(daripada capek bingung, mending nggak dikasih judul)
0
Satu
tiket bioskop, satu orang. Satu orang, satu tanggung jawab. Ah, andai seindah
itu....
Malam ini begitu benderang, tak tega rasanya kalau
diam saja di dalam kamar berhadapan (lagi-lagi) dengan tuts-tuts keyboard yang
karakternya tak berubah. Bosan berada dalam pengap senyawa sisa semangat hari
ini dan harapan buat besok. Aku pikir lebih baik di luar, menggantungkan kaki
di pagar lantai tiga, mengamati apakah halo bulan akan datang malam ini. Atau lebih
baik berkunjung ke kamar tetangga, setidaknya ada yang bisa diperbincangkan,
entah tentang skripsinya embak kos, rencana setelah lulusnya embak kos yang
satunya, rencana pernikahan embak kos yang satunya lagi, atau sekedar tentang
mas-mas yang jualan topi di Sunmor (ini jelas ceritanya adek kos. Unyu.)
Terkadang
butuh tenaga cukup banyak untuk sekedar mengangkat 1 kardus air mineral.
Tak mengapa kau marah, tapi bisakah ini tidak
berlangsung lama? Kalau memang lama, beritahu dulu sampai kapan. Biar aku siap-siap.
Biar tak harus menangis ketika menelponmu. Biar tak harus lari ketika bertemu.
Biar tak harus menundukkan kepala ketika besok berbincang (Ah, akankah masih
ada besok?) Aku lebih suka tidak mendiskusikan mengapa dan bagaimana, tapi aku
juga benci mengira-mengira. Lebih benci berprasangka. Kau pasti tak tahu kan,
bahwa imajinasiku bisa saja menembus selokan lapis 7 ketika sudah begini. Kalau
kata Kahitna, “...bila ku salah mengapa kau diam, mengapa kau tak bicara”
Seringkali
kita terlalu sibuk menatap cela orang lain.
Maafkan ya. Terlalu banyak dosa ke banyak orang.
Tenang, human error maupun kesalahan
teknis ada padaku. He’em semuanya. Iya, termasuk lupa memastikan jumlah barang
yang bisa dipakai sisa tahun kemarin. Iya, termasuk teledor menjaga koridor
lantai 1 karena dialihkan dengan instruksi lain yang insidental. Bodoh. Iya,
apalagi kalau bukan bodoh kalau dua tiga pekerjaan yang sebenarnya bisa
dilakukan sekali stater (pengganti sekali dayung), tapi satu itupun baru
setengah-setengah. Iya, termasuk mengabaikan sms-sms yang—astaghfirullahal’adziim, itu
sangat penting, sebenarnya harus ada kata yang lebih dari bodoh bagi sesiapa
mengabaikan sms-sms ini. Yakin, aku minta maaf. Iya, termasuk tentang pendataan
yang tidak kunjung rampung. Ada matriks di sisi kanan tempat tidur yang satu
tanda centang pun belum pernah mendarat kepadanya. Ada event yang harusnya
April lalu ke Mei lalu malah ke September. Simply speaking, banyak yang belum
tuntas.
Haha. Ini
sudah jelas, aku cemburu. Iri. Kata lain? Dengki? Hh, sepertinya iya...
Dua jari di kaki kiriku sepertinya punya tuntutan
khusus. Ia tak mau diam saja di dalam sepatu. Tadi sore kuajak jalan-jalan
berburu baskom dan centong setelah sebelumnya sok energik bikin track sprint di
tangga gedung kuliah. Aku senang, tapi sepertinya dua jari kaki ini ganti
mengajakku, untuk bersabar, untuk ingat umur. Aneh kok, ketika dibaringkan ia
tidak akan secenat cenut saat digunakan beli makan di warung depan. Maksudku,
walau cuma dibuat jalan sebentar.. Oya ding, mungkin ia sedikit butuh oli. Oke,
satu, butuh oli. Dua, butuh CTM. Konsekuensi logis dari kebanyakan salto dan
koprol atau kebanyakan sprint dan marathon adalah istirahat, tapi susah
dilakukan akhir-akhir ini. Bukan, memangnya aku seperti orang rajin yang lembur
dan produktif malam-malam. Bukan berarti aku knocturnal juga, aku tetap
berkeliaran pada siang hari, tapi malam hari aku punya space yang lebih sempit,
3x4 meter. Penderitaan setidaknya dibersamai dengan tuts-tuts ini lagi. Klasik,
tapi setia. Really I didn’t understand why sleeping nowadays does matter.
Current time: 02: 25 AM (menarik selimut adalah kebijakan yang tepat)
0 comments: