seperti ini ketika pikiran dibiarkan menjelajah jauuh ke sitoplasma kehidupan . . .

1
23:37

Allah, berdetak itu biasa. Tapi ketika sudah tak berdetak, apa yang bisa aku karyakan?

Allah, menghirup oksigen itu sangat manusia, terlalu normal. Tapi sungguh ketika nafas tak lagi berhembus, apa yang bisa aku hasilkan?

Allah, warna adalah sekelilingku. Tapi, ketika tak tampak lagi spektrum warna bagiku, apa yang bisa aku amati?

Allah, suara memang tak pernah berhenti berbunyi, tapi ketika bunyi-bunyian itu lenyap dariku, apa yang bisa aku dengar?

Allah, kata adalah susunan huruf dan ekspresi semata. Tapi, ketika tak ada lagi yang bisa terucap, apa yang dapat ku beritakan?

Allah, sendi dan tulang memang membuatku bergerak. Terlalu teori. Tapi, ketika alat gerakku rusak, lantas apa yang bisa aku perbuat?

Allah, berpikir itu sangat spesiesku sekali. Penuh ilmu dan pertimbangan. Tapi, aku sungguh tak bisa bayangkan bagaimana kalau aku tak punya akal?

Allah, merasakan itu hal paling mudah. Tapi, ketika hati jiwa mati, dengan apa aku bisa peka?

Allah, darah memang kodratnya mengalir, kan? Aku benar-benar tak pernah berpikir apa yang terjadi jika tiba-tiba aliran itu terhenti. Apa yang bisa aku cita-citakan?



(Hasil menyendiri dengan sukses di tengah ketidaknyamanan pikiran, kekeringan ruh, dan …... Ah, seandainya yang satu ini bisa kubagi…)

1 comments:

HUJAN: Hal Ajaib Yang Benar-Benar Terjadi!

2
17:57
Iya. Titik-titik air itu… Pernahkah berpikir bahwa agak sedikit aneh dengan air yang jatuh dari langit?

Dulu, ketika masih di bangku ayunan (baca: saat TK), keajaiban ini kusangka begitu berbahaya. Terlalu berbahaya sehingga ibu dan bapak kompak berujar “Awas an, udan” atau “Gek cepet mlebu ngomah, udan…!” Jadi selain bahwa hujan membahayakan, kupikir hujan tidak terlalu bersahabat dengan bapak-ibu karena dengan banyak cara ia menyuruh anaknya untuk menghindarinya.
Ketika sudah sampai di bangku Sekolah Dasar, hujan adalah bahasan menarik yang melibatkan air laut. Konsep lugu ‘hujan ya karena mendung’ segera digantikan oleh ‘hujan terjadi karena ada evaporasi’ di kelas lima. Entah kalo kurikulum sekarang, entah ditaruh mana bahasan tentang keajaiban yang satu ini.
Hujan di SMP sama seperti yang aku dapat di SD. Hanyaa… tambah istilah. Ah yaa, presipitasi. Dan aku kenal jenis-jenis hujan, ada hujan yang ternyata tidak indah, ia destruktif. Hujan asam, kan? Tapi aku tetap menggeneralisasikannya sebagai sesuatu yang ajaib! Sesuatu ajaib yang benar-benar terjadi di dunia!
Hujan versi SMA lebih indah. Ia dengan senang hati menemani di perjalanan. Rintik-rintiknya? Kunikmati dengan menadahkan tangan, menadahkan muka ke langit, tetes demi tetes yang turun… Lembut. Gerimisnya? Gerimis yang agak deras itu nyaman sekali bila dipandang dari koridor kelas. Minimal itu yang bisa dilakukan ketika pikiran brutalku belum tumbuh. Derasnya? Tak ada lagi yang bisa menghalangi untuk memeluk derasnya air yang jatuh dari langit. Setidaknya kesempatan itu yang kumiliki di luar rumah. Akan dengan sukacita membiarkan payung tersimpan di tas dan dengan labil berlari-larian (yang sebenarnya tidak perlu) menceburkan kaki ke lubang jalan. Ceprott! Rasanya merdeka sekali saat membuat yang lain ikut basah.
Masa-masa sekarang ini, hujan tambah ajaib. Berpikir filosofis benar-benar mengajakku untuk semakin merasa aneh atas fenomena hujan. Lebih kagum. Ingin bersamanya lebih sering. Lebih labil, suka nyanyi-nyanyi pas kehujanan naik motor. Lebih enggak banget lagi merentangkan tangan sambil muter-muter (tolong jangan bayangin film India. Nah lho, malah dibayangi -____-). Aku yakin bulir-bulir air dari langit itu ada kandungan inspirasinya, yang entah hanya berapa persen, mampu menghadirkan gagasan, keramahan, kelegaan. Air hujan yang jatuh lewat genteng-genteng itu saja, bila kau tadahi akan mengingatkan pada selapis dua lapis memori. Ajaib kan? Hujan membersamaimu dengan lirih, bukan lewat dinginnya, tapi lewat sejuknya. Bagaimana tidak ajaib?

2 comments: