Percobaan Fiksi Fakta
0
“Kita berteman. Berteman yang seperti ini. Aku tidak malu mengakui kalau
kita sedang bergerak ke arah yang sama. Walaupun aku pikir titik temu kita, itu..
aku pun masih belum jelas melihat, aku pikir aku mengharapkan itu terjadi”
“Maka sudah, tetaplah seperti ini”
“Aku rasa ini tidak benar. Bagaimana bisa kita menyemai padahal belum
saatnya?”
“Pasti akan datang saatnya, Fara..”
“Hingga saat itu, aku akan menyimpannya di tempat yang rapi, yang tidak usah
kita bicarakan lagi,”
“Kita akan sama sekali tidak berkomunikasi setelah ini.”
“Bukan, justru kita tetap berkomunikasi, tapi jangan pernah membuka ini
lagi. Bukan putus silaturahim, Lang, tapi mengenai hal satu itu, ah kita
sebelumnya harus sepakat dulu untuk menyimpannya kan?”
“Baiklah. Tapi kalau kita bertemu, apa yang akan..”
“Biasa saja, sewajarnya. Aku punya klakson untuk bisa menyapamu saat di
atas motor, aku bisa berbincang tentang kota kelahiran kita atau hobi
masing-masing saat tidak sengaja tatap muka. Asal kita menghindari topik satu
itu..”
“Aku mengerti, aku akan menyimpannya di tempat yang sangat rapi.”
***
Kupegang ponselku lebih erat, ponsel ini hampir saja lepas dari tanganku
ketika bapak supir mengerem mendadak barusan. Ada Ibu pengendara sepeda motor
yang tiba-tiba menyeberang. Ibu itu bukan hanya sukses membuat ponsel ini
hampir jatuh tapi juga membuyarkan lamunanku atas kejadian setahun silam. Aku
mulai jengah, berperjalanan sendirian seperti ini sangat mudah membuat fikiran
kemana-mana.
Lagi-lagi kenangan itu. Percakapan yang hanya tersampaikan melalui SMS.
Pengakuan yang apa adanya, namun berbuntut panjang. Mengakui saling suka, dan
mencoba menyimpan. Apa-apaan ini? Sama saja artinya menjalin kasih tapi tidak
bertemu, toh kita sama-sama saling menjamin bahwa hati kita sudah dimiliki satu
sama lain. Bersikap sewajarnya? Sikap barangkali bisa wajar, rasa yang tidak.
Bagaimana bisa aku berfikir kalau pertemuan di gerbang fakultas tidak membuatku
berdebar setengah mati? Bagaimana mungkin aku berfikir kalau membalas pesanmu,
aku rasanya ingin mengungkap hal lain yang tidak boleh kita bincangkan. Janji
macam apa?
Aku keluarkan permen karet dari dalam tas. Setidaknya selain melihat ke
luar jendela lalu melamun, aku punya pekerjaan lain. Mbak-mbak di sebelah
tempat dudukku sedang pulas, aku bersyukur tidak usah basa basi menawarinya.
Terakhir kali aku menawari permen karet pada penumpang sebelahku, dia anak 7
tahunan, tersedak dan malah menelannya. Sang ibu menggumam-gumamkan kemarahan
padaku sambil menepuk-nepuk punggung anaknya. Bis jurusan Jogja-Solo yang
kutumpangi sekarang sudah masuk Klaten. Dia,
ada dimana? Sudah lama tidak melihatnya, melihatnya pun tidak, apalagi
menyapa, apalagi berbincang. Gilang. Bagaimana
kabarnya? Hh, bodoh, kenapa malah ingin tahu kabarnya..
Hampir satu tahun yang lalu itu terjadi. Mau tidak mau aku memanggil memori
itu lagi. Sangat mudah menemukannya, akhir-akhir ini. Aku tak paham benar mana
awalnya, tapi kami kenal di SMA. Ya, aku dan Gilang bersekolah di SMA yang
sama. Semuanya biasa saja, menurutku, karena kita benar-benar teman. Kecuali
karena kita saling bercerita, tak ada yang istimewa. Tapi aku melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi yang sama denganku, ah atau sebaliknya. Hanya
beda fakultas, hanya beda disiplin ilmu. Seperti layaknya mahasiswa rantau
lain, mereka punya kecenderungan untuk, yaah dekat, dengan mahasiswa lain yang
berasal dari daerah yang sama.
Dan lalu semuanya mengalir, hampir begitu saja mengalir. Komunikasi lewat sms
dan chat, obrolan langsung yang singkat, sering papasan di jalan. Perasaan
nyaman yang wajar dirasakan ketika saling nyambung, membuat kami semakin dekat.
Saat itu, jangan pun berbicara tentang rasa, menyinggung pun tidak. Kami sih
sok profesional. Tapi, barangkali awal merah jambu menjadi nyata adalah saat
ulang tahunku di penghujung tahun. Sampai pada ingatan ini, aku terkekeh
sendiri. Rasa permen karet stroberi yang kukunyah sekarang sangat manis. Gilang
memberiku sekotak roti dan... setangkai mawar merah segar! Dasar melankolis,
pikirku. Aku tak berani bilang ke siapapun kecuali salah seorang sahabatku di
kelas. Dia justru yang jejingkrakan kegirangan dan dengan tak sabar meminta aku
menceritakannya. Dia protes karena aku tampak datar-datar saja. Tapi tahukah,
aku bahkan bingung mengartikan dua benda ini. Apa ini? Maksudnya? Roti barangkali wajar. Bunga??
Aku tersenyum dan membenarkan letak dudukku. Masih satu jam setengah untuk
sampai ke kota kelahiran. Setelah kilas balik tentang roti dan bunga, memori
ini lalu mengurai komunikasi-komunikasi itu. Mulai dari papasan di bawah pohon
flamboyan lalu salah tingkah, hingga
chat facebook yang dibiarkan tertulis “Fara is typing....” Lang, kamu tidak tahu kan, sulit benar aku pilih kata-kata. Bukan,
bukan agar kau menyukainya, bukan agar kau setuju dengan apa yang aku
sampaikan. Hanya, aku takut kalau semuanya akan menjadi jelas, perasaanku. Salah-salah
bisa keceplosan dan diluar batas. Hm, kejadian-kejadian ini terus mengalami
repetisi. Dulu, cinta adalah sesuatu yang aku rasakan hanya di pandangan
pertama, aku tidak tahu aku bisa terbenam perlahan.
Bis mengerem mendadak. Buyar lagi. Kali ini faktor penumpang. Seorang bapak
tergopoh-gopoh turun setelah sebelumnya mengetuk-ngetukkan uang logam ke kaca
bis. Mas kernet memaki. Aku membolak-balikkan ponselku, kubuka kunci layar,
kututup lagi. Hingga lampu layar padam, kubuka kunci lagi, lalu menunggu hingga
layar mati dan terkunci, baru aku buka lagi. Aku tidak tahu bagian mana yang
membuatku paling gusar, toh bersahabat dengan kenangan manis seharusnya membuat
lebih tenang. Tapi menurutku, ada sesuatu yang salah di sini. Yang kupikirkan
satu bulan terakhir. Janji itu..
Kali ini aku benar-benar membuka layar kunci dan masuk ke pesan. Mencari
namanya di daftar pesan semudah mencari namanya di rekaman memori. Aku runut
satu persatu, beberapa pesan kubaca berulang-ulang, sisanya ada jarkoman event
kampus atau lomba-lomba fotografi. Gilang suka sekali hal itu, terkadang satu
dua jepretan dia bagi di jejaring sosial. Tajam dan punya makna, setidaknya itu
penilaian dari seorang yang tak tahu apa-apa tentang fotografi.
Aku sudah hampir menuliskan pesan kalau tidak ditanyai oleh mbak yang duduk
di sebelahku. Dia bertanya sudah sampai mana. Dari sejak naik di Babarsari,
mbak satu ini tidur pulas. Dia lalu berujar bahwa tujuannya masih jauh dan dari
tingkahnya membenarkan posisi duduk, sepertinya ia akan melanjutkan tidur.
Benar saja, sambil memeluk tas punggungnya, ia mengatupkan mata lagi. Apa yang mau kutulis barusan? Aku
menghela nafas, dalam. Udara di dalam bis tidak terlalu pengap, aku duduk di
belakang mas kernet, sirkulasinya bagus. Kupandangi lagi layar HP, pointer
sudah ada di bagian ‘enter message’.
Apakah aku, benarkah tidak apa-apa jika sekarang mengiriminya pesan?
Kutekan-tekan tombol Undo hingga akhirnya layar utama yang tampil di
depanku. Kukunci layar. Menghela napas lagi. Tapi tidak, sekarang ini
barangkali memang waktu yang tepat mengungkapkan padanya. Sekarang ini,
barangkali waktu yang tepat untuk berkirim pesan. Sekarang ini, setelah sudah
tidak bertemu lama sekali. Sekarang ini, di perjalanan yang membuatku mengingat
semuanya. Sekarang ini, barangkali tidak ada waktu yang sesempurna sekarang
ini.
“Gilang. Apa kabar? Lagi dimana sekarang?” Daripada hanya menanyakan kabar
dan menanggung resiko Gilang tak membalas—meskipun ia bukan orang yang dengan
mudah mengabaikan SMS, kutambahkan pertanyaan tadi.
“Aku sehat. Kamu gimana? Lagi di Solo, di stasiun..”
“Mau ke Jogja? Aku malah baru mau pulang, hehe, kita slisipan ya” Aku lebih
suka meninggalkan kalimat tanpa tanda baca kalau itu bukan kata tanya. Janggal
saat melihat beberapa orang memilih menggunakan tanda titik di akhir kalimat
yang seperti ini. Titik dua atau tiga tidak masalah, tapi bagiku titik satu
seperti segera ingin mengakhiri SMS, atau tidak terlalu berkenan dengan apa
yang orang lain sampaikan hingga dia menambahkan titik satu disitu, ketegasan.
“Haha, iya :D” Emotikon. Cukup titik dua dan satu huruf itu, atau kalau tidak
titik dua tutup kurung, maka sepertinya semua akan tampak baik-baik saja. Kali
ini, apakah Gilang mungkin juga sedang berpura-pura? Ah, prasangka..
“Lagi sibuk nggak, Lang?”
“Enggak, lagi baca novel aja kok. Gimana?”
“Mm bukan, maksudku, dalam waktu dekat ini ada agenda apa gitu, di kampus?
HIMA lagi sibuk nggak?” Gilang adalah ketua himpunan mahasiswa di jurusannya.
Aku tahu aku mungkin sering mengganggunya bahkan saat dia ada agenda, SMS-SMS
tidak penting. Bodoh, tetap saja dia layani.
“Enggak kok, lagi baru selesai ngadain acara minggu kemaren. Kenapa, Ra?”
“Kalo kuliah, ada ujian nggak waktu deket ini? Project dari dosen gitu,
misalnya? Ada nggak?” Ada hal penting yang aku ingin katakan, aku harus
memastikan kalau rentang waktu dekat ini dia tidak sedang disibukkan oleh
sesuatu. Barangkali aku yang mendramatisir, berlebihan hingga sampai bertanya
seperti itu. Gilang mungkin heran, maunya
apa anak satu ini? Bertanya sebegitu detail.. Pesan alasan darinya datang
setelah 5 menit SMSku padanya tadi terkirim.
“Fara? Ada apa to? Aku nggak lagi sibuk ujian kok, kemarin kan minggu
mid-term, ingat?”
“Okee. Gini Lang, ada yang aku sampaikan. Boleh?”
“Boleh. Menyampaikan apa, Ra?”
“Ini tentang isi SMSan kita satu tahun yang lalu, iya bulan Maret tahun
lalu. Kita bikin janji buat nyimpen rasa suka itu, hingga saatnya nanti datang,
kita baru boleh membukanya. Kan? Aku akhir-akhir ini berfikir kalau ini tidak
benar. Kalau seperti ini, berarti kita sudah saling ngecim. Bahwa aku harus denganmu,
dan sebaliknya. Padahal Lang, bagaimana kita bisa dengan mudah menentukan semua
itu? Jodoh.. ada di tangan-Nya.”
Tak sadar badanku bergetar menuliskan kalimat terakhir di SMS itu, 4 layar.
Sesak sekali rasanya. Iya, satu bulan terakhir ini aku berfikir untuk
mengatakannya. Berfikir keras bagaimana aku akan mengatakan dengan benar. Harus
bertemukah? Atau aku telepon saja? Tapi justru sekarang aku hanya mengiriminya
pesan. Pengecut memang. Aku kecut kalau bertemu, aku semakin tidak bisa
mengatakannya. Aku kecut kalau menelepon, nada suara tetap tidak bisa
dihobongi. Hei, aku butuh berpura-pura tegar mengatakan hal barusan. Aku butuh
berpura-pura kuat dan dewasa.
Kutangkupkan ponsel di tanganku. Belum ada nada getar. Gilang belum
membalas. Aku edarkan ke jendela. Mataku sudah berair, aku hanya berharap tidak
tergugu di sini. Memalukan, menangis di dalam bis. Seperti anak yang tidak
dibelikan mainan oleh ibunya di pasar. Sudah masuk Solo. Sebentar lagi aku
sampai. Mungkin sebentar lagi Gilang berangkat.
Aku terkesiap, ponselku bergetar. “Maaf Fara, aku membuatmu seperti ini.
Maaf atas kesalahanku selama ini.. Lalu, menurutmu sekarang bagaimana? J” Emotikon lagi. Sok benar dia. Gilang pikir titik dua kurung tutupnya
kelihatan emotikon smile? Justru sekarang ini tampak mengerikan. Paradoks.
“Hanya kamu yang salah? Aku juga, Lang. Aku bahkan setelah memendamnya,
lalu memupuknya dan berharap yang aku tanam itu, akan bersemi. Aku minta maaf
sudah mengatakan ini, takut benar kalau kamu tersinggung” Aku sudah tekan
tombol “Send” dan baru menyadari aku belum menanggapi satu pertanyaannya. Apa yang dirasakan Gilang sekarang ini?
Perasaan sejatinya sekarang, seperti apa?
Aku yang mengatakannya lebih dulu. Maka jelas, aku yang harus
mengendalikan. Aku tahu aku harus mengendalikan perasaanku sebelum dengan
begitu yakin menyampaikan ini pada Gilang. Ah, bohong benar. Sekarang
kristal-kristal itu sudah meleleh, berjatuhan di layar ponsel. Aku
menengadahkan kepala, sekarang apa? Aku
juga tidak tahu harus bagaimana, Lang. Kenapa
bahkan kau tidak coba untuk menyanggah apa yang aku sampaikan? Mengatakan
bahwa apa yang aku bilang salah adalah benar, mengatakan bahwa kita yang
seperti ini sudah benar adanya, mengatakan bahwa tidak ada yang harus direvisi
dengan janji kita tempo lalu.
Gilang membalas pesanku, kali ini tidak terlalu lama. “Fara... J Terimakasih atas selama ini. Aku tidak apa-apa, kamu juga baik-baik saja
kan? Apa yang Fara inginkan sekarang?” Apa-apaan
lagi ini? Apa yang aku inginkan, hah?? Sekarang aku menginginkanmu, Lang.
Kah kau tidak tahu? Aku mendongakkan kepalaku lagi, sekarang air mata sudah
bergulir besar-besar. Sesak sekali rasanya, tapi harus kutuntaskan..
“Dulu kita menyimpannya, mengubur di tempat yang kita sama-sama tahu.
Sekarang lebih baik, kita buang jauh-jauh, dipendam di tempat yang kita
tinggalkan tanpa tanda. Biar saja bila tidak ditemukan, toh ada yang lain yang
akan menemukannya. Kita hidup masing-masing”
“Menurutmu begitu lebih baik?”
Dia mengujiku, tapi sudah terlalu jauh untuk berbalik. “Iya.. J Bagaimana?” sekarang giliran aku yang membuat kepalsuan. Emotikon yang
paradoks.
“Aku setuju. Semoga kita bahagia di hidup kita masing-masing. Sukses..”
Saat ini aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa. Berpura-pura
baik-baik saja dan tetap mengamini? Tugasku sudah selesai, membuatnya
bersepakat dengan apa yang aku ungkapkan. Kuusap sudut-sudut mataku. Aku tidak
tahu ujungnya akan seperti apa nanti, apakah benar-benar tidak ada interaksi
sama sekali, bilakah ada pasti akan sangat canggung. Aku belum bisa
membayangkan apakah masih bisa tersenyum dan mengklaksonnya saat bertemu di
depan gerbang fakultas.
Ponselku bergetar lagi. Kubuka layar kunci. Gilang. “Ra, Sherlock Holmes
yang series kemarin, sudah ada lanjutannya lagi belum? Aku baru punya yang
ke-4..”
Apa yang kau inginkan
sekarang, Lang? Mencoba berdamai dengan perasaan? Kau saja. Aku belum. Aku masih susah payah mengelap pipi, membersihkan sudut
mata, membersihkan layar ponsel yang basah. Bagaimana bisa secepat itu
mengalihkan topik, seolah sms yang aku kirim barusan hanya “Harga nasi telor
sekarang naik jadi lima ribu..” Kamu
ingin aku membalas apa?
“Memang baru sampe 4 kok, Lang. Mungkin yang selanjutnya belum release,
kemaren aku cari juga belum ketemu.. Biasa download dimana?”
“Minta dari temen kos, hehe.. Udah sampe rumah, Ra?”
“Ooh, dia suka Sherlock Holmes juga? Belom, ini baru turun dari bis Solo,
ganti bis” Aku sudah turun dari bis tadi, mencari bis kecil untuk melanjutkan
perjalanan ke rumahku. Terminal ramai sekali tapi bis menuju ke daerahku tidak
ada satu pun.
“Eh Ra, udah dulu ya. Keretaku datang..”
Aku mematung. Bulir air mata itu mengalir lagi. Keretaku datang.. Aku sampai dan dia berangkat. Kucari keranjang
sampah dekat tempatku berdiri, membuang permen karet stroberi yang dari tadi
kukunyah. Sekarang sudah tidak legit. Pahit.
***
Mb ma, beberapa puzzle memang tak sama, hanya ini yang bisa kulakukan untuk mendokumentasikan..
0 comments: