Buronan Akhirnya Tertangkap!

0
18:03

Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang-orang yang dengan tulus mendoakanmu. Berharap kau sehat, selamat, terhindar dari segala mara bahaya, terhindar dari celaka, terhindar dari godaan syetan dan belenggu nafsu. Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang yang dengan diam merindukanmu. Kangen tapi gengsi mengakui. Ingin bertemu, tapi ragu janjian. Sekarang ini, tepat sekarang ini, banyak orang yang dengan sukarela memikirkanmu, mengasihimu dengan sederhana, atau menyayangimu dengan begitu dalam namun pakewuh berucap. Lafadzkan tahmid dulu..

Sepuluh hari yang lalu, aku izin Ibuk untuk pergi ke Kerawang, menengok teman yang sakit. Alhamdulillah dapet ‘yes’. Walaupun sambil ditanya ‘mulihmu kapan?’ tapi tidak ada nada terlalu berharap di sana, apalagi memaksa. Mengunjungi rumah teman dan menatap ibu mereka masing-masing, sedangkan yang disuruh pulang berjumpa ibuk sendiri malah hanya selalu berjanji saja akan segera pulang. Lima hari yang lalu, ibuk sms jadi pulang kapan, sekalian minta tolong urus administrasi Fiqi di UGM. Karena punya alat berkelit, hanya perihal urusan administrasi yang kubahas. Tiga hari yang lalu, ibuk telpon bertanya banyak hal, hanya bagian kecilnya saja yang tentang ‘mau pulang hari apa’.

Dua hari yang lalu, pagi jam 6 ibu menelpon dan memintaku pulang. Kali ini berhasil, Kawan. Bagaimana tidak? Ibu punya serdadu, om Nano namanya. Beliau ini lalu dari jam 7 sudah ada di depan kos, menunggu gusar di dalam mobil. Sudah mengelak, sudah mencari alasan (duh durhakanya), sudah menunda (dengan mencuci, aku pikir ini akan manjur karena nyuci kan lama, bikin males nungguin). Tapi manalah bisa melawan. Om Nano menelepon lagi, Ibu menelepon lagi. Om Nano kirim Fika, yang dalam hal ini bukan lagi anaknya, tapi serdadunya (hehee), ke lantai 3. Sepertinya sudah saatnya menyerahkan diri. Baiklah, buronan sudah terkepung.

Bukan karena apa-apa tak mau pulang, tapi seperti belum saatnya pulang, bagaimanapun kerjaan hasil dari menunda menuntut untuk segera dibereskan. Hutang-hutang yang belum terlunasi.  Siapalah yang tidak mau rehat, ini liburan semester, memang waktunya pulang. Tapi perbuatan-perbuatan ini harus kupertanggungjawabkan. Membayangkan pulang pekan ini saja tidak bisa, apalagi berani merencanakan. All things can be messed up if I do. But, here I am. Beralih dari kota yang penuh tekanan ke kota yang penuh makanan. Banjarnegara.

Mangkel. Yang biasanya kalau pulang itu suka cita, ini nggak ikhlas bingits. Ibuk manalah paham apa yang harus aku lakukan di sini, banyak yang harus segera diselesaikan. Organisasi, proposal skripsi, persiapan MoU sama sponsor, permintaan bantuan dari teman, pembayaran SPP dan KRS. Tak bisakah ijinkan untuk selesaikan ini sebentar? Toh kemarin semua ini tertunda karena ngurus administrasinya Fiqi di UGM. Tak bisakah lihat posisi si sulung barang sedikit saja? Diem sama dongkol di mobil. It’s like there’s no way escape. All things have been messed up now.

Aku cari pemahaman baik dari penggerebekan ini, susah sekali ketemu. Manusiawi kan, yang ingat hanya negatifnya saja. Sesampainya di rumah, ketika mangkel sudah melunak, aku mulai menulis. Korban penculikan ini masih belum legowo, tapi dia biarkan hatinya merumuskan sendiri.  Aku yakin ibu atau bapak kita, tahu siapa anaknya. Sudahlah lancang saat aku pikir mana paham mereka dengan kita. Seberapa tidak kelihatan pedulinya mereka, seberapa mereka tidak menanyakan aktivitas kita di tanah rantau, seberapa tidak mengatakan apa-apa ketika dengarkan cerita. Bukan, bukan karena mereka tidak paham. Dalam beberapa hal, pemahaman mereka jauh lebih kompleks daripada pertimbangan kita macam apapun, sendakik-ndakiknya. Tapi kalau sudah urusan rindu, Ibu hanya punya pemahaman sederhana bahwa “Kau adalah anakku, Nak. Jika kuminta kau pulang, memang sudah waktunya kau pulang.”


Kalaupun adegan penculikan kemarin diejawantahkan dengan gamblang, mungkin akan seperti di atas. Sayangnya, bapak ibuk kita kerap kali sungkan menunjukkan rindu, barangkali kita yang harus bisa peka terhadap tanda-tanda rindu itu. Iya, tanda-tanda rindu itu termasuk ketika kita pulang, ibuk sibuknya luar biasa memasakkan semua kesukaan, kalau bukan karena aku harus mencuci piring setelahnya, hihi, mungkin sudah kuminta semuanya. Orang tua kita, barangkali mereka punya cara yang berbeda saat mengungkapkan rindu: tidak berkata :’)

About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 comments: