang bagi kehidupan (baru) untuk yang lainnya. Ia kuyu,
tapi ia membuktikan tak butuh air dari tempayan manapun untuk sekedar membuatnya
hidup. Ia membuktikan tak butuh jadwal pemupukan rutin untuk dapat membuatnya bertahan.
“Suatu saat
nanti Dandelion itu akan kembali ke tempat itu, tempat dimana dia pernah
berada.. Disana.. Dia rindu tempat itu..”
0 comments: