Dari seperempat
jam yang lalu ia hanya bersandar di depan meja resepsionis. Lama, tapi seperti
sedang menunggu sesuatu selesai dikerjakan. Sibuk tengok kanan, arah
pandangannya tepat ke pintu bertuliskan Unit Radiologi. Pintu yang tepat berada
di sebelah kananku. Kalau nggak sedang cemas seperti ini, aku jelas akan GR.
Dia memandang ke arahku. Tapi itu ada dalam list keseratus sekian karena
setelah kurang lebih lima belas menit berdiri gelisah di meja resepsionis, ia
kemudian berjalan cepat ke pintu Unit Radiologi tadi. Mengibaskan ‘jubah putih
agung dokter’nya lewat di depanku. Tak satu inchipun melirik. Hm ya jelas mana
tertarik, sama pasien jelek berkursi roda.
Setelah ‘sesi
pemotretan’ ini selesai, aku menunggu namaku dipanggil. Rumah sakit ini
sepertinya punya banyak dokter, tapi kenapa mereka antri dokter yang sama
denganku. Dokter yang sudah dengan setia ditunggu pasiennya dari jam 10 pagi
tadi, baru masuk ruang praktek jam 2 siang. Sempurna. Antrian pertama bergerak
mulai setengah 3. Nomer 9? Dapet jatah jam empat. Hasil fotografi tadi lalu
dipajang di neon entah berapa watt, tapi aku liat tulang betis dan ulnaku di
sana. Ada tulang telapak kaki juga. Ia menuding-nuding dan menggumam-gumamkan
sesuatu seperti ligamen, sobek, dan fraktura. Yang hanya jelas aku dengar dari dokter-yang-sudah-tua-dan-banyak-antriannya
itu adalah ‘oke, ini langsung kami tangani mbak, puasa sampe jam 7 nanti ya’. Si
ibuk, yang dalam kesempatan ini sok tahu bertanya, ‘Dibius dok?’ Hh sempurna
aku punya gambaran sekarang.
18. 30 WIB
Ibu sibuk telpon
sana-sini, sesekali melihatku (lebih tepatnya kursi roda) dan ruang bedah
bergantian. Mungkin menghitung jarak. Ibu kan guru matematika. Dia lewat lagi.
Kali ini langkahnya lebih tenang. Dengan adegan yang atas imajinasiku kubuat slowmotion, aku berhasil menyimpulkan
kalau dia mirip Lukman Sardi. Rahangnya kukuh, tegas. Tangannya memegang
dokumen hasil photo session seperti
punyaku tadi. Ia jadi sering lewat, kadang berjalan dengan elegan, kadang agak
tergesa menuju meja resepsionis, membuka ‘hasil fotografi’ dan sepertinya
memperbincangkan sesuatu. Beberapa kali beriringan dengan perawat yang memakai
baju hijau muda, tertawa tipis. Makin mirip Lukman Sardi. Hellooo, this is
hospital, ladies and gentleman. It’s neither pers conference nor movie
launching.
18. 40 WIB
Aku baru sadar
bahwa aku sudah merasa familiar dengan pemandangan laju kursi roda, tempat
tidur pasien, kruk, tongkat, perban yang melilit, dan bebat plester yang ada
merah-merahnya. Setidaknya ini sedikit membantuku untuk rileks. Sebelumnya kan
riwayat medisku bersih, hanya dikotori oleh rawat inap karena salah makan saat
balita dulu. Jadi belum pernah berinteraksi terlalu akrab dengan rumah sakit,
apalagi rumah sakit orthopaedi seperti ini. Aku sama sekali tak tahu kalau
tahun-tahun selanjutnya catatan medis itu semakin panjang. Eh, dia lewat lagi.
Karena mungkin merasa aneh dan risih ada yang memandanginya terus, si Lukman
Sardi menengok ke arahku. Datar, lalu jalan lurus.
18. 45 WIB
Seseorang yang
memegang berkas-berkas tidak tersusun rapi melemparkan pandangannya di ruang
tunggu. Memanggil namaku jelas sekali, ia mendekat ke arah ibu. Ibuk sudah
lebih dulu mengacungkan tangannya ketika perawat berseragam hijau muda tadi
meneriakkan ‘Rahma Fitriana’. Dan sekali lagi dengan jelas (tapi kali ini lebih
pelan) ia berkata, “Sebentar lagi masuk ruang bedah ya, Bu”. Aku dan ibuk
santai. Kita sama-sama sudah ngantuk. Tapi aku malah mencoba mencari-cari
dokter Lukman Sardi. Kalau itu Lukman Sardi, kenapa dia ada di sini, masak
shooting nggak ada kru nggak ada kamera. Tapi kalo dia bukan Lukman Sardi, (ah
jadikan dia Lukman Sardi) kenapa bisa mirip banget nget nget...
18. 48 WIB
Aku sempurna
didorong mas perawat tadi ke ruang bedah. Lalu dipersembahkan di depanku sebuah
ranjang berselimut putih tebal, bantalnya ditinggikan. Mas perawat hijau muda memanggilku
dengan nama, menanyai kelas dan sekolah dimana. Aku sudah khawatir
jangan-jangan habis ini dia akan bertanya tentang jadwal pelajaran. Untungnya ada
seorang dokter mendekat, dokter yang di jas putih agung dokternya tertulis nama
‘Vida’, segera mengambil alih perbincangan. Kekinian dan kedisinian. Berujar
tentang nanti akan dibius, tidak sakit, dan akan cepat. Belakangan aku baru
tahu kalo yang ngomongin tentang bius itu namanya dokter anestesi.
Ini masih di ruang tunggu kamar bedah, jadi aku
punya waktu untuk menikmati udara yang dingin aneh beberapa saat, ditemani
perawat tadi yang sekarang mulai bertanya tentang apa yang terjadi dengan kaki
kiriku. Eh heii, dia mirip penyiar berita RCT*! Butuh beberapa detik untuk
mencari namanya di folder memori, tapi hobiku memirip-miripkan orang bekerja
lebih cepat. Aiman Wicaksono!
(Tidak tahu jam
berapa, hapeku sudah dititipkan ke ibuk)
Ranjang istimewa
ini didorong masuk ruang B, suhu udaranya bertambah dingin. Tidak seseram ruang
bedah yang ada di sinetron, lampunya tidak dimatikan, tapi 4 lampu yang
dirangkai bersama di tengah ruangan, itu benar. Yang membuatku terlalu
berimajinasi justru peralatan yang ada di sekitar ruangan ini. Final
Destination. Gunting yang besar (jangan samakan dengan gunting rumput, ini
bentuknya sedikit aneh), perban yang gulungannya besar sekali, alat yang
ujungnya tajam seperti jarum jahit yang dizoom, dan ada beberapa benda tajam
lainnya, tidak familiar. Sambil membenarkan posisi kaki kiriku, mas perawat
hijau muda bertanya lagi, kali ini tentang bagaimana aku bisa jatuh dari tangga
masjid. Cukup membanggakan menyebut sebab semua ini. Jatuh dari masjid punya
konotasi yang bagus. Anak alim. Ya, dalam setiap bencana tetap ada yang harus
disyukuri kan: dapet image baru yang lebih berkelas. Pintu ruang bedah B
terbuka, dan karena itu adalah satu-satunya hal yang paling menarik yang
terjadi waktu itu, maka adegan pintu yang dibuka pun aku tonton. Dokter Lukman
Sardi! Tak berlebihan aku menyebut pintu yang dibuka tadi adalah sebuah adegan,
ini bintangnya. Ia memeriksa kakiku, menekan bagian engkel yang bengkak.
Lukman Sardi : “sakit?”
Aku :
“iya”
Lukman Sardi : “ini cuma digips kok, nanti kan terus
enggak bengkak lagi” (sambil tersenyum)
Aku :
“digips kenapa harus dibius?”
Lukman Sardi : “ini disposisi, jadi nanti kita benerin
dulu (sambil meragain mbenerin tulang, yang justru terlihat seperti meres jemuran).
Ligamennya juga sobek itu”
Aku : “Oo..
(padahal nggak mudeng)”
Lukman Sardi : “Tapi santai aja, nanti kan dibius jadi
nggak kerasa apa-apa”
Aku : “Hehe,
iya hehe”
Lukman Sardi : “Kelas berapa de?”
Aku menjawab pertanyaan Lukman Sardi dengan
semangat, menyebutkan kelas dan jurusan. Menyebutkan nama sekolah dengan cepat,
tidak seperti sesi wawancara dengan Aiman Wicaksono tadi. Pintu berderit lagi,
dokter Vida masuk. Dia masuk bersama perawat hijau muda a.k.a. Aiman Wicaksono.
Yang berbeda, kali ini sang perawat kalem, tersenyum hangat, membenarkan lagi
posisi kaki, meninggikan letak bantal. Dokter Vida memasangkan alat seperti
oksigen di hidungku (aku tidak bisa memiripkannya dengan siapa-siapa).
Dokter Vida : “saya pasangkan ya, tenang aja”
Aku :
“He’em” (kedengaran sengau)
Dokter Vida : “Udah, kayak tidur aja, rileks...”
Aku : “He’em” (lebih sengau karena sekarang aku
menahan napas, ada gas yang melewati ‘pembungkam’ mirip oksigen ini, baunya
menyengat)
Dokter Vida : “Kenapa?”
Aku : “Eng mm em ekk”
(sekarang jadi sempurna gagu, nggak bisa ngomong, lha dibungkam sama alatnya gini, aduh dok, gimana to, ya
kan jadi nggak bisa jawab dok)
Dokter Vida : “Eh, kenapa? Takut?”
Aku : “Mm mm mm” (sambil
dadah dadah, tadinya mau ngomong ‘enggak’)
Dokter Vida : “Lho, nggak usah takut, tinggal
dihirup,”
Aku : “....” (Oo dihirup,
haha mana aku tahu)
(belum lihat jam)
Aku sudah keluar
dari ruang B, tapi masih di ‘lobi’ ruang bedah. Aku berharap yang pertama
kulihat adalah Lukman Sardi, penasaran sekali ingin menanyakan film terbarunya.
Atau minimal dokter Vida, aku ingin meminta maaf telah membuatnya bingung atas
urusan anestesi tadi. Tapi malah Aiman Wicaksono. Takut ditanyai banyak, aku
alihkan perhatianku ke kaki kiri yang sekarang berbalut fiber putih dari bawah
lutut hingga ke telapak kaki, menyisakan jari-jari kaki yang bebas bernapas. Penasaran,
aku angkat, dengan bodoh dan kesadaran seadanya, bertanya: “ini udah?”
Aiman menjawab
dengan tersenyum, “Sudah, ini nunggu pengaruh obat biusnya hilang, terus kamu
bisa pulang.” Hh, iya luuh iya, mana betah juga di sini, betah ding kalo ada
Lukman Sardi. Hhe. Dokter Vida mendekat, menanyakan kabar dan mengatakan bahwa
mungkin sedikit pusing, tapi sebentar juga akan hilang. Dia menyuruh Aiman
Wicaksono mendorong ranjangku keluar. Di depan pintu persis sudah ada ibu.
Cantiknyaa, dia tersenyum lega sekali.
21. 12 WIB
Ini semacam ruang
transit pasien yang habis dari ruang bedah kayaknya. Aiman beringsut sebentar
mengambil plastik kresek. Katanya kalau aku mual tinggal bilang, kalau mau
muntah tinggal bilang. Iya, emang pusing. Bau obat bius tadi juga seperti masih
berputar-putar di sekitar hidung, polusi sekali. Pakdhe yang ikut mengantar
Ibuk dan aku sekarang bertanya pada Aiman bagaimana proses pemasangan gips. Aku
mau ikutan tanya, harus ada pembalasan dendam beberapa pertanyaan untuk Aiman
Wicaksono ini. Tentang kenapa tadi biusnya nggak lewat suntik, tentang
bagaimana obat bius bisa bekerja.
Dia menjelaskan
tentang penghambatan impuls, aku bertanya apakah itu tentang neurotransmitter.
Apakah tentang Ca2+ dan Na, apakah itu efeknya ke cerebrum atau
cerebellum atau keduanya, dan apakah target obat bius lokal dan bius total itu
ke suatu hal yang sama atau tidak. Dia menjawab tangkas, menjelaskan singkat.
Jangan-jangan benar penyiar berita di Seputar Indonesia itu. Aiman Wicaksono
menyuruhku untuk sekolah di kesehatan kalau pengen tahu lebih banyak. “Ya kalau
perawat kan lebih ke prakteknya sekarang, udah nggak belajar teori-teori kayak
dulu pas kuliah. Pengen tahu ilmunya? Kuliah di keperawatan atau kedokteran
besok,”
21. 20 WIB
Tambah
kleyeng-kleyeng, tapi kata mas perawat hijau muda Aiman Wicaksono ini aku sudah
boleh pulang. Ibu menolak aku dirawat inap, 2 jam perjalanan akan menyulitkan
pergantian shift jaga. Ya Allah, visioner. Senang sekali berpindah ruangan, aku
punya kesempatan bertemu Lukman Sardi lagi kan.. Tapi sampai di luar rumah
sakit, detik-detik dimasukkan ke bagasi, eh mobil, dokter Lukman Sardi nggak
kelihatan. Aiman Wicaksono berkata beberapa hal penting seperti harus hati-hati
karena jika jatuh atau terpeleset bisa disposisi lagi dan harus kontrol dua
minggu sekali. Mungkin bisa bertemu dengan Lukman Sardi lagi kalau pas kontrol.
Perawat Aiman Wicaksono kemudian memindahkanku ke kursi mobil yang sudah diatur
derajatnya, biar bisa buat tiduran. Sambil memperbaiki sprei tempat tidur yang
aku gunakan, ia bergumam pelan, tapi sayang terlalu jelas aku dengar, “Berat
badan kamu berapa , jan abot lho.."
*fraktura SMA: hasil obrak abrik file jaman kuna baheula
1 comments: