Kamu yang kerap kali menandai hujan deras sebagai album kenangan,
tersenyum-senyum di jendela kamar, apakah kamu yakin kalau bahkan dia punya
fotomu dalam albumnya? Kamu yang menganggap gerimis adalah fragmen tipis
pengingat hari-hari bersama, apakah kamu bisa memastikan kalau dia ingat salah satu momen saja? Bahkan jika bagi
semua, petir adalah keganasan, maka bagimu, petir barangkali lampu flip flop
penerang satu dua cerita kebahagiaan.
Kamu yang sudah siap menunggu senja bahkan dari 2 jam sebelum matahari
tergelincir, apakah kamu percaya bahwa waktu berharapmu tidak sia-sia? Kamu
yang habiskan seratus delapan puluh derajat jarum jam bergerak mengusahakan
terbaik untuknya, apakah kamu bisa jamin kalau dia akan dedikasikan satu kali
putaran jarum menit saja untuk bersedia berbincang? Ada yang selalu menunggu.
Selalu menunggu untuk selanjutnya mengetahui bahwa orang yang kamu tunggu tidak akan pernah
datang. Sudah kukatakan kamu bebal.
Bagimu yang menuliskan aksara tentangnya berlembar-lembar, apakah kamu bisa
jamin dia pernah tuliskan namamu satu kali saja? Bagimu yang mengharu biru di
mention atau di tag bersama, apakah kamu tidak sedang mencurigai bahwa dia
hanya menyempatkan membuka notifikasi dan merasa tidak ada yang istimewa?
Bagimu yang diam-diam berburu fotonya, apakah kamu benar-benar berpuas dengan
mengaguminya dari jauh dan mengulum senyum membuka folder demi folder?
Bagimu yang pernah dibantu atau ditemani, apakah lemah lembutnya yang
sekali itu lantas mewakili semua biasa-biasanya dia padamu? Oh bagimu yang
mengais mimpi sendirian, renungkanlah sekali lagi, apa iya kamu akan
terus-terusan menahan kilat mata itu di depannya? Apa iya besok hari, lusanya,
minggu depan, bulan depan, semester depan, kamu akan secara sukarela besikap
biasa saja sedang perempuan di depan sana sedang tertawa renyah bersamanya?
Bagimu yang merapal doa dengan sedu sedan, apa iya kamu tetap mendoa untuknya
sedang menguatkan dirimu saja kau habiskan rintih doa hingga subuh? Sadar. Kau
diajarkan siapa, hah? Diajarkan siapa untuk meminjami hati?
Jadi ceritanya kamu tidak
mau terang-terangan. Kue ulang tahun itu malah diantar bapak O’jack berseragam
kuning. Mana aku hanya disuruh menerima tanpa diperbolehkan tahu siapa
pengirimnya. Yaa padahal kalau kamu sendiri yang mengetuk pintu kos, aku juga
tidak terlalu menjamin berani membukanya hehe. Yang mengherankan, kamu kok sampe
betah-betahnya tidak menceritakan pada siapapun, hingga tanda tentang siapa tak
bisa aku eja. Hingga tanda tentang siapa, aku takut aku lupa.
Kenapa begitu bertahan
hingga sekarang tidak memberitahu, kamu?
“Kau selalu tampak sibuk kesana kemari”
“Aku tak sibuk, hanya
orang lain saja yang barangkali lebih setia berada di tempat yang sama”
“Ya kan kau selalu
terburu-buru, sebentar disana, sebentar di sini”
“Karena aku sedang
mencari. Jangan tanya aku mencari apa”
“Kau tahu kalau itu
adalah pertanyaan yang runtut selanjutnya”
“Entah, kau selalu dapat
diantisipasi”
“Jawab saja”
“Kau akan tertawa”
“Aku sudah banyak tertawa
seumur hidupku”
“Kau akan menganggapku
sakit pikir”
“Sudah lama, hanya aku
tidak terlalu mempedulikannya”
“Haha. Iya, aku lupa
kalau aku tidak pernah dipedulikan”
“Ah aku bosan selalu
berusaha berdamai denganmu bahkan untuk hal yang sepele”
“Tak paksa kau harus
berdamai. Kau lelah, tidur saja. Pulang.”
“Kau yang harus pulang.
Mau kuantar?”
“Atas keberanian macam
apa aku berdebat dengan lelaki gombal macam kau”
“Oke, kau kuantar
sekarang”
“Aku sedang mencari
pertanda. Berkeliling mencari arah..”
“Terdengar seperti
alkemisnya Paulo Coelho”
“Aku berkali-kali jatuh
cinta pada barat, yang sampai sekarang aku tak tahu berbalas atau tidak”
“Kau bisa
menanyakannya..”
“Aku diam-diam menunggu
isyarat timur, hampir-hampir tidak terlihat bahwa aku berharap”
“Ini...”
“Kamu tahu, lama-lama aku
maju mundur. Menaruh ragu pada selatan”
“Ini...”
“Semakin kebas saat
kutuju utara, dia dusta sempurna, tak lagi kupercaya”
“Boleh kusela?”
“Meski aku dijanjikan hal
baik oleh setiap mata angin, aku rasa pencarianku justru kini tak berarah.”
“Kusela sekarang..”
“Sekarang ini kau akan
berpikir aku barusan merapal mantra”
“Terserah setelah ini kau
akan seacuh apa, tapi aku sampaikan saja. Aku rasa kita sedang.. mencari hal
yang sama”
Pada tangis yang memekik geram
Pada muram seterang temaram
Pada sunyi yang kucipta mencekam
Aku mau katakan, aku sungguh belum lupa, tapi
aku mau melanjutkan hidup
Pada hujan yang menderas
Pada hati yang sebenarnya sudah kebas
Pada ngilu yang hampir-hampir tak pernah
hilang bekas
Aku titipkan bisikan, aku siap berdiri
sekarang
Pada usaha yang terkepal lewat ujung-ujung
jari
Pada asa yang sudah dianyam semalaman ini
Pada senyum yang sudah diulum sepenuh hati
Aku sampaikan sungguh, aku berhak atas suka
citaku lagi
Bahkan pada saat aku sudah tahu ini saatnya
untuk bangun, bagian tersulitnya adalah aku masih merindukanmu.
Untuk kamu yang percaya
bahwa jarak tercipta agar rindu tetap hidup tanpa pernah redup, tolong tanyakan
pada nuranimu dulu sekarang. Kau benar-benar mempercayai itu, atau kau hanya
menggunakan konsep itu untuk menenangkanmu? Karena kau tak punya cara lain
memandang jarak, kan? tak mau membayangkan efek terburuk dari jarak, tak mampu
mengantisipasi sesuatu yang diciptakan jarak.
Hal yang paling menyedihkan
adalah berpura-pura pada dirimu sendiri.
Tuan, saya rasa Tuan salah orang. Tuan bahkan
tidak berada di sekitar saya selama ini, mengapa Tuan berniat meminang saya?
Sungguh lah saya saja terheran-heran. Bagaimana Tuan bisa mengenal orang
seperti saya, yang berparas cantik pun tidak, kaya apa lagi. Sangat tidak
mencolok. Darimana Tuan lantas bisa tahu saya? Teman? Kerabat? Apa yang mereka
katakan? Kalau boleh saya cakap, barangkali Tuan salah dengar, atau kalau bukan
karena itu, barangkali mereka sedang menjebak Tuan, dengan merekomendasikan
saya untuk Tuan. Sekiranya benar, tolonglah Tuan bisa berbicara tegas kepada
mereka, bukan hanya Tuan yang jadi korban, saya yang lebih jelata pastilah
korban sebenar-benarnya. Saya memang bukan siapa-siapa, tapi Tuan sungguh tidak
pantas berbuat main-main dengan saya.
Hari itu saya bingung dengar berita ini. Saya
saja tidak kenal Tuan siapa. Guru saya berkata saya harus lebih dulu memastikan
saya sudah siap atau belum untuk itu, baru setelah itu saya akan diberitahu
siapa Tuan sebenarnya. Hanya sedikit yang saya berhasil temukan informasi
tentang Tuan. Tuan lebih tua dua tahun dari saya, dan Tuan orang langitan. Maka
seperti yang sudah saya katakan di awal, barangkali Tuan salah orang. Kata guru
saya, Tuan bukan dari padepokan ini, saya semakin heran bagaimana Tuan bisa
mengenal saya. Yang lebih sulit bagi saya untuk percaya adalah kenyataan bahwa
semakin kecil kemungkinan saya mengetahui identitas Tuan.
Tapi di luar itu, saya sungguh ingin tahu
siapa Tuan. Penasaran sekali.
Sampai sekarang aku masih sering merasakan
gempa kecil.
Ya, gempa kecil. Kau menamakannya demikian.
Pada setiap nyeri ini, aku bahkan begitu jelas mengingat katamu tentang sakit
kepala. Pada setiap kesakitan ini, aku masih dengan bodoh melihat layar HP:
munculkah sebuah nama disana? Pada
setiap usaha menghentikan gempa ini, bukan obat yang kucari, tapi kenangan. Sekarang
gempa kecil ini terjadi lagi, kali ini, mm... rinduku, sampaikah ia?
Sampai sekarang aku masih sering lupa atau
bahkan salah jalan.
Tapi bagaimana bisa untuk perkara satu itu, kamu, aku bahkan selalu ingat. Hal-hal
yang tidak penting seperti kamu pernah mengatakan apa pada situasi bagaimana,
kamu tidak suka makan apa, kamu akan melakukan apa pada saat seperti apa. Gang
mana yang pernah dilalui beriringan, buku apa yang telah dibahas bergantian,
kesempatan apa yang telah diambil bersama-sama. Kemarin ini aku benar-benar
berfikir, berusaha melupakan sesuatu ternyata jauh lebih sukar daripada
berusaha mengingat sesuatu..
Sampai sekarang aku masih sering memutar lagu
itu, yang aku baiat sebagai theme song.
Haha, ngilu. Ini sama sekali bukan lagu
sedih, yang membuat pendengarnya termehek-mehek. Tapi hingga lepas dini hari,
saat aku tahu kamu—atas kehendakmu, benar-benar pergi, aku sudah tidak sadar
betapa tergugunya ketika dengan sengaja kuputar lagu itu. Kini, mungkin batin
yang beku membantu semua ini pulih, aku sudah baik-baik saja ketika
mendengarnya. Masihkah lagu itu terdengar sama, bagimu? Oh, sebentar. Masihkah
kau menandai lagu itu sebagai ... aku?
Sampai sekarang aku masih begitu berdebar
dengan hanya melihatmu.
Kamu tidak akan menyangka seberapa sering aku
ambil jalan memutar ketika kamu, tanpa aba-aba, melintas di sudut mata. Aku
sungguh tak pernah membayangkan skenario macam apa saat aku benar-benar harus
berjumpa denganmu. Bingung berkata apa saat bertemu, apakah hanya akan
menanyakan kabar, menyoal tentang nasi telor sekarang harganya lima ribu, atau
buku-buku yang masih kau pinjam. Ah, yang jelas aku toh tak akan berani
berbincang tentang kemarin. Bagimu hiburan, bagiku siksaan.
Hingga aksara-aksara ini dibaca, aku tahu aku
belum pulih benar tentang hal ini. Atau kalau kau pikir aku telah sembuh, maka aku
hanyalah aktor yang dengan pahit berhasil melakoni peranku: kebohongan.
Kau
hanya berikan lampu 5 watt. Ku butuh lebih dari temaram itu. Kau tak adil.
Telah kusediakan ruang yang lebih besar daripada yang hanya bisa kau terangi
dengan 5 watt. Tapi kau berhenti hanya dengan bola lampu 5 watt. Kau juga hanya
sediakan pendar cahaya lilin kecil di sudut lain ruangan. Ah, ternyata bahkan
lebih buruk dari 5 watt tadi. Kukira kau punya lilin yang cahayanya lebih
terang. Atau dengan penuh harap, lampu seterang neon 20 watt.
GELAP.
GELAP..
GELAP…
Aku
tak bisa lihat apa-apa, termasuk dirimu. Hanya, aku sadar akan sesuatu. Lampu 5
watt mu makin lemah cahayanya. Lalu tiba-tiba konslet, dan….pet! Mati. Lilinmu
jauh lebih malang. Dia begitu cepat meleleh, dan.…pet! Mati.
Mati.
Toh,
sesaat lagi aku juga akan….pet!
MATI.
Barangkali aku harus segera mengembalikan
bukumu. Sebelum kau menagihnya lagi. Aku sudah meminjamnya sekitar satu
semester yang lalu, jelas harus sudah kukembalikan. Kemarin kau hanya
menanyakan buku itu apakah ada bersamaku atau tidak. Itu seperti berbunyi ‘oh
kamu yang meminjamnya’. Kau berujar ‘dikembalikan kalau sudah selesai baca
saja’ tapi bagiku itu terdengar seperti ‘aku tak yakin kau akan sanggup
membacanya sampai habis’. Jadi, target hidupku paling dekat ini adalah membaca
buku pinjamanmu. Buku itu, aku bahkan belum sempat mengetahui isinya. Kamu, aku
bahkan belum sempat mengetahui hatimu.
Barangkali aku harus segera mengembalikan
bukumu. Meskipun benar-benar menambah ilmu, buku ini berat sekali. Aku harus
membacanya 3-4 kali baru aku paham, atau bahkan membuka lembar-lembar
sebelumnya demi sampai pada pemahaman yang benar di belasan halaman
selanjutnya. Rentetan-rentetan konsep dengan sedikit penjelasan. Ada beberapa
tabel yang sebenarnya berfungsi untuk memfasilitasi agar pembaca mengerti, tapi
menurutku malah mendistract, semakin pelik saja isi buku ini. Maka jangan tanya
gambar, foto-foto untuk mengilustrasikan pun hanya 2 cm x 2 cm dan abu-abu.
Kamu memang sudah mengingatkanku sebelumnya kalau buku ini agak serius, hmm itu
justru semakin membuatku penasaran ingin membacanya, dengan serius.
Barangkali aku harus segera mengembalikan
bukumu. Karena mungkin ada yang akan segera meminjam buku ini. Melihat-lihat
isi perpustakaan kecilmu, memperbincangkan beberapa judul buku, dan
mendiskusikan isinya. Membuka lembar demi lembar hanya untuk kemudian memilih
satu buku untuk dipinjam. Begitu setiap kalinya berhadapan dengan rak-rak buku.
Akan ada peminjam lain yang kalau aku boleh terka, untuk dia koleksi buku-buku
ini kau tata rapi. Kau sudah menantikannya meminjam satu dua bukumu. Bagaimana
aku tidak sampai tahu? Setiap bertemu dengannya di gerbang perpustakaan,
setelah itu pula aku dapati kamu bersenandung dan terkekeh di sela-sela rak.
Awalnya aku kira kamu bahagia ada peminjam koleksi buku yang datang, atau
dengan terlalu percaya diri, bahagia aku datang. Tapi salah. Aku baru sadar
setelah tahu polanya.
Barangkali aku harus segera mengembalikan
bukumu. Takut kalau rak ku bocor dan buku yang tidak kau sampuli ini akan
basah. Takut kalau ketika kubawa kemana-mana akan hilang, atau tertinggal di
beberapa tempat aku bersila dan membaca buku. Walaupun selama ini aku jaga
benar. Kau boleh saja tidak tahu, tapi pinjaman adalah pinjaman, bagiku ia
adalah amanah, terhadapnya aku tidak boleh ceroboh. Yaah perlu kusampaikan
bahwa aku tidak terlalu pandai menjaga barang, hilang dan rusak adalah akhir
dari takdir barang-barangku. Aku jelas tidak seharusnya melakukannya pada buku milikmu kan? Walaupun sekarang ini
sungguh aku sangat ingin melakukannya.
Barangkali aku memang harus segera
mengembalikan bukumu. Terlalu lama membuat buku ini ada di tanganku percuma
saja. Iya, aku tidak sedang memperbincangkan isi buku, semua jenis buku toh
bermanfaat, jelas ada gunanya barang siapa membacanya. Aku sedang mengatakan bahwa
buku ini kepemilikanmu. Itu yang akan
sangat sia-sia jika masih berada di tanganku hingga sekarang. Tenaga yang aku
siapkan untuk berargumen seperti biasanya saat mendiskusikan isi buku,
sepertinya harus dialihkan untuk hal lain. Bagian tersulitnya bukan pada aku
tak bisa memperkaya ilmu, tapi pada bagaimana kau percaya bahwa aku bilang
baik-baik saja untuk tidak bercengkerama lagi denganmu. Ah, tak yakin apakah
aku hanya akan mengembalikan ini dan dengan mudah meminjam buku lainnya, atau
sekarang adalah kali pungkasan aku meminjam buku, darimu.
Wahai perasaan
Kau buat pagiku jadi mendung, soreku jadi kelam
Kau buat siangku jadi gelap, dan malam semakin gulita
Kau buat beberapa menit lalu aku gembira,
untuk kemudian bersedih hati
Wahai perasaan
Kau buat aku berlari di tempat
Semakin berusaha berlari, kaki tetap tak melangkah
Kau buat aku berteriak dalam senyap
Kau buat aku menangis tanpa suara
Kau buat aku tergugu entah mau apalagi
Wahai perasaan
Kau buat aku seperti orang gila
Mengunjungi sesuatu setiap saat, untuk memastikan sesuatu
Padahal buat apa?
Ingin tahu ini, itu, untuk kemudian kembali sedih
Padahal sungguh buat apa?
Wahai perasaan
Kau buat aku seperti orang bingung
Semua serba salah
Kau buat aku tidak selera makan, malas melakukan apapun
Memutar lagu itu2 saja,
Mencoret2 buku tanpa tujuan
Mudah lupa dan ceroboh sekali
Wahai perasaan
Cukup sudah
Kita selesaikan sekarang juga
Karena,
Jalanku masih panjang
Aku berhak atas petualangan yang lebih seru
Selamat tinggal
Jalanku sungguh masih panjang....
*sebuah prosa dari Tere Liye
Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang-orang
yang dengan tulus mendoakanmu. Berharap kau sehat, selamat, terhindar dari
segala mara bahaya, terhindar dari celaka, terhindar dari godaan syetan dan belenggu
nafsu. Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang yang dengan diam
merindukanmu. Kangen tapi gengsi mengakui. Ingin bertemu, tapi ragu janjian.
Sekarang ini, tepat sekarang ini, banyak orang yang dengan sukarela
memikirkanmu, mengasihimu dengan sederhana, atau menyayangimu dengan begitu dalam
namun pakewuh berucap. Lafadzkan tahmid dulu..
Sepuluh hari yang
lalu, aku izin Ibuk untuk pergi ke Kerawang, menengok teman yang sakit.
Alhamdulillah dapet ‘yes’. Walaupun sambil ditanya ‘mulihmu kapan?’ tapi tidak
ada nada terlalu berharap di sana, apalagi memaksa. Mengunjungi rumah teman dan
menatap ibu mereka masing-masing, sedangkan yang disuruh pulang berjumpa ibuk
sendiri malah hanya selalu berjanji saja akan segera pulang. Lima hari yang
lalu, ibuk sms jadi pulang kapan, sekalian minta tolong urus administrasi Fiqi
di UGM. Karena punya alat berkelit, hanya perihal urusan administrasi yang
kubahas. Tiga hari yang lalu, ibuk telpon bertanya banyak hal, hanya bagian
kecilnya saja yang tentang ‘mau pulang hari apa’.
Dua hari yang
lalu, pagi jam 6 ibu menelpon dan memintaku pulang. Kali ini berhasil, Kawan.
Bagaimana tidak? Ibu punya serdadu, om Nano namanya. Beliau ini lalu dari jam 7
sudah ada di depan kos, menunggu gusar di dalam mobil. Sudah mengelak, sudah
mencari alasan (duh durhakanya), sudah menunda (dengan mencuci, aku pikir ini
akan manjur karena nyuci kan lama, bikin males nungguin). Tapi manalah bisa
melawan. Om Nano menelepon lagi, Ibu menelepon lagi. Om Nano kirim Fika, yang
dalam hal ini bukan lagi anaknya, tapi serdadunya (hehee), ke lantai 3.
Sepertinya sudah saatnya menyerahkan diri. Baiklah, buronan sudah terkepung.
Bukan karena
apa-apa tak mau pulang, tapi seperti belum saatnya pulang, bagaimanapun kerjaan
hasil dari menunda menuntut untuk segera dibereskan. Hutang-hutang yang belum
terlunasi. Siapalah yang tidak mau
rehat, ini liburan semester, memang waktunya pulang. Tapi perbuatan-perbuatan
ini harus kupertanggungjawabkan. Membayangkan pulang pekan ini saja tidak bisa,
apalagi berani merencanakan. All things can be messed up if I do. But, here I
am. Beralih dari kota yang penuh tekanan ke kota yang penuh makanan.
Banjarnegara.
Mangkel. Yang
biasanya kalau pulang itu suka cita, ini nggak ikhlas bingits. Ibuk manalah
paham apa yang harus aku lakukan di sini, banyak yang harus segera
diselesaikan. Organisasi, proposal skripsi, persiapan MoU sama sponsor,
permintaan bantuan dari teman, pembayaran SPP dan KRS. Tak bisakah ijinkan
untuk selesaikan ini sebentar? Toh kemarin semua ini tertunda karena ngurus
administrasinya Fiqi di UGM. Tak bisakah lihat posisi si sulung barang sedikit
saja? Diem sama dongkol di mobil. It’s like there’s no way escape. All things
have been messed up now.
Aku cari
pemahaman baik dari penggerebekan ini, susah sekali ketemu. Manusiawi kan, yang
ingat hanya negatifnya saja. Sesampainya di rumah, ketika mangkel sudah
melunak, aku mulai menulis. Korban penculikan ini masih belum legowo, tapi dia
biarkan hatinya merumuskan sendiri. Aku
yakin ibu atau bapak kita, tahu siapa anaknya. Sudahlah lancang saat aku pikir
mana paham mereka dengan kita. Seberapa tidak kelihatan pedulinya mereka,
seberapa mereka tidak menanyakan aktivitas kita di tanah rantau, seberapa tidak
mengatakan apa-apa ketika dengarkan cerita. Bukan, bukan karena mereka tidak
paham. Dalam beberapa hal, pemahaman mereka jauh lebih kompleks daripada
pertimbangan kita macam apapun, sendakik-ndakiknya.
Tapi kalau sudah urusan rindu, Ibu hanya punya pemahaman sederhana bahwa “Kau adalah anakku, Nak. Jika kuminta
kau pulang, memang sudah waktunya kau pulang.”
Kalaupun adegan
penculikan kemarin diejawantahkan dengan gamblang, mungkin akan seperti di atas.
Sayangnya, bapak ibuk kita kerap kali sungkan menunjukkan rindu, barangkali
kita yang harus bisa peka terhadap tanda-tanda rindu itu. Iya, tanda-tanda rindu
itu termasuk ketika kita pulang, ibuk sibuknya luar biasa memasakkan semua
kesukaan, kalau bukan karena aku harus mencuci piring setelahnya, hihi, mungkin
sudah kuminta semuanya. Orang tua kita, barangkali mereka punya cara yang berbeda
saat mengungkapkan rindu: tidak berkata :’)
“Kita berteman. Berteman yang seperti ini. Aku tidak malu mengakui kalau
kita sedang bergerak ke arah yang sama. Walaupun aku pikir titik temu kita, itu..
aku pun masih belum jelas melihat, aku pikir aku mengharapkan itu terjadi”
“Maka sudah, tetaplah seperti ini”
“Aku rasa ini tidak benar. Bagaimana bisa kita menyemai padahal belum
saatnya?”
“Pasti akan datang saatnya, Fara..”
“Hingga saat itu, aku akan menyimpannya di tempat yang rapi, yang tidak usah
kita bicarakan lagi,”
“Kita akan sama sekali tidak berkomunikasi setelah ini.”
“Bukan, justru kita tetap berkomunikasi, tapi jangan pernah membuka ini
lagi. Bukan putus silaturahim, Lang, tapi mengenai hal satu itu, ah kita
sebelumnya harus sepakat dulu untuk menyimpannya kan?”
“Baiklah. Tapi kalau kita bertemu, apa yang akan..”
“Biasa saja, sewajarnya. Aku punya klakson untuk bisa menyapamu saat di
atas motor, aku bisa berbincang tentang kota kelahiran kita atau hobi
masing-masing saat tidak sengaja tatap muka. Asal kita menghindari topik satu
itu..”
“Aku mengerti, aku akan menyimpannya di tempat yang sangat rapi.”
***
Kupegang ponselku lebih erat, ponsel ini hampir saja lepas dari tanganku
ketika bapak supir mengerem mendadak barusan. Ada Ibu pengendara sepeda motor
yang tiba-tiba menyeberang. Ibu itu bukan hanya sukses membuat ponsel ini
hampir jatuh tapi juga membuyarkan lamunanku atas kejadian setahun silam. Aku
mulai jengah, berperjalanan sendirian seperti ini sangat mudah membuat fikiran
kemana-mana.
Lagi-lagi kenangan itu. Percakapan yang hanya tersampaikan melalui SMS.
Pengakuan yang apa adanya, namun berbuntut panjang. Mengakui saling suka, dan
mencoba menyimpan. Apa-apaan ini? Sama saja artinya menjalin kasih tapi tidak
bertemu, toh kita sama-sama saling menjamin bahwa hati kita sudah dimiliki satu
sama lain. Bersikap sewajarnya? Sikap barangkali bisa wajar, rasa yang tidak.
Bagaimana bisa aku berfikir kalau pertemuan di gerbang fakultas tidak membuatku
berdebar setengah mati? Bagaimana mungkin aku berfikir kalau membalas pesanmu,
aku rasanya ingin mengungkap hal lain yang tidak boleh kita bincangkan. Janji
macam apa?
Aku keluarkan permen karet dari dalam tas. Setidaknya selain melihat ke
luar jendela lalu melamun, aku punya pekerjaan lain. Mbak-mbak di sebelah
tempat dudukku sedang pulas, aku bersyukur tidak usah basa basi menawarinya.
Terakhir kali aku menawari permen karet pada penumpang sebelahku, dia anak 7
tahunan, tersedak dan malah menelannya. Sang ibu menggumam-gumamkan kemarahan
padaku sambil menepuk-nepuk punggung anaknya. Bis jurusan Jogja-Solo yang
kutumpangi sekarang sudah masuk Klaten. Dia,
ada dimana? Sudah lama tidak melihatnya, melihatnya pun tidak, apalagi
menyapa, apalagi berbincang. Gilang. Bagaimana
kabarnya? Hh, bodoh, kenapa malah ingin tahu kabarnya..
Hampir satu tahun yang lalu itu terjadi. Mau tidak mau aku memanggil memori
itu lagi. Sangat mudah menemukannya, akhir-akhir ini. Aku tak paham benar mana
awalnya, tapi kami kenal di SMA. Ya, aku dan Gilang bersekolah di SMA yang
sama. Semuanya biasa saja, menurutku, karena kita benar-benar teman. Kecuali
karena kita saling bercerita, tak ada yang istimewa. Tapi aku melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi yang sama denganku, ah atau sebaliknya. Hanya
beda fakultas, hanya beda disiplin ilmu. Seperti layaknya mahasiswa rantau
lain, mereka punya kecenderungan untuk, yaah dekat, dengan mahasiswa lain yang
berasal dari daerah yang sama.
Dan lalu semuanya mengalir, hampir begitu saja mengalir. Komunikasi lewat sms
dan chat, obrolan langsung yang singkat, sering papasan di jalan. Perasaan
nyaman yang wajar dirasakan ketika saling nyambung, membuat kami semakin dekat.
Saat itu, jangan pun berbicara tentang rasa, menyinggung pun tidak. Kami sih
sok profesional. Tapi, barangkali awal merah jambu menjadi nyata adalah saat
ulang tahunku di penghujung tahun. Sampai pada ingatan ini, aku terkekeh
sendiri. Rasa permen karet stroberi yang kukunyah sekarang sangat manis. Gilang
memberiku sekotak roti dan... setangkai mawar merah segar! Dasar melankolis,
pikirku. Aku tak berani bilang ke siapapun kecuali salah seorang sahabatku di
kelas. Dia justru yang jejingkrakan kegirangan dan dengan tak sabar meminta aku
menceritakannya. Dia protes karena aku tampak datar-datar saja. Tapi tahukah,
aku bahkan bingung mengartikan dua benda ini. Apa ini? Maksudnya? Roti barangkali wajar. Bunga??
Aku tersenyum dan membenarkan letak dudukku. Masih satu jam setengah untuk
sampai ke kota kelahiran. Setelah kilas balik tentang roti dan bunga, memori
ini lalu mengurai komunikasi-komunikasi itu. Mulai dari papasan di bawah pohon
flamboyan lalu salah tingkah, hingga
chat facebook yang dibiarkan tertulis “Fara is typing....” Lang, kamu tidak tahu kan, sulit benar aku pilih kata-kata. Bukan,
bukan agar kau menyukainya, bukan agar kau setuju dengan apa yang aku
sampaikan. Hanya, aku takut kalau semuanya akan menjadi jelas, perasaanku. Salah-salah
bisa keceplosan dan diluar batas. Hm, kejadian-kejadian ini terus mengalami
repetisi. Dulu, cinta adalah sesuatu yang aku rasakan hanya di pandangan
pertama, aku tidak tahu aku bisa terbenam perlahan.
Bis mengerem mendadak. Buyar lagi. Kali ini faktor penumpang. Seorang bapak
tergopoh-gopoh turun setelah sebelumnya mengetuk-ngetukkan uang logam ke kaca
bis. Mas kernet memaki. Aku membolak-balikkan ponselku, kubuka kunci layar,
kututup lagi. Hingga lampu layar padam, kubuka kunci lagi, lalu menunggu hingga
layar mati dan terkunci, baru aku buka lagi. Aku tidak tahu bagian mana yang
membuatku paling gusar, toh bersahabat dengan kenangan manis seharusnya membuat
lebih tenang. Tapi menurutku, ada sesuatu yang salah di sini. Yang kupikirkan
satu bulan terakhir. Janji itu..
Kali ini aku benar-benar membuka layar kunci dan masuk ke pesan. Mencari
namanya di daftar pesan semudah mencari namanya di rekaman memori. Aku runut
satu persatu, beberapa pesan kubaca berulang-ulang, sisanya ada jarkoman event
kampus atau lomba-lomba fotografi. Gilang suka sekali hal itu, terkadang satu
dua jepretan dia bagi di jejaring sosial. Tajam dan punya makna, setidaknya itu
penilaian dari seorang yang tak tahu apa-apa tentang fotografi.
Aku sudah hampir menuliskan pesan kalau tidak ditanyai oleh mbak yang duduk
di sebelahku. Dia bertanya sudah sampai mana. Dari sejak naik di Babarsari,
mbak satu ini tidur pulas. Dia lalu berujar bahwa tujuannya masih jauh dan dari
tingkahnya membenarkan posisi duduk, sepertinya ia akan melanjutkan tidur.
Benar saja, sambil memeluk tas punggungnya, ia mengatupkan mata lagi. Apa yang mau kutulis barusan? Aku
menghela nafas, dalam. Udara di dalam bis tidak terlalu pengap, aku duduk di
belakang mas kernet, sirkulasinya bagus. Kupandangi lagi layar HP, pointer
sudah ada di bagian ‘enter message’.
Apakah aku, benarkah tidak apa-apa jika sekarang mengiriminya pesan?
Kutekan-tekan tombol Undo hingga akhirnya layar utama yang tampil di
depanku. Kukunci layar. Menghela napas lagi. Tapi tidak, sekarang ini
barangkali memang waktu yang tepat mengungkapkan padanya. Sekarang ini,
barangkali waktu yang tepat untuk berkirim pesan. Sekarang ini, setelah sudah
tidak bertemu lama sekali. Sekarang ini, di perjalanan yang membuatku mengingat
semuanya. Sekarang ini, barangkali tidak ada waktu yang sesempurna sekarang
ini.
“Gilang. Apa kabar? Lagi dimana sekarang?” Daripada hanya menanyakan kabar
dan menanggung resiko Gilang tak membalas—meskipun ia bukan orang yang dengan
mudah mengabaikan SMS, kutambahkan pertanyaan tadi.
“Aku sehat. Kamu gimana? Lagi di Solo, di stasiun..”
“Mau ke Jogja? Aku malah baru mau pulang, hehe, kita slisipan ya” Aku lebih
suka meninggalkan kalimat tanpa tanda baca kalau itu bukan kata tanya. Janggal
saat melihat beberapa orang memilih menggunakan tanda titik di akhir kalimat
yang seperti ini. Titik dua atau tiga tidak masalah, tapi bagiku titik satu
seperti segera ingin mengakhiri SMS, atau tidak terlalu berkenan dengan apa
yang orang lain sampaikan hingga dia menambahkan titik satu disitu, ketegasan.
“Haha, iya :D” Emotikon. Cukup titik dua dan satu huruf itu, atau kalau tidak
titik dua tutup kurung, maka sepertinya semua akan tampak baik-baik saja. Kali
ini, apakah Gilang mungkin juga sedang berpura-pura? Ah, prasangka..
“Lagi sibuk nggak, Lang?”
“Enggak, lagi baca novel aja kok. Gimana?”
“Mm bukan, maksudku, dalam waktu dekat ini ada agenda apa gitu, di kampus?
HIMA lagi sibuk nggak?” Gilang adalah ketua himpunan mahasiswa di jurusannya.
Aku tahu aku mungkin sering mengganggunya bahkan saat dia ada agenda, SMS-SMS
tidak penting. Bodoh, tetap saja dia layani.
“Enggak kok, lagi baru selesai ngadain acara minggu kemaren. Kenapa, Ra?”
“Kalo kuliah, ada ujian nggak waktu deket ini? Project dari dosen gitu,
misalnya? Ada nggak?” Ada hal penting yang aku ingin katakan, aku harus
memastikan kalau rentang waktu dekat ini dia tidak sedang disibukkan oleh
sesuatu. Barangkali aku yang mendramatisir, berlebihan hingga sampai bertanya
seperti itu. Gilang mungkin heran, maunya
apa anak satu ini? Bertanya sebegitu detail.. Pesan alasan darinya datang
setelah 5 menit SMSku padanya tadi terkirim.
“Fara? Ada apa to? Aku nggak lagi sibuk ujian kok, kemarin kan minggu
mid-term, ingat?”
“Okee. Gini Lang, ada yang aku sampaikan. Boleh?”
“Boleh. Menyampaikan apa, Ra?”
“Ini tentang isi SMSan kita satu tahun yang lalu, iya bulan Maret tahun
lalu. Kita bikin janji buat nyimpen rasa suka itu, hingga saatnya nanti datang,
kita baru boleh membukanya. Kan? Aku akhir-akhir ini berfikir kalau ini tidak
benar. Kalau seperti ini, berarti kita sudah saling ngecim. Bahwa aku harus denganmu,
dan sebaliknya. Padahal Lang, bagaimana kita bisa dengan mudah menentukan semua
itu? Jodoh.. ada di tangan-Nya.”
Tak sadar badanku bergetar menuliskan kalimat terakhir di SMS itu, 4 layar.
Sesak sekali rasanya. Iya, satu bulan terakhir ini aku berfikir untuk
mengatakannya. Berfikir keras bagaimana aku akan mengatakan dengan benar. Harus
bertemukah? Atau aku telepon saja? Tapi justru sekarang aku hanya mengiriminya
pesan. Pengecut memang. Aku kecut kalau bertemu, aku semakin tidak bisa
mengatakannya. Aku kecut kalau menelepon, nada suara tetap tidak bisa
dihobongi. Hei, aku butuh berpura-pura tegar mengatakan hal barusan. Aku butuh
berpura-pura kuat dan dewasa.
Kutangkupkan ponsel di tanganku. Belum ada nada getar. Gilang belum
membalas. Aku edarkan ke jendela. Mataku sudah berair, aku hanya berharap tidak
tergugu di sini. Memalukan, menangis di dalam bis. Seperti anak yang tidak
dibelikan mainan oleh ibunya di pasar. Sudah masuk Solo. Sebentar lagi aku
sampai. Mungkin sebentar lagi Gilang berangkat.
Aku terkesiap, ponselku bergetar. “Maaf Fara, aku membuatmu seperti ini.
Maaf atas kesalahanku selama ini.. Lalu, menurutmu sekarang bagaimana? J” Emotikon lagi. Sok benar dia. Gilang pikir titik dua kurung tutupnya
kelihatan emotikon smile? Justru sekarang ini tampak mengerikan. Paradoks.
“Hanya kamu yang salah? Aku juga, Lang. Aku bahkan setelah memendamnya,
lalu memupuknya dan berharap yang aku tanam itu, akan bersemi. Aku minta maaf
sudah mengatakan ini, takut benar kalau kamu tersinggung” Aku sudah tekan
tombol “Send” dan baru menyadari aku belum menanggapi satu pertanyaannya. Apa yang dirasakan Gilang sekarang ini?
Perasaan sejatinya sekarang, seperti apa?
Aku yang mengatakannya lebih dulu. Maka jelas, aku yang harus
mengendalikan. Aku tahu aku harus mengendalikan perasaanku sebelum dengan
begitu yakin menyampaikan ini pada Gilang. Ah, bohong benar. Sekarang
kristal-kristal itu sudah meleleh, berjatuhan di layar ponsel. Aku
menengadahkan kepala, sekarang apa? Aku
juga tidak tahu harus bagaimana, Lang. Kenapa
bahkan kau tidak coba untuk menyanggah apa yang aku sampaikan? Mengatakan
bahwa apa yang aku bilang salah adalah benar, mengatakan bahwa kita yang
seperti ini sudah benar adanya, mengatakan bahwa tidak ada yang harus direvisi
dengan janji kita tempo lalu.
Gilang membalas pesanku, kali ini tidak terlalu lama. “Fara... J Terimakasih atas selama ini. Aku tidak apa-apa, kamu juga baik-baik saja
kan? Apa yang Fara inginkan sekarang?” Apa-apaan
lagi ini? Apa yang aku inginkan, hah?? Sekarang aku menginginkanmu, Lang.
Kah kau tidak tahu? Aku mendongakkan kepalaku lagi, sekarang air mata sudah
bergulir besar-besar. Sesak sekali rasanya, tapi harus kutuntaskan..
“Dulu kita menyimpannya, mengubur di tempat yang kita sama-sama tahu.
Sekarang lebih baik, kita buang jauh-jauh, dipendam di tempat yang kita
tinggalkan tanpa tanda. Biar saja bila tidak ditemukan, toh ada yang lain yang
akan menemukannya. Kita hidup masing-masing”
“Menurutmu begitu lebih baik?”
Dia mengujiku, tapi sudah terlalu jauh untuk berbalik. “Iya.. J Bagaimana?” sekarang giliran aku yang membuat kepalsuan. Emotikon yang
paradoks.
“Aku setuju. Semoga kita bahagia di hidup kita masing-masing. Sukses..”
Saat ini aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa. Berpura-pura
baik-baik saja dan tetap mengamini? Tugasku sudah selesai, membuatnya
bersepakat dengan apa yang aku ungkapkan. Kuusap sudut-sudut mataku. Aku tidak
tahu ujungnya akan seperti apa nanti, apakah benar-benar tidak ada interaksi
sama sekali, bilakah ada pasti akan sangat canggung. Aku belum bisa
membayangkan apakah masih bisa tersenyum dan mengklaksonnya saat bertemu di
depan gerbang fakultas.
Ponselku bergetar lagi. Kubuka layar kunci. Gilang. “Ra, Sherlock Holmes
yang series kemarin, sudah ada lanjutannya lagi belum? Aku baru punya yang
ke-4..”
Apa yang kau inginkan
sekarang, Lang? Mencoba berdamai dengan perasaan? Kau saja. Aku belum. Aku masih susah payah mengelap pipi, membersihkan sudut
mata, membersihkan layar ponsel yang basah. Bagaimana bisa secepat itu
mengalihkan topik, seolah sms yang aku kirim barusan hanya “Harga nasi telor
sekarang naik jadi lima ribu..” Kamu
ingin aku membalas apa?
“Memang baru sampe 4 kok, Lang. Mungkin yang selanjutnya belum release,
kemaren aku cari juga belum ketemu.. Biasa download dimana?”
“Minta dari temen kos, hehe.. Udah sampe rumah, Ra?”
“Ooh, dia suka Sherlock Holmes juga? Belom, ini baru turun dari bis Solo,
ganti bis” Aku sudah turun dari bis tadi, mencari bis kecil untuk melanjutkan
perjalanan ke rumahku. Terminal ramai sekali tapi bis menuju ke daerahku tidak
ada satu pun.
“Eh Ra, udah dulu ya. Keretaku datang..”
Aku mematung. Bulir air mata itu mengalir lagi. Keretaku datang.. Aku sampai dan dia berangkat. Kucari keranjang
sampah dekat tempatku berdiri, membuang permen karet stroberi yang dari tadi
kukunyah. Sekarang sudah tidak legit. Pahit.
***
Mb ma, beberapa puzzle memang tak sama, hanya ini yang bisa kulakukan untuk mendokumentasikan..
Sudah satu minggu lebih 2 hari saya batuk sengal. Banyak yang bilang ini
batuk alergi, tapi sepertinya bukan. Panas dingin tetap batuk, sedang atau
tidak sedang di luar ruangan (debu), tetep juga. Kadang, saking nggak
berhenti-berhenti, dada atau perut rasanya kejang nahan batuk yang alay ini.
Beberapa kali memang harus keluar ruangan karena tidak enak hati membuat polusi
suara yang berulang-ulang. Ketika menjelang tidur, batuk ini terdengar merdu
menggelegar di kamar selantai 3. Hihi. Kemarin kemarin sudah pernah periksa,
tapi karena pas barengan sama radang, jadi saya minta tolong sama dokternya,
yang disembuhin radang dulu. E.. malah
jebul watuke ndadi..
Beberapa kali kena batuk, memang seperti ini. Long lasting dan sengal. Jadi langganan obat karena saking nggak
tahannya. Kasus batuk alay ini pernah menyerang sekitar bulan September 2013
juga. Agustus dan September 2013 adalah bulan dimana kamar kos saya berpenghuni
dua dan/ atau tiga orang. Saya (jelas), adek, dan adek sepupu. Mereka berdua
nunut, maklum mahasiswa baru. Mereka dengan terpaksa menjadi saksi fenomena
batuk sengal ini. Fiqi cerewet meminta saya untuk istirahat, tapi apa boleh
buat, itu sudah saya lakukan, kebanyakan tidur malah (plaaak). Dia meminta saya
untuk beli obat, saya bahkan sudah membeli obat dua produk, Actif*d dan OB
H*rbal, meminumnya dengan rajin dan semangat, tapi apa boleh dikata.. tidak
sembuh jua.
Pagi itu Fiki dan Fika pamit beli sarapan, eh sepulangnya bawa sepuluh biji
jeruk nipis. Haha, aku inget benar cerita mereka saat mencari tukang sayur,
belum dengan proses tawar menawar konyol yang dua dedek ini lakukan. Iyap,
jeruk nipis adalah menu andalan ketika sedang batuk, tapi kalo kasusnya saja
sampai ketika batuk semua anggota badan gerak kayak ini, apa ya masih ces pleng.
Saat itu, saya cuek dan skeptis, obat modern saja tidak mempan, bagaimana
dengan jeruk nipis yang jelas jelas woles kerjanya.
Tapi teman-teman, besoknya batuk alay saya lumayan. Satu dua kali memang
masih sama batuknya kering dan nggak brenti-brenti, namun setelah pagi
menjelang, saya merasakan bahwa batuk ini mulai amoh, dahaknya mulai ada.
Setengah jalan menuju kesembuhan! Actif*d dan OB H*rbal yang sudah satu minggu
ini menemani seperti jadi pecundang. Mereka kalah hanya dengan ramuan herbal
jeruk nipis dan kecap. Dua obat-obatan apotik itu kalah dengan dagangan di
warung sayur.
Rekan-rekan yang berbahagia, postingan ini, sungguh bukan bermaksud
mengunggulkan obat herbal sebagai ramuan yang manjur, juga bukan mau promosi
jeruk nipis sebagai obat batuk yang mujarab ketimbang obat-obatan kimia. Hanya,
saya ingin bercerita kalau saya punya adik yang meski selalu membuat saya iri,
dia begitu menaruh perhatian pada kakaknya. Entah kalau sebenarnya dia hanya
enggan mendengar batuk sengal ini setiap malam dia menginap. Hehe. Saya hanya
ingin berbagi kepada para kakak sedunia, betapapun kita merasa telah mandiri,
ingat bahwa berpura pura kuat tidak menghalangi orang mengetahui kondisi
pribadi kita. Betapapun kita yang paling tua, paling besar, jangan kira bahwa
adik-adik kita tidak pernah peduli dan menyayangi. Betapapun kita merasa harus
melindungi dan mengambil tanggung jawab atas semua, ada banyak kelemahan yang
ada pada diri dan sudah selayaknya terbuka menerima bantuan.
Terima kasih, adik. Adik seluruh dunia, kalian bahkan melakukan hal yang
tidak pernah kakak kalian ajarkan. Kalian bahkan memberi hal yang tidak pernah
kakak kalian hadiahkan :))
Subscribe to:
Posts (Atom)
0 comments: