Maaf, ini bukan cerita
misteri. Ini hanya recount, atau yah kalau kamu tega, ini bisa disebut laporan
perjalanan.
Ketika berniat melakukan sesuatu, memang lebih
baik tidak usah ditimbang terlalu lama. Lebih baik lagi spontan. Udah lama
pingin naik gunung yang bener-bener gunung, biasanya cuma bukit-bukit bermedan
terjal atau, dulu pas di Banjar, naik gunung Lawe—gunung mati yang belum ada
apa-apanya kalo dibandingin ama gunung beneran. Tapi ya, nggak konkrit! Sekali
dua karena dilarang, beberapa kali lainnya memilih ke Klaten dan ‘bertapa’ :D
Jadi, ini pendakian pertama? Ya, untuk gunung
sekelas Merbabu. Tiga hari sebelumnya sudah well-informed, tapi karena nggak
punya duit buat sewa-sewa perlengkapan a-z, nggak antusias. Maka jadilah hari
Rabu pagi tertanggal 14 November 2012, aku sibuk cari info, cari temen, cari
duit (di ATM :p). Dengan bekal izin orang tua dan keberanian bolos Literary
Appreciation (yang ini nggak termasuk ijin orang tua), rombongan berangkat. 17
orang, banyakan dari kalangan sendiri—FBS. Tapi ada yang malah dari UMY kok.
Tapi, November adalah musim hujan. Tapi,
perjalanan ke Base Camp Selo di Boyolali nggak cukup gampang. Tapi, daerah
gunung umumnya sih, dingin. Jadilah kami, ‘rombongan-yang-kehujanan-dan-motornya-susah-oper-gigi-terus-kedinginan-sampe-kancilen’
akhirnya sampai di Base Camp jam 12 malem. Malem 1 suro. Tujuh jam perjalanan, boi! Terlalu banyak featuring. Featuring
ban bocor, featuring kesasar. Hehee. No matter the past, life must go on. No
matter the start, show must go on. Kami naik mulai jam 2. Udara udah dingin
banget nggak karuan. Ujung jari masih beku, bekas kanginen naik montor di
jalan. Gigi juga masih kancilen, gemeretuk-gemeretuk nggak bisa ngomong, tapi alhamdulillah
pas dibawa ndaki mulai kemringet. Satu jam mendaki udah kepengen lepas jaket,
kadang gantian sama mantol dipakenya.
Kami sampai di tanah yang agak lapang menjelang sunrise. Dan bener, habis sholat itu
matahari keliatan muncul dari arah......utara! Woi harusnya timur, matahari
terbit dari timur! Berati tadi sholatnya salah, SALAH ARAH! Ini timur dong,
berarti sholatnya tadi hadap utara T.T
Oke, kesalahan kompas nggak layak dibahas. Langit
fajar itu cantik banget. Semburatnya agung! Subhanallah.. Ini adalah awal bagi
semua kan? Awal bagi semua yang hidup menikmati cahaya. Awal yang menjanjikan
bagi pedagang kubis, 1 pick-up penuh telah terisi sayuran hijau yang masih
segar, siap berganti dengan rupiah. Awal yang menjanjikan bagi para pengajar, lembur
tadi malam mempersiapkan materi, akan dipanen hasilnya bersama bocah-bocah pagi
sampai sesiang nanti. Awal bagi para penyair, memulai lagi dengan energi baru,
atau menuntaskan janji gagasan kemarin. Langit fajar adalah cahaya pertama,
yang walaupun pekat, ia mengawali banyak episode-episode.
*sori San, pinjem foto :D
I would say
that you will enjoy the time after the dawn is coming. The orange, you’ll never
regret that your eyes clearly capture it.
Kami istirahat sebentar sampai jam 7, ngobrol ngebrel, foto-foto, sama yang jelaaas, MAKAN. Haha, sarapan gitu, buk!
Ternyata belum setengah perjalanan. Kami masih
belum melewati pos 3 padahal total pos ada 5 sebelum nantinya sampai ke Puncak Triangulasi,
terus Puncak Kentung Songo, puncaknya Merbabu! Tapi ini lebih dari yang selama
ini dibayangkan. Vegetasinyaaaa, udah dari edelweiss yang cebol sampe tingginya
sepohon nangka, bunga kecil-kecil, koloni, ‘I-dont-know-the-name’ tapi imut, pohon yang
entah buahnya entah apanya kayak tumor, sampe murbei yang masih merah muda sama
udah ungu-ungu (kata Hasan, itu beracun. Bohong banget. Aku makan 2 biji tapi 1
jam kemudian masih idup).
ini nih Edelweiss...
Ini juga pohon edelweiss, tapi yang udah tinggi-tinggi..
Tapi sodara-sodara, di antara semua yang paling
mengesankan adalah sabananya! Merbabu punya 2 sabana, keduanya sama-sama kayak
di dunia teletubbies. Liatin gugusan bukit-bukit merbabu dari savana yang luaas banget ini udah puas.
Gimana entar puncaknya? (Begini ini kalo beginner, udah lebay kasih deskripsi,
orientasinya kudu sampe puncak).
"Aku sendiri, tapi aku bertahan" kata pohon itu.
tapi ini bukan teletubbiesnya -____-
Singkat cerita, sampailah Rahma Fitriana di
puncak! Jangan, nggak mau singkat. It is better to tell you the truth. Aku
termasuk rombongan terakhir (ngomong aja orang terakhir wkwk) yang akhirnya
sampai puncak. Kebanyakan istirahat bikin lemes, dan aku malah tidur. Payah
banget. Kaki yang tadinya nggak kerasa pegel jadi malah susah digerakin, susah
buat jalan. Beberapa teman memutuskan untuk berhenti dan ikut rombongan yang
malah udah turun dari puncak. Tapi ingat, aku mungkin terlalu beginner, obsesi
puncak masih bertahan. Sayang, tidak sebanding dengan stamina. Temen pendaki
serombongan kusuruh duluan (Dia cerewet, tanpa henti meneriakiku dari atas,
niatnya menyemangati. Memotivasi. Tapi buat orang yang lagi lemes terus
sesengelan, lebih kayak manas-manasi).
Pas udah kelar 1 bukit paling terjal ini, aku kira
udah sampe. Tapi belum, ini baru puncak Triangulasi. Aku tereak, panggil nama temenku
yang tadi ta sia-siain (orang bisa begitu kejam ketika merasa dia tak sanggup
menggapai sesuatu kan? *permintaan harap maklum*). Mau nggak mau harus tetep
naik, nggak peduli ini jalannya bener apa salah. Untung nggak jauh dari situ,
ada 2 mas pendaki yang kayaknya mau muncak juga, lagi leren. Karena ge-er, aku dengan bego tereak “Mas, Mau ke puncaak?
*Masnya ngangguk* “Duluan aja mas!”
Tapi malah ditungguin, habis itu gantian
ditereakin, “Minum mbak, kalo capek! Sante aja!” Aku berhenti, minum, lha emang
capek. Sampe ke deket 2 orang pendaki itu, malah ditawarin minum.
Mas 1 :
Minumnya masih mbak?
Mas 2 :
Dikek i sing seaqua kae wae
Aku :
Masih kok mas (takut diracun), tadi ada yang udah sampai di atas?
Mas 2 :
Kayaknya baru 1 kok, mbak-mbaknya tadi, temennya ya?
Aku :
Banyak kok mas, tapi udah lama. Itu! Mas e asli mana?
Mas 1 : Magelang
mbak, lha mbak e?
Aku :
Ngapak mas, Mbanjar... Tapi ini rombongan dari UNY...
Mas 1 : Oo,
inyong inyong. Hehee. Tambah minumnya, ni, lha itu udah tingal seglagepan...
Aku :
Hehe iya (liat botol 1500 mL yang udah tinggal segaris bawah). Mau deh mas.
Mas 1 :
(ngeluarin Tango, Crunchox, Madurasa) Ini sekalian mbak, nggo sangu.
Mas 2 : Iya
lho mbak, madu, ben ra garing, munggah gunung marakke lambene garing!
Aku :
Udah, air aja. Woh rasah kakean mas, halaah, penuh og pie... berdua tok ini?
Mas 2 : Ho’oh,
yo mung cah loro. Wis rapopo mbak, kui mbarang jajane..
Mas 1 : Kita
masih banyak kok mbak, gawanen wae!
Aku :
Ambil madunya aja deh mas, makasih banyaak. Malah ngrepoti.. (kedok)
Rahma, 20 tahun, kehabisan air, orang terakhir dari rombongan ekspedisi bip bip bip yang sampai puncak \(^o^)/
Setelah mendapat bantuan dari mas 1 dan mas 2 dari Magelang, alhamdulillah
sampai ke puncak. Jam 1 tepat! Baru nyampe, udah disuruh turun. Kalo kesiangan
turunnya, nanti kesaing sama kabut.
Puncak Trianggulasi dan Puncak Kentung Songo! YAY!
Dari semua rombongan, nggak semua sampai puncak. Ada yang udah sampai
lebih awal juga, jadi duluan turun
Turun emang lebih cepet daripada naik. Ngesot,
ngesot dah. Ngglinding, ngglinding dah :D. Sampe camp setengah perjalanan, rombongan
kami yang emang bikin dome disitu mengeluarkan isi perbekalan. Hampir semua mi
instan sama roti sama snek berat lainnya, dibukain semua. So sweet, kami yang
dateng terakhir dan udah bikin mereka kedinginan nunggu malah dibikinin mi,
dibikinin susu, dikasih coklat. Iya, coklat. Kata masnya yang udah senior,
coklat penting buat pendaki.
Sebagian besar dari kami turun segera setelah
shalat Asar, tiga dari kami ketinggalan di belakang karena Abi—maba 2012 yang
ikut pendakian, kena hamstring. Ototnya ketarik jadi butuh dipapah sama 2
orang. Rombongan pertama sampai di base camp jam setengah 9 malem. Tapi, sampai
pagi, ketiga orang itu belum nongol juga. Mas Sativa—salah satu pendaki ahli dan
mas Awan (ada klasifikasi pendaki amatir dan pendaki ahli, versiku) memutuskan
untuk naik lagi membawa bekal minum dan logistik dari kami yang masih tersisa. Tapi,
mereka berdua belum jodoh dengan ketiga teman kami. Alhamdulillah dengan
meminta bantuan warga, Abi, Mas Ferdi, Mas Arif—tri mas getir yang luar biasa
kami cemaskan sampai juga di base camp. Abi digendong salah satu warga. Kami
langsung turun dan balik jogja. Paginya? Wuhuu, jelaaaas.....sensasi remek!
Susah buat naik turun. FYI, kosanku lantai 3 -_________-
Kalo boleh ngasih saran, buat sesiapa yang mau muncak,
mending bawa:
ü Jaket 2 biji, atau jaket sebiji tapi tebel beud
ü Mantol—bisa buat tambah anget
ü Sleeping Bag
ü Matras
ü Tas yang punya krukupan—meles banget kalo semua isi tas basah kan?
ü Mie instan, susu/kopi
ü Air 1.500 mL 2 buah—di atas nggak ada air, air penting banget
ü Coklat batang
ü Sandal gunung—pake sepatu bikin jempol sakit kalo pas turun, pake sandal
japit dijamin njebrot di tengah jalan :P
ü Slayer
ü Sarung tangan—yang nggak bolong jarinya
ü Kaos kaki 3 rangkep
"To climb is to know how far you can travel"
#1
A asked B about something he did not not understand well.
A: “Pencernaan kimiawi dimulai dari mulut, memecah karbohidrat jadi
disakarida ”
B: “Maksud lo?”
|
A: “Mulut itu kan punya enzim, namanya ptialin, jadi dia bisa memecah zat
karbohidrat menjadi disakarida, contohnya sukrosa...”
B: “Oo gitu, aku paham sekaraang!”
It is considered as literal meaning of ‘maksud lo’. Thus, it has falling
intonation—truly interrogative. The speaker is literally say this to ask
hearers about the information he/she has just heard. Speakers are curious about
it and simply need to get the answer from his/ her question which is ‘maksud
lo?’
#2
A said that Mr.X,
his biology lecturer moved into another school. He already heard and he was
so surprised.
A: “Pak X udah nggak ngajar di sekolah ini
lagi lho”
B: “Hah? Maksud lo?”
A: “Yaa beliau udah pindah, nggak ngajar kita lagi...”
In this case, the use of ‘maksud lo’ has been modified to convey surprise.
The speaker’s intention is not merely asking the information but speakers try
to express that what they have already heard is something they do not expect/
believe.
#3
B wants to convey something he is not very sure.
Therefore, he says his supposition to B.
A: “Nonton The Avengers di Cinema XX1 yuk”
B: “Tiketnya mahal”
A: “Siapa bilang lo harus bayar tiket?”
B: “Maksut lo........lo mau bayarin gue?”
‘Maksud lo’ is used by speakers to say something they are not very sure. It
is expected that hearers can respond toward speakers’ guess concerning a
particular thing which the hearers probably know. It is usually followed by
either hearer’s or speaker’s guess.
#4
A gossiped B and his ex. B was very angry
because what was told by A was all fake.
A: “Eh, tahu nggak sih kalo si B itu masih
ngejar-ngejar mantannya..”
C: “Waah, iyakah? Gimana, gimana?”
A: “Iya, si B masih suka telpon, sms-an,
jemput mantannya gitu...”
B: “Eh, A, maksud lo apa hah?”
The use of ‘maksud lo’ is also found in a respond toward the insulted
utterances. Someone may say something rude and offensive then the speakers
react with this kind of utterance. It is not intended to ask him/her to say
that insulted utterance again, or even explain what it means exactly. It is
just the speaker who is really insulted and perhaps simply gives a scolding for
him/her.
#5
A was going to have the final examination and
he would like to study. However, B was very busy of playing cars. A was
annoyed.
A: (studying)
B: “Buuum, buum, ngeeeeeng (playing cars)”
A: “Sst...”
B: “Ciiiiiit, brrm brrrm, ngeeeeng”
A: “Heeeei, MAKSUD LOOO?”
The purpose by uttering ‘maksud lo’ may be recognized as the condition of
speakers who are not willing to be disturbed. They can be angry and make it
slower in pronouncing such utterances. People use this way to give more
emphasis instead of simply saying ‘what’s on earth are you doing here?’
A PRAGMATICS task.
Having this course is somewhat ridiculous by ‘keep staring’ on what people have
already said :D
I’m fine.
I’ve just watched an infotainment
Telling that someone has broken up
Telling that someone has back to the ex
I’ve just heard from the news
Telling that Dr. Martens is already imitated
Telling that a horrible hurricane wipes out the shore
Telling that Mr. President is going to have economic
negotiations
With those—ah, big-fat-liar countries
I don’t care
Never as good as before.
I reach to the downtown and find roses
Where a cuppycake is already served
Where the sofa is available—pleased to be seated
I reach the door and sing silently
It’s not exactly my time being here
Is it such enjoyment walking through the path?
Passing buzzing bee but a fake
To make me convinced but no use
Believing what I believe is priceless
Tricky but sure, buzzing bee collect pollen
I know I have to pretend having chitchat with the bee
But I cannot stare at anyone
I’m indeed fine
It’s funny how you believe me
when it is said
Kami kembali
dengan hati yang gamang
yang mencemaskan
besok matahari akan cerah atau tidak
yang mencemaskan
senja akan jingga atau abu
yang mencemaskan
apakah kabut masih setia menggulung fajar
bukan untuk siaran
cuaca
aku hanya ingin
tahu: kita masih bisa menikmatinya bersama, atau tidak
Kami kembali
dengan hati yang gamang
yang mengkhawatirkan
apakah televisi masih dihegemoni infotainment
yang
mengkhawatirkan apakah sinyal providerku available disana
yang
mengkhawatirkan apakah pos kilat benar-benar sampai tujuan 3 hari
bukan untuk
mengecek efektivitas alat komunikasi
aku hanya ingin
menanyakan: masihkah kau percaya padaku?
Kami kembali
dengan hati yang gamang
yang bingung
apakah ini hanya temporal atau sedikit lebih lama?
yang bingung
bagaimana akan awali bersalaman, basa-basi, dan tertawa
yang bingung bagaimana
harus menatap? Bersahabat, sendu, atau palsu?
yang bingung
bagaimana harus bersikap? Ramah, marah, atau apatis?
bukan untuk mempelajari
pola tingkah laku
aku hanya menebak:
aku pasti berbuat salah
Kami kembali
dengan hati yang gamang
yang takut
kalau-kalau kamu lupa caranya main bekel
yang takut kalau
kamu tidak suka lagi nasi jagung kerupuk udang
yang takut kalau
kamu bahkan tak mau lagi menggandengku ke masjid buat shalat duha
bukan untuk pamer
aku tahu kebiasaanmu
aku hanya penasaran: kamu, apa kabar?
Dari seperempat
jam yang lalu ia hanya bersandar di depan meja resepsionis. Lama, tapi seperti
sedang menunggu sesuatu selesai dikerjakan. Sibuk tengok kanan, arah
pandangannya tepat ke pintu bertuliskan Unit Radiologi. Pintu yang tepat berada
di sebelah kananku. Kalau nggak sedang cemas seperti ini, aku jelas akan GR.
Dia memandang ke arahku. Tapi itu ada dalam list keseratus sekian karena
setelah kurang lebih lima belas menit berdiri gelisah di meja resepsionis, ia
kemudian berjalan cepat ke pintu Unit Radiologi tadi. Mengibaskan ‘jubah putih
agung dokter’nya lewat di depanku. Tak satu inchipun melirik. Hm ya jelas mana
tertarik, sama pasien jelek berkursi roda.
Setelah ‘sesi
pemotretan’ ini selesai, aku menunggu namaku dipanggil. Rumah sakit ini
sepertinya punya banyak dokter, tapi kenapa mereka antri dokter yang sama
denganku. Dokter yang sudah dengan setia ditunggu pasiennya dari jam 10 pagi
tadi, baru masuk ruang praktek jam 2 siang. Sempurna. Antrian pertama bergerak
mulai setengah 3. Nomer 9? Dapet jatah jam empat. Hasil fotografi tadi lalu
dipajang di neon entah berapa watt, tapi aku liat tulang betis dan ulnaku di
sana. Ada tulang telapak kaki juga. Ia menuding-nuding dan menggumam-gumamkan
sesuatu seperti ligamen, sobek, dan fraktura. Yang hanya jelas aku dengar dari dokter-yang-sudah-tua-dan-banyak-antriannya
itu adalah ‘oke, ini langsung kami tangani mbak, puasa sampe jam 7 nanti ya’. Si
ibuk, yang dalam kesempatan ini sok tahu bertanya, ‘Dibius dok?’ Hh sempurna
aku punya gambaran sekarang.
18. 30 WIB
Ibu sibuk telpon
sana-sini, sesekali melihatku (lebih tepatnya kursi roda) dan ruang bedah
bergantian. Mungkin menghitung jarak. Ibu kan guru matematika. Dia lewat lagi.
Kali ini langkahnya lebih tenang. Dengan adegan yang atas imajinasiku kubuat slowmotion, aku berhasil menyimpulkan
kalau dia mirip Lukman Sardi. Rahangnya kukuh, tegas. Tangannya memegang
dokumen hasil photo session seperti
punyaku tadi. Ia jadi sering lewat, kadang berjalan dengan elegan, kadang agak
tergesa menuju meja resepsionis, membuka ‘hasil fotografi’ dan sepertinya
memperbincangkan sesuatu. Beberapa kali beriringan dengan perawat yang memakai
baju hijau muda, tertawa tipis. Makin mirip Lukman Sardi. Hellooo, this is
hospital, ladies and gentleman. It’s neither pers conference nor movie
launching.
18. 40 WIB
Aku baru sadar
bahwa aku sudah merasa familiar dengan pemandangan laju kursi roda, tempat
tidur pasien, kruk, tongkat, perban yang melilit, dan bebat plester yang ada
merah-merahnya. Setidaknya ini sedikit membantuku untuk rileks. Sebelumnya kan
riwayat medisku bersih, hanya dikotori oleh rawat inap karena salah makan saat
balita dulu. Jadi belum pernah berinteraksi terlalu akrab dengan rumah sakit,
apalagi rumah sakit orthopaedi seperti ini. Aku sama sekali tak tahu kalau
tahun-tahun selanjutnya catatan medis itu semakin panjang. Eh, dia lewat lagi.
Karena mungkin merasa aneh dan risih ada yang memandanginya terus, si Lukman
Sardi menengok ke arahku. Datar, lalu jalan lurus.
18. 45 WIB
Seseorang yang
memegang berkas-berkas tidak tersusun rapi melemparkan pandangannya di ruang
tunggu. Memanggil namaku jelas sekali, ia mendekat ke arah ibu. Ibuk sudah
lebih dulu mengacungkan tangannya ketika perawat berseragam hijau muda tadi
meneriakkan ‘Rahma Fitriana’. Dan sekali lagi dengan jelas (tapi kali ini lebih
pelan) ia berkata, “Sebentar lagi masuk ruang bedah ya, Bu”. Aku dan ibuk
santai. Kita sama-sama sudah ngantuk. Tapi aku malah mencoba mencari-cari
dokter Lukman Sardi. Kalau itu Lukman Sardi, kenapa dia ada di sini, masak
shooting nggak ada kru nggak ada kamera. Tapi kalo dia bukan Lukman Sardi, (ah
jadikan dia Lukman Sardi) kenapa bisa mirip banget nget nget...
18. 48 WIB
Aku sempurna
didorong mas perawat tadi ke ruang bedah. Lalu dipersembahkan di depanku sebuah
ranjang berselimut putih tebal, bantalnya ditinggikan. Mas perawat hijau muda memanggilku
dengan nama, menanyai kelas dan sekolah dimana. Aku sudah khawatir
jangan-jangan habis ini dia akan bertanya tentang jadwal pelajaran. Untungnya ada
seorang dokter mendekat, dokter yang di jas putih agung dokternya tertulis nama
‘Vida’, segera mengambil alih perbincangan. Kekinian dan kedisinian. Berujar
tentang nanti akan dibius, tidak sakit, dan akan cepat. Belakangan aku baru
tahu kalo yang ngomongin tentang bius itu namanya dokter anestesi.
Ini masih di ruang tunggu kamar bedah, jadi aku
punya waktu untuk menikmati udara yang dingin aneh beberapa saat, ditemani
perawat tadi yang sekarang mulai bertanya tentang apa yang terjadi dengan kaki
kiriku. Eh heii, dia mirip penyiar berita RCT*! Butuh beberapa detik untuk
mencari namanya di folder memori, tapi hobiku memirip-miripkan orang bekerja
lebih cepat. Aiman Wicaksono!
(Tidak tahu jam
berapa, hapeku sudah dititipkan ke ibuk)
Ranjang istimewa
ini didorong masuk ruang B, suhu udaranya bertambah dingin. Tidak seseram ruang
bedah yang ada di sinetron, lampunya tidak dimatikan, tapi 4 lampu yang
dirangkai bersama di tengah ruangan, itu benar. Yang membuatku terlalu
berimajinasi justru peralatan yang ada di sekitar ruangan ini. Final
Destination. Gunting yang besar (jangan samakan dengan gunting rumput, ini
bentuknya sedikit aneh), perban yang gulungannya besar sekali, alat yang
ujungnya tajam seperti jarum jahit yang dizoom, dan ada beberapa benda tajam
lainnya, tidak familiar. Sambil membenarkan posisi kaki kiriku, mas perawat
hijau muda bertanya lagi, kali ini tentang bagaimana aku bisa jatuh dari tangga
masjid. Cukup membanggakan menyebut sebab semua ini. Jatuh dari masjid punya
konotasi yang bagus. Anak alim. Ya, dalam setiap bencana tetap ada yang harus
disyukuri kan: dapet image baru yang lebih berkelas. Pintu ruang bedah B
terbuka, dan karena itu adalah satu-satunya hal yang paling menarik yang
terjadi waktu itu, maka adegan pintu yang dibuka pun aku tonton. Dokter Lukman
Sardi! Tak berlebihan aku menyebut pintu yang dibuka tadi adalah sebuah adegan,
ini bintangnya. Ia memeriksa kakiku, menekan bagian engkel yang bengkak.
Lukman Sardi : “sakit?”
Aku :
“iya”
Lukman Sardi : “ini cuma digips kok, nanti kan terus
enggak bengkak lagi” (sambil tersenyum)
Aku :
“digips kenapa harus dibius?”
Lukman Sardi : “ini disposisi, jadi nanti kita benerin
dulu (sambil meragain mbenerin tulang, yang justru terlihat seperti meres jemuran).
Ligamennya juga sobek itu”
Aku : “Oo..
(padahal nggak mudeng)”
Lukman Sardi : “Tapi santai aja, nanti kan dibius jadi
nggak kerasa apa-apa”
Aku : “Hehe,
iya hehe”
Lukman Sardi : “Kelas berapa de?”
Aku menjawab pertanyaan Lukman Sardi dengan
semangat, menyebutkan kelas dan jurusan. Menyebutkan nama sekolah dengan cepat,
tidak seperti sesi wawancara dengan Aiman Wicaksono tadi. Pintu berderit lagi,
dokter Vida masuk. Dia masuk bersama perawat hijau muda a.k.a. Aiman Wicaksono.
Yang berbeda, kali ini sang perawat kalem, tersenyum hangat, membenarkan lagi
posisi kaki, meninggikan letak bantal. Dokter Vida memasangkan alat seperti
oksigen di hidungku (aku tidak bisa memiripkannya dengan siapa-siapa).
Dokter Vida : “saya pasangkan ya, tenang aja”
Aku :
“He’em” (kedengaran sengau)
Dokter Vida : “Udah, kayak tidur aja, rileks...”
Aku : “He’em” (lebih sengau karena sekarang aku
menahan napas, ada gas yang melewati ‘pembungkam’ mirip oksigen ini, baunya
menyengat)
Dokter Vida : “Kenapa?”
Aku : “Eng mm em ekk”
(sekarang jadi sempurna gagu, nggak bisa ngomong, lha dibungkam sama alatnya gini, aduh dok, gimana to, ya
kan jadi nggak bisa jawab dok)
Dokter Vida : “Eh, kenapa? Takut?”
Aku : “Mm mm mm” (sambil
dadah dadah, tadinya mau ngomong ‘enggak’)
Dokter Vida : “Lho, nggak usah takut, tinggal
dihirup,”
Aku : “....” (Oo dihirup,
haha mana aku tahu)
(belum lihat jam)
Aku sudah keluar
dari ruang B, tapi masih di ‘lobi’ ruang bedah. Aku berharap yang pertama
kulihat adalah Lukman Sardi, penasaran sekali ingin menanyakan film terbarunya.
Atau minimal dokter Vida, aku ingin meminta maaf telah membuatnya bingung atas
urusan anestesi tadi. Tapi malah Aiman Wicaksono. Takut ditanyai banyak, aku
alihkan perhatianku ke kaki kiri yang sekarang berbalut fiber putih dari bawah
lutut hingga ke telapak kaki, menyisakan jari-jari kaki yang bebas bernapas. Penasaran,
aku angkat, dengan bodoh dan kesadaran seadanya, bertanya: “ini udah?”
Aiman menjawab
dengan tersenyum, “Sudah, ini nunggu pengaruh obat biusnya hilang, terus kamu
bisa pulang.” Hh, iya luuh iya, mana betah juga di sini, betah ding kalo ada
Lukman Sardi. Hhe. Dokter Vida mendekat, menanyakan kabar dan mengatakan bahwa
mungkin sedikit pusing, tapi sebentar juga akan hilang. Dia menyuruh Aiman
Wicaksono mendorong ranjangku keluar. Di depan pintu persis sudah ada ibu.
Cantiknyaa, dia tersenyum lega sekali.
21. 12 WIB
Ini semacam ruang
transit pasien yang habis dari ruang bedah kayaknya. Aiman beringsut sebentar
mengambil plastik kresek. Katanya kalau aku mual tinggal bilang, kalau mau
muntah tinggal bilang. Iya, emang pusing. Bau obat bius tadi juga seperti masih
berputar-putar di sekitar hidung, polusi sekali. Pakdhe yang ikut mengantar
Ibuk dan aku sekarang bertanya pada Aiman bagaimana proses pemasangan gips. Aku
mau ikutan tanya, harus ada pembalasan dendam beberapa pertanyaan untuk Aiman
Wicaksono ini. Tentang kenapa tadi biusnya nggak lewat suntik, tentang
bagaimana obat bius bisa bekerja.
Dia menjelaskan
tentang penghambatan impuls, aku bertanya apakah itu tentang neurotransmitter.
Apakah tentang Ca2+ dan Na, apakah itu efeknya ke cerebrum atau
cerebellum atau keduanya, dan apakah target obat bius lokal dan bius total itu
ke suatu hal yang sama atau tidak. Dia menjawab tangkas, menjelaskan singkat.
Jangan-jangan benar penyiar berita di Seputar Indonesia itu. Aiman Wicaksono
menyuruhku untuk sekolah di kesehatan kalau pengen tahu lebih banyak. “Ya kalau
perawat kan lebih ke prakteknya sekarang, udah nggak belajar teori-teori kayak
dulu pas kuliah. Pengen tahu ilmunya? Kuliah di keperawatan atau kedokteran
besok,”
21. 20 WIB
Tambah
kleyeng-kleyeng, tapi kata mas perawat hijau muda Aiman Wicaksono ini aku sudah
boleh pulang. Ibu menolak aku dirawat inap, 2 jam perjalanan akan menyulitkan
pergantian shift jaga. Ya Allah, visioner. Senang sekali berpindah ruangan, aku
punya kesempatan bertemu Lukman Sardi lagi kan.. Tapi sampai di luar rumah
sakit, detik-detik dimasukkan ke bagasi, eh mobil, dokter Lukman Sardi nggak
kelihatan. Aiman Wicaksono berkata beberapa hal penting seperti harus hati-hati
karena jika jatuh atau terpeleset bisa disposisi lagi dan harus kontrol dua
minggu sekali. Mungkin bisa bertemu dengan Lukman Sardi lagi kalau pas kontrol.
Perawat Aiman Wicaksono kemudian memindahkanku ke kursi mobil yang sudah diatur
derajatnya, biar bisa buat tiduran. Sambil memperbaiki sprei tempat tidur yang
aku gunakan, ia bergumam pelan, tapi sayang terlalu jelas aku dengar, “Berat
badan kamu berapa , jan abot lho.."
*fraktura SMA: hasil obrak abrik file jaman kuna baheula
Subscribe to:
Posts (Atom)
2 comments: