Akan indah pada waktunya, kan?
0
Kalau suatu hari, engkau berubah, pastilah bukan aku
sebabnya. Memahamimu saja tidak. Aku coba menulis tentangmu, tapi
haha, tombol undo sering sekali kupilih. Sudah berapa kali aku ketik, aku hapus,
aku ketik lagi, aku hapus. Sulit sekali menggambarkanmu. Menulis namamu saja
gemetar, terlalu pakewuh bagiku.
Mendengarkan yang lain menceritakan dirimu, rasanya mendebarkan, mendebarkan
sekali. Aku menyimak, tapi tak berani ikut terlibat. Tapi justru ini yang
membuat rasa cintaku sempurna, kan? Aku tak pernah mengatakannya.
Kalau suatu hari engkau berubah, pastilah bukan aku
sebabnya. Walaupun aku sekelas denganmu, bertatap muka setiap hari.
Aku bahkan sering satu deret bangku, kita satu garis. Aku sulit berhenti
bahagia ketika kita satu kelompok, sulit untuk tidak melulu senyum-senyum
ketika mengerjakan laporan sampai lepas asar. Tapi aku tak pernah sanggup untuk
berada dekat denganmu, takut kalau aku malah akan melakukan hal-hal bodoh. Tapi
aku tak berani SMSan selain tanya jawab tugas, takut kalau jari-jari ini
mengikuti hatiku, bukan otak logisku. Tapi aku tak berani tanya kabar, sedang
apa, sudah makan belum—menelepon, takut kalau aku hanya mendengar ‘baik’,
‘makan’, ‘lagi’.
Kalau suatu hari engkau berubah, pastilah bukan aku
sebabnya. Karena setelah kelas sebelas dan dua belas ini selesai,
mungkin kita nggak akan sekelas lagi. Ah ya, kamu kan punya cita-cita yang
berbeda. Mungkin akan jauuh, akan menginjak tanah yang berbeda. Mungkin (yang
ini hampir bisa dipastikan) aku tidak punya akses interaksi denganmu. Mau pakai
alasan apa lagi, nginfoin PR? Njarkom kelas? Ngingetin bayar LKS? Tidak ada
lagi alasan kan? Mungkin kita akan benar-benar hanya bisa berinteraksi lewat
buka bersama kelas atau reunian nanti.
Untuk Fiki, tentang delapan belas tahun yang merah jambu.
0 comments: