Buronan Akhirnya Tertangkap!
0
Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang-orang
yang dengan tulus mendoakanmu. Berharap kau sehat, selamat, terhindar dari
segala mara bahaya, terhindar dari celaka, terhindar dari godaan syetan dan belenggu
nafsu. Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang yang dengan diam
merindukanmu. Kangen tapi gengsi mengakui. Ingin bertemu, tapi ragu janjian.
Sekarang ini, tepat sekarang ini, banyak orang yang dengan sukarela
memikirkanmu, mengasihimu dengan sederhana, atau menyayangimu dengan begitu dalam
namun pakewuh berucap. Lafadzkan tahmid dulu..
Sepuluh hari yang
lalu, aku izin Ibuk untuk pergi ke Kerawang, menengok teman yang sakit.
Alhamdulillah dapet ‘yes’. Walaupun sambil ditanya ‘mulihmu kapan?’ tapi tidak
ada nada terlalu berharap di sana, apalagi memaksa. Mengunjungi rumah teman dan
menatap ibu mereka masing-masing, sedangkan yang disuruh pulang berjumpa ibuk
sendiri malah hanya selalu berjanji saja akan segera pulang. Lima hari yang
lalu, ibuk sms jadi pulang kapan, sekalian minta tolong urus administrasi Fiqi
di UGM. Karena punya alat berkelit, hanya perihal urusan administrasi yang
kubahas. Tiga hari yang lalu, ibuk telpon bertanya banyak hal, hanya bagian
kecilnya saja yang tentang ‘mau pulang hari apa’.
Dua hari yang
lalu, pagi jam 6 ibu menelpon dan memintaku pulang. Kali ini berhasil, Kawan.
Bagaimana tidak? Ibu punya serdadu, om Nano namanya. Beliau ini lalu dari jam 7
sudah ada di depan kos, menunggu gusar di dalam mobil. Sudah mengelak, sudah
mencari alasan (duh durhakanya), sudah menunda (dengan mencuci, aku pikir ini
akan manjur karena nyuci kan lama, bikin males nungguin). Tapi manalah bisa
melawan. Om Nano menelepon lagi, Ibu menelepon lagi. Om Nano kirim Fika, yang
dalam hal ini bukan lagi anaknya, tapi serdadunya (hehee), ke lantai 3.
Sepertinya sudah saatnya menyerahkan diri. Baiklah, buronan sudah terkepung.
Bukan karena
apa-apa tak mau pulang, tapi seperti belum saatnya pulang, bagaimanapun kerjaan
hasil dari menunda menuntut untuk segera dibereskan. Hutang-hutang yang belum
terlunasi. Siapalah yang tidak mau
rehat, ini liburan semester, memang waktunya pulang. Tapi perbuatan-perbuatan
ini harus kupertanggungjawabkan. Membayangkan pulang pekan ini saja tidak bisa,
apalagi berani merencanakan. All things can be messed up if I do. But, here I
am. Beralih dari kota yang penuh tekanan ke kota yang penuh makanan.
Banjarnegara.
Mangkel. Yang
biasanya kalau pulang itu suka cita, ini nggak ikhlas bingits. Ibuk manalah
paham apa yang harus aku lakukan di sini, banyak yang harus segera
diselesaikan. Organisasi, proposal skripsi, persiapan MoU sama sponsor,
permintaan bantuan dari teman, pembayaran SPP dan KRS. Tak bisakah ijinkan
untuk selesaikan ini sebentar? Toh kemarin semua ini tertunda karena ngurus
administrasinya Fiqi di UGM. Tak bisakah lihat posisi si sulung barang sedikit
saja? Diem sama dongkol di mobil. It’s like there’s no way escape. All things
have been messed up now.
Aku cari
pemahaman baik dari penggerebekan ini, susah sekali ketemu. Manusiawi kan, yang
ingat hanya negatifnya saja. Sesampainya di rumah, ketika mangkel sudah
melunak, aku mulai menulis. Korban penculikan ini masih belum legowo, tapi dia
biarkan hatinya merumuskan sendiri. Aku
yakin ibu atau bapak kita, tahu siapa anaknya. Sudahlah lancang saat aku pikir
mana paham mereka dengan kita. Seberapa tidak kelihatan pedulinya mereka,
seberapa mereka tidak menanyakan aktivitas kita di tanah rantau, seberapa tidak
mengatakan apa-apa ketika dengarkan cerita. Bukan, bukan karena mereka tidak
paham. Dalam beberapa hal, pemahaman mereka jauh lebih kompleks daripada
pertimbangan kita macam apapun, sendakik-ndakiknya.
Tapi kalau sudah urusan rindu, Ibu hanya punya pemahaman sederhana bahwa “Kau adalah anakku, Nak. Jika kuminta
kau pulang, memang sudah waktunya kau pulang.”
Kalaupun adegan
penculikan kemarin diejawantahkan dengan gamblang, mungkin akan seperti di atas.
Sayangnya, bapak ibuk kita kerap kali sungkan menunjukkan rindu, barangkali
kita yang harus bisa peka terhadap tanda-tanda rindu itu. Iya, tanda-tanda rindu
itu termasuk ketika kita pulang, ibuk sibuknya luar biasa memasakkan semua
kesukaan, kalau bukan karena aku harus mencuci piring setelahnya, hihi, mungkin
sudah kuminta semuanya. Orang tua kita, barangkali mereka punya cara yang berbeda
saat mengungkapkan rindu: tidak berkata :’)
0 comments: