Showing posts with label imajinasi. Show all posts

Merasa tidak pantas

0
06:52

Aku tidak setuju pada orang-orang yang meninggalkan orang terkasihnya dengan alasan ‘tidak pantas’. Seberapa pantas ukuran pantas? Seberapa penting takaran pantas bagi mereka yang ingin bersanding? Aku dulunya berfikir, orang-orang itu naïf. “Kamu terlalu baik buat aku…” Bah. Kalau kau pernah dengar itu di serial TV atau film layar lebar, setidaknya bersyukurlah tak harus mendengarnya langsung. Pernah saat sedang makan bersama teman, aku dengar dari balik punggungku, laki-laki mengatakan hal itu pada gadis di depannya. Rasanya tentu sakit, mana yang lebih sakit daripada sudah mengusahakan hal baik pada seseorang (walaupun aku yakin pasti mbak ini sebelumnya tak pernah menganggap apa yang ia lakukan adalah ‘sebuah hal baik’ karena ia hanya melakukannya begitu saja), tapi lalu orang itu bertindak seolah kebaikan adalah… kesalahan. Kau pasti rasanya ingin berbuat jahat saja lalu masuk penjara agar kau tak usah mengenal klausa aneh ‘kau-terlalu-baik-buat-aku’.

Tapi sekarang aku bisa paham bagaimana rasanya merasa tidak pantas. Wujud perasaannya bisa macam-macam. Saat seseorang sering mengirimkan pesan, misalnya, aku akan berfikir, “Oh mungkin karena memang ada butuhnya..” atau “dia hanya mengacak daftar kontak dan kebetulan menemukan namaku” atau pada waktu-waktu tertentu, “dia mungkin forward pesan ini ke banyak orang juga, kan?” Saat lalu seseorang mengajak bertemu, “Jangan salah sangka, dia hanya butuh telinga” Bahkan ketika pada suatu hari aku menyadari kilat matanya, masih saja sosoan geleng-geleng, “dia… kepadaku? Haha. Lelucon macam apa, gadis bodoh?”

Denial? Sort of... aku hanya merasa kamu terlalu tinggi untuk diraih. Aku merasa kamu adalah kemungkinan paling tidak mungkin yang aku punya. Aku merasa takut kamu hanya main-main, kamu hanya mendekat sebentar, tapi kemudian terlupa. Aku merasa takut kalau burukku kau anggap di luar keniscayaan, khawatir sekali nantinya lebihmu tak bisa maklumiku. Aku sangat takut dan merasa tidak pantas, hingga tak sadar aku menarik diri.

Ini bukan artinya aku hanya menyoal tentang perasaan diri sendiri, aku bukan tak peduli apa dan bagaimana yang kamu rasakan. Justru karena aku terlalu fikirkan, rasanya seperti berkali-kali ingin mengumpat, merutuki diri sendiri, berani-beraninya mengeja rasa pada orang sepertimu. Hampir setiap saat menaruh tanya, apakah yang aku lakukan di depanmu benar atau tidak, apakah tadi bajuku terlihat kusut, apa aku tertawa terlalu keras, apa aku kelihatan…. terlalu bahagia jika bersamamu?


Tidak enak menjadi terlalu hati-hati; merasa tidak pantas membuatku waspada, terlalu antisipatif sehingga yang sangat aku benci, tidak berani sekedar menunjukkan ‘aku’ kepadamu. Perasaan tidak pantas ini sebentar lagi mungkin akan membuatku berjanji untuk menyerah. Tapi peliknya, hatiku masih ada di tempat semula.

Continue reading →

Well, every late post is here. Haha!

0
05:01

Menyembuhkan kerinduan bercerita tentang perjalanan, tentang rasa yang dialami saat perjalanan, bahkan tentang hal-hal yang tidak penting ketika berperjalanan, akhirnya coretan coretan  jaman baheula ini berhasil saya jadikan benang-benang pensieve. Berharap nggak menuh-menuhin kepala. Beberapanya sudah dari dulu ditulis, awalnya sudah merasa cukup hanya dengan dibaca sendiri. Beberapanya lagi memang baru kemaren, gek entes. Gegara mendapat nasihat bahwa “kalau ketika kau tidak menulis, saat kau mati nanti, tak ada yang mengenangmu” maka menulis untuk publik, saya lakukan lagi. Tapi btw saya punya versi lebih enteng biar tetep terus nulis walaupun yaa... ngga pernah bisa menulis yang proper─lebih banyak meracau. Terus nulis biar nggak ilang di larutan air kehidupan dan gula rutinitasnya. Hidup anak (yang pernah) IPA! Nah kan ngaco.


Baiklah, selamat masuk panci, benang-benang pensieve!

Continue reading →

Pelangi

0
05:04



Merah jingga kuning hijau biru nila ungu yang kita pandangi itu adalah kenangan gerimis. Betapa kenangan bisa begitu indah.

Continue reading →

Enigma

0
23:25

“Kau selalu tampak sibuk kesana kemari”
“Aku tak sibuk, hanya orang lain saja yang barangkali lebih setia berada di tempat yang sama”
“Ya kan kau selalu terburu-buru, sebentar disana, sebentar di sini”
“Karena aku sedang mencari. Jangan tanya aku mencari apa”
“Kau tahu kalau itu adalah pertanyaan yang runtut selanjutnya”
“Entah, kau selalu dapat diantisipasi”
“Jawab saja”
“Kau akan tertawa”
“Aku sudah banyak tertawa seumur hidupku”
“Kau akan menganggapku sakit pikir”
“Sudah lama, hanya aku tidak terlalu mempedulikannya”
“Haha. Iya, aku lupa kalau aku tidak pernah dipedulikan”
“Ah aku bosan selalu berusaha berdamai denganmu bahkan untuk hal yang sepele”
“Tak paksa kau harus berdamai. Kau lelah, tidur saja. Pulang.”
“Kau yang harus pulang. Mau kuantar?”
“Atas keberanian macam apa aku berdebat dengan lelaki gombal macam kau”
“Oke, kau kuantar sekarang”
“Aku sedang mencari pertanda. Berkeliling mencari arah..”
“Terdengar seperti alkemisnya Paulo Coelho”
“Aku berkali-kali jatuh cinta pada barat, yang sampai sekarang aku tak tahu berbalas atau tidak”
“Kau bisa menanyakannya..”
“Aku diam-diam menunggu isyarat timur, hampir-hampir tidak terlihat bahwa aku berharap”
“Ini...”
“Kamu tahu, lama-lama aku maju mundur. Menaruh ragu pada selatan”
“Ini...”
“Semakin kebas saat kutuju utara, dia dusta sempurna, tak lagi kupercaya”
“Boleh kusela?”
“Meski aku dijanjikan hal baik oleh setiap mata angin, aku rasa pencarianku justru kini tak berarah.”
“Kusela sekarang..”
“Sekarang ini kau akan berpikir aku barusan merapal mantra”
“Terserah setelah ini kau akan seacuh apa, tapi aku sampaikan saja. Aku rasa kita sedang.. mencari hal yang sama”

Continue reading →

kata ia, tentang jarak...

4
03:17


Untuk kamu yang percaya bahwa jarak tercipta agar rindu tetap hidup tanpa pernah redup, tolong tanyakan pada nuranimu dulu sekarang. Kau benar-benar mempercayai itu, atau kau hanya menggunakan konsep itu untuk menenangkanmu? Karena kau tak punya cara lain memandang jarak, kan? tak mau membayangkan efek terburuk dari jarak, tak mampu mengantisipasi sesuatu yang diciptakan jarak. 

Hal yang paling menyedihkan adalah berpura-pura pada dirimu sendiri.
Continue reading →

Buronan Akhirnya Tertangkap!

0
18:03

Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang-orang yang dengan tulus mendoakanmu. Berharap kau sehat, selamat, terhindar dari segala mara bahaya, terhindar dari celaka, terhindar dari godaan syetan dan belenggu nafsu. Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang yang dengan diam merindukanmu. Kangen tapi gengsi mengakui. Ingin bertemu, tapi ragu janjian. Sekarang ini, tepat sekarang ini, banyak orang yang dengan sukarela memikirkanmu, mengasihimu dengan sederhana, atau menyayangimu dengan begitu dalam namun pakewuh berucap. Lafadzkan tahmid dulu..

Sepuluh hari yang lalu, aku izin Ibuk untuk pergi ke Kerawang, menengok teman yang sakit. Alhamdulillah dapet ‘yes’. Walaupun sambil ditanya ‘mulihmu kapan?’ tapi tidak ada nada terlalu berharap di sana, apalagi memaksa. Mengunjungi rumah teman dan menatap ibu mereka masing-masing, sedangkan yang disuruh pulang berjumpa ibuk sendiri malah hanya selalu berjanji saja akan segera pulang. Lima hari yang lalu, ibuk sms jadi pulang kapan, sekalian minta tolong urus administrasi Fiqi di UGM. Karena punya alat berkelit, hanya perihal urusan administrasi yang kubahas. Tiga hari yang lalu, ibuk telpon bertanya banyak hal, hanya bagian kecilnya saja yang tentang ‘mau pulang hari apa’.

Dua hari yang lalu, pagi jam 6 ibu menelpon dan memintaku pulang. Kali ini berhasil, Kawan. Bagaimana tidak? Ibu punya serdadu, om Nano namanya. Beliau ini lalu dari jam 7 sudah ada di depan kos, menunggu gusar di dalam mobil. Sudah mengelak, sudah mencari alasan (duh durhakanya), sudah menunda (dengan mencuci, aku pikir ini akan manjur karena nyuci kan lama, bikin males nungguin). Tapi manalah bisa melawan. Om Nano menelepon lagi, Ibu menelepon lagi. Om Nano kirim Fika, yang dalam hal ini bukan lagi anaknya, tapi serdadunya (hehee), ke lantai 3. Sepertinya sudah saatnya menyerahkan diri. Baiklah, buronan sudah terkepung.

Bukan karena apa-apa tak mau pulang, tapi seperti belum saatnya pulang, bagaimanapun kerjaan hasil dari menunda menuntut untuk segera dibereskan. Hutang-hutang yang belum terlunasi.  Siapalah yang tidak mau rehat, ini liburan semester, memang waktunya pulang. Tapi perbuatan-perbuatan ini harus kupertanggungjawabkan. Membayangkan pulang pekan ini saja tidak bisa, apalagi berani merencanakan. All things can be messed up if I do. But, here I am. Beralih dari kota yang penuh tekanan ke kota yang penuh makanan. Banjarnegara.

Mangkel. Yang biasanya kalau pulang itu suka cita, ini nggak ikhlas bingits. Ibuk manalah paham apa yang harus aku lakukan di sini, banyak yang harus segera diselesaikan. Organisasi, proposal skripsi, persiapan MoU sama sponsor, permintaan bantuan dari teman, pembayaran SPP dan KRS. Tak bisakah ijinkan untuk selesaikan ini sebentar? Toh kemarin semua ini tertunda karena ngurus administrasinya Fiqi di UGM. Tak bisakah lihat posisi si sulung barang sedikit saja? Diem sama dongkol di mobil. It’s like there’s no way escape. All things have been messed up now.

Aku cari pemahaman baik dari penggerebekan ini, susah sekali ketemu. Manusiawi kan, yang ingat hanya negatifnya saja. Sesampainya di rumah, ketika mangkel sudah melunak, aku mulai menulis. Korban penculikan ini masih belum legowo, tapi dia biarkan hatinya merumuskan sendiri.  Aku yakin ibu atau bapak kita, tahu siapa anaknya. Sudahlah lancang saat aku pikir mana paham mereka dengan kita. Seberapa tidak kelihatan pedulinya mereka, seberapa mereka tidak menanyakan aktivitas kita di tanah rantau, seberapa tidak mengatakan apa-apa ketika dengarkan cerita. Bukan, bukan karena mereka tidak paham. Dalam beberapa hal, pemahaman mereka jauh lebih kompleks daripada pertimbangan kita macam apapun, sendakik-ndakiknya. Tapi kalau sudah urusan rindu, Ibu hanya punya pemahaman sederhana bahwa “Kau adalah anakku, Nak. Jika kuminta kau pulang, memang sudah waktunya kau pulang.”


Kalaupun adegan penculikan kemarin diejawantahkan dengan gamblang, mungkin akan seperti di atas. Sayangnya, bapak ibuk kita kerap kali sungkan menunjukkan rindu, barangkali kita yang harus bisa peka terhadap tanda-tanda rindu itu. Iya, tanda-tanda rindu itu termasuk ketika kita pulang, ibuk sibuknya luar biasa memasakkan semua kesukaan, kalau bukan karena aku harus mencuci piring setelahnya, hihi, mungkin sudah kuminta semuanya. Orang tua kita, barangkali mereka punya cara yang berbeda saat mengungkapkan rindu: tidak berkata :’)

Continue reading →

Percobaan Fiksi Fakta

0
05:10

“Kita berteman. Berteman yang seperti ini. Aku tidak malu mengakui kalau kita sedang bergerak ke arah yang sama. Walaupun aku pikir titik temu kita, itu.. aku pun masih belum jelas melihat, aku pikir aku mengharapkan itu terjadi”
“Maka sudah, tetaplah seperti ini”
“Aku rasa ini tidak benar. Bagaimana bisa kita menyemai padahal belum saatnya?”
“Pasti akan datang saatnya, Fara..”
“Hingga saat itu, aku akan menyimpannya di tempat yang rapi, yang tidak usah kita bicarakan lagi,”
“Kita akan sama sekali tidak berkomunikasi setelah ini.”
“Bukan, justru kita tetap berkomunikasi, tapi jangan pernah membuka ini lagi. Bukan putus silaturahim, Lang, tapi mengenai hal satu itu, ah kita sebelumnya harus sepakat dulu untuk menyimpannya kan?”
“Baiklah. Tapi kalau kita bertemu, apa yang akan..”
“Biasa saja, sewajarnya. Aku punya klakson untuk bisa menyapamu saat di atas motor, aku bisa berbincang tentang kota kelahiran kita atau hobi masing-masing saat tidak sengaja tatap muka. Asal kita menghindari topik satu itu..”
“Aku mengerti, aku akan menyimpannya di tempat yang sangat rapi.”
***

Kupegang ponselku lebih erat, ponsel ini hampir saja lepas dari tanganku ketika bapak supir mengerem mendadak barusan. Ada Ibu pengendara sepeda motor yang tiba-tiba menyeberang. Ibu itu bukan hanya sukses membuat ponsel ini hampir jatuh tapi juga membuyarkan lamunanku atas kejadian setahun silam. Aku mulai jengah, berperjalanan sendirian seperti ini sangat mudah membuat fikiran kemana-mana.

Lagi-lagi kenangan itu. Percakapan yang hanya tersampaikan melalui SMS. Pengakuan yang apa adanya, namun berbuntut panjang. Mengakui saling suka, dan mencoba menyimpan. Apa-apaan ini? Sama saja artinya menjalin kasih tapi tidak bertemu, toh kita sama-sama saling menjamin bahwa hati kita sudah dimiliki satu sama lain. Bersikap sewajarnya? Sikap barangkali bisa wajar, rasa yang tidak. Bagaimana bisa aku berfikir kalau pertemuan di gerbang fakultas tidak membuatku berdebar setengah mati? Bagaimana mungkin aku berfikir kalau membalas pesanmu, aku rasanya ingin mengungkap hal lain yang tidak boleh kita bincangkan. Janji macam apa?

Aku keluarkan permen karet dari dalam tas. Setidaknya selain melihat ke luar jendela lalu melamun, aku punya pekerjaan lain. Mbak-mbak di sebelah tempat dudukku sedang pulas, aku bersyukur tidak usah basa basi menawarinya. Terakhir kali aku menawari permen karet pada penumpang sebelahku, dia anak 7 tahunan, tersedak dan malah menelannya. Sang ibu menggumam-gumamkan kemarahan padaku sambil menepuk-nepuk punggung anaknya. Bis jurusan Jogja-Solo yang kutumpangi sekarang sudah masuk Klaten. Dia, ada dimana? Sudah lama tidak melihatnya, melihatnya pun tidak, apalagi menyapa, apalagi berbincang. Gilang. Bagaimana kabarnya? Hh, bodoh, kenapa malah ingin tahu kabarnya..

Hampir satu tahun yang lalu itu terjadi. Mau tidak mau aku memanggil memori itu lagi. Sangat mudah menemukannya, akhir-akhir ini. Aku tak paham benar mana awalnya, tapi kami kenal di SMA. Ya, aku dan Gilang bersekolah di SMA yang sama. Semuanya biasa saja, menurutku, karena kita benar-benar teman. Kecuali karena kita saling bercerita, tak ada yang istimewa. Tapi aku melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi yang sama denganku, ah atau sebaliknya. Hanya beda fakultas, hanya beda disiplin ilmu. Seperti layaknya mahasiswa rantau lain, mereka punya kecenderungan untuk, yaah dekat, dengan mahasiswa lain yang berasal dari daerah yang sama.

Dan lalu semuanya mengalir, hampir begitu saja mengalir. Komunikasi lewat sms dan chat, obrolan langsung yang singkat, sering papasan di jalan. Perasaan nyaman yang wajar dirasakan ketika saling nyambung, membuat kami semakin dekat. Saat itu, jangan pun berbicara tentang rasa, menyinggung pun tidak. Kami sih sok profesional. Tapi, barangkali awal merah jambu menjadi nyata adalah saat ulang tahunku di penghujung tahun. Sampai pada ingatan ini, aku terkekeh sendiri. Rasa permen karet stroberi yang kukunyah sekarang sangat manis. Gilang memberiku sekotak roti dan... setangkai mawar merah segar! Dasar melankolis, pikirku. Aku tak berani bilang ke siapapun kecuali salah seorang sahabatku di kelas. Dia justru yang jejingkrakan kegirangan dan dengan tak sabar meminta aku menceritakannya. Dia protes karena aku tampak datar-datar saja. Tapi tahukah, aku bahkan bingung mengartikan dua benda ini. Apa ini? Maksudnya? Roti barangkali wajar. Bunga??

Aku tersenyum dan membenarkan letak dudukku. Masih satu jam setengah untuk sampai ke kota kelahiran. Setelah kilas balik tentang roti dan bunga, memori ini lalu mengurai komunikasi-komunikasi itu. Mulai dari papasan di bawah pohon flamboyan lalu salah tingkah,  hingga chat facebook yang dibiarkan tertulis “Fara is typing....” Lang, kamu tidak tahu kan, sulit benar aku pilih kata-kata. Bukan, bukan agar kau menyukainya, bukan agar kau setuju dengan apa yang aku sampaikan. Hanya, aku takut kalau semuanya akan menjadi jelas, perasaanku. Salah-salah bisa keceplosan dan diluar batas. Hm, kejadian-kejadian ini terus mengalami repetisi. Dulu, cinta adalah sesuatu yang aku rasakan hanya di pandangan pertama, aku tidak tahu aku bisa terbenam perlahan.

Bis mengerem mendadak. Buyar lagi. Kali ini faktor penumpang. Seorang bapak tergopoh-gopoh turun setelah sebelumnya mengetuk-ngetukkan uang logam ke kaca bis. Mas kernet memaki. Aku membolak-balikkan ponselku, kubuka kunci layar, kututup lagi. Hingga lampu layar padam, kubuka kunci lagi, lalu menunggu hingga layar mati dan terkunci, baru aku buka lagi. Aku tidak tahu bagian mana yang membuatku paling gusar, toh bersahabat dengan kenangan manis seharusnya membuat lebih tenang. Tapi menurutku, ada sesuatu yang salah di sini. Yang kupikirkan satu bulan terakhir. Janji itu..

Kali ini aku benar-benar membuka layar kunci dan masuk ke pesan. Mencari namanya di daftar pesan semudah mencari namanya di rekaman memori. Aku runut satu persatu, beberapa pesan kubaca berulang-ulang, sisanya ada jarkoman event kampus atau lomba-lomba fotografi. Gilang suka sekali hal itu, terkadang satu dua jepretan dia bagi di jejaring sosial. Tajam dan punya makna, setidaknya itu penilaian dari seorang yang tak tahu apa-apa tentang fotografi.

Aku sudah hampir menuliskan pesan kalau tidak ditanyai oleh mbak yang duduk di sebelahku. Dia bertanya sudah sampai mana. Dari sejak naik di Babarsari, mbak satu ini tidur pulas. Dia lalu berujar bahwa tujuannya masih jauh dan dari tingkahnya membenarkan posisi duduk, sepertinya ia akan melanjutkan tidur. Benar saja, sambil memeluk tas punggungnya, ia mengatupkan mata lagi. Apa yang mau kutulis barusan? Aku menghela nafas, dalam. Udara di dalam bis tidak terlalu pengap, aku duduk di belakang mas kernet, sirkulasinya bagus. Kupandangi lagi layar HP, pointer sudah ada di bagian ‘enter message’. Apakah aku, benarkah tidak apa-apa jika sekarang mengiriminya pesan?

Kutekan-tekan tombol Undo hingga akhirnya layar utama yang tampil di depanku. Kukunci layar. Menghela napas lagi. Tapi tidak, sekarang ini barangkali memang waktu yang tepat mengungkapkan padanya. Sekarang ini, barangkali waktu yang tepat untuk berkirim pesan. Sekarang ini, setelah sudah tidak bertemu lama sekali. Sekarang ini, di perjalanan yang membuatku mengingat semuanya. Sekarang ini, barangkali tidak ada waktu yang sesempurna sekarang ini.

“Gilang. Apa kabar? Lagi dimana sekarang?” Daripada hanya menanyakan kabar dan menanggung resiko Gilang tak membalas—meskipun ia bukan orang yang dengan mudah mengabaikan SMS, kutambahkan pertanyaan tadi.

“Aku sehat. Kamu gimana? Lagi di Solo, di stasiun..”

“Mau ke Jogja? Aku malah baru mau pulang, hehe, kita slisipan ya” Aku lebih suka meninggalkan kalimat tanpa tanda baca kalau itu bukan kata tanya. Janggal saat melihat beberapa orang memilih menggunakan tanda titik di akhir kalimat yang seperti ini. Titik dua atau tiga tidak masalah, tapi bagiku titik satu seperti segera ingin mengakhiri SMS, atau tidak terlalu berkenan dengan apa yang orang lain sampaikan hingga dia menambahkan titik satu disitu, ketegasan.

“Haha, iya :D” Emotikon. Cukup titik dua dan satu huruf itu, atau kalau tidak titik dua tutup kurung, maka sepertinya semua akan tampak baik-baik saja. Kali ini, apakah Gilang mungkin juga sedang berpura-pura? Ah, prasangka..

“Lagi sibuk nggak, Lang?”
“Enggak, lagi baca novel aja kok. Gimana?”
“Mm bukan, maksudku, dalam waktu dekat ini ada agenda apa gitu, di kampus? HIMA lagi sibuk nggak?” Gilang adalah ketua himpunan mahasiswa di jurusannya. Aku tahu aku mungkin sering mengganggunya bahkan saat dia ada agenda, SMS-SMS tidak penting. Bodoh, tetap saja dia layani.

“Enggak kok, lagi baru selesai ngadain acara minggu kemaren. Kenapa, Ra?”

“Kalo kuliah, ada ujian nggak waktu deket ini? Project dari dosen gitu, misalnya? Ada nggak?” Ada hal penting yang aku ingin katakan, aku harus memastikan kalau rentang waktu dekat ini dia tidak sedang disibukkan oleh sesuatu. Barangkali aku yang mendramatisir, berlebihan hingga sampai bertanya seperti itu. Gilang mungkin heran, maunya apa anak satu ini? Bertanya sebegitu detail.. Pesan alasan darinya datang setelah 5 menit SMSku padanya tadi terkirim.

“Fara? Ada apa to? Aku nggak lagi sibuk ujian kok, kemarin kan minggu mid-term, ingat?”
“Okee. Gini Lang, ada yang aku sampaikan. Boleh?”
“Boleh. Menyampaikan apa, Ra?”

“Ini tentang isi SMSan kita satu tahun yang lalu, iya bulan Maret tahun lalu. Kita bikin janji buat nyimpen rasa suka itu, hingga saatnya nanti datang, kita baru boleh membukanya. Kan? Aku akhir-akhir ini berfikir kalau ini tidak benar. Kalau seperti ini, berarti kita sudah saling ngecim. Bahwa aku harus denganmu, dan sebaliknya. Padahal Lang, bagaimana kita bisa dengan mudah menentukan semua itu? Jodoh.. ada di tangan-Nya.”

Tak sadar badanku bergetar menuliskan kalimat terakhir di SMS itu, 4 layar. Sesak sekali rasanya. Iya, satu bulan terakhir ini aku berfikir untuk mengatakannya. Berfikir keras bagaimana aku akan mengatakan dengan benar. Harus bertemukah? Atau aku telepon saja? Tapi justru sekarang aku hanya mengiriminya pesan. Pengecut memang. Aku kecut kalau bertemu, aku semakin tidak bisa mengatakannya. Aku kecut kalau menelepon, nada suara tetap tidak bisa dihobongi. Hei, aku butuh berpura-pura tegar mengatakan hal barusan. Aku butuh berpura-pura kuat dan dewasa.

Kutangkupkan ponsel di tanganku. Belum ada nada getar. Gilang belum membalas. Aku edarkan ke jendela. Mataku sudah berair, aku hanya berharap tidak tergugu di sini. Memalukan, menangis di dalam bis. Seperti anak yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya di pasar. Sudah masuk Solo. Sebentar lagi aku sampai. Mungkin sebentar lagi Gilang berangkat.

Aku terkesiap, ponselku bergetar. “Maaf Fara, aku membuatmu seperti ini. Maaf atas kesalahanku selama ini.. Lalu, menurutmu sekarang bagaimana? J” Emotikon lagi. Sok benar dia. Gilang pikir titik dua kurung tutupnya kelihatan emotikon smile? Justru sekarang ini tampak mengerikan. Paradoks.

“Hanya kamu yang salah? Aku juga, Lang. Aku bahkan setelah memendamnya, lalu memupuknya dan berharap yang aku tanam itu, akan bersemi. Aku minta maaf sudah mengatakan ini, takut benar kalau kamu tersinggung” Aku sudah tekan tombol “Send” dan baru menyadari aku belum menanggapi satu pertanyaannya. Apa yang dirasakan Gilang sekarang ini? Perasaan sejatinya sekarang, seperti apa?

Aku yang mengatakannya lebih dulu. Maka jelas, aku yang harus mengendalikan. Aku tahu aku harus mengendalikan perasaanku sebelum dengan begitu yakin menyampaikan ini pada Gilang. Ah, bohong benar. Sekarang kristal-kristal itu sudah meleleh, berjatuhan di layar ponsel. Aku menengadahkan kepala, sekarang apa? Aku juga tidak tahu harus bagaimana, Lang. Kenapa bahkan kau tidak coba untuk menyanggah apa yang aku sampaikan? Mengatakan bahwa apa yang aku bilang salah adalah benar, mengatakan bahwa kita yang seperti ini sudah benar adanya, mengatakan bahwa tidak ada yang harus direvisi dengan janji kita tempo lalu.

Gilang membalas pesanku, kali ini tidak terlalu lama. “Fara... J Terimakasih atas selama ini. Aku tidak apa-apa, kamu juga baik-baik saja kan? Apa yang Fara inginkan sekarang?” Apa-apaan lagi ini? Apa yang aku inginkan, hah?? Sekarang aku menginginkanmu, Lang. Kah kau tidak tahu? Aku mendongakkan kepalaku lagi, sekarang air mata sudah bergulir besar-besar. Sesak sekali rasanya, tapi harus kutuntaskan..

“Dulu kita menyimpannya, mengubur di tempat yang kita sama-sama tahu. Sekarang lebih baik, kita buang jauh-jauh, dipendam di tempat yang kita tinggalkan tanpa tanda. Biar saja bila tidak ditemukan, toh ada yang lain yang akan menemukannya. Kita hidup masing-masing”
“Menurutmu begitu lebih baik?”
Dia mengujiku, tapi sudah terlalu jauh untuk berbalik. “Iya.. J Bagaimana?” sekarang giliran aku yang membuat kepalsuan. Emotikon yang paradoks.
“Aku setuju. Semoga kita bahagia di hidup kita masing-masing. Sukses..”

Saat ini aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa. Berpura-pura baik-baik saja dan tetap mengamini? Tugasku sudah selesai, membuatnya bersepakat dengan apa yang aku ungkapkan. Kuusap sudut-sudut mataku. Aku tidak tahu ujungnya akan seperti apa nanti, apakah benar-benar tidak ada interaksi sama sekali, bilakah ada pasti akan sangat canggung. Aku belum bisa membayangkan apakah masih bisa tersenyum dan mengklaksonnya saat bertemu di depan gerbang fakultas.

Ponselku bergetar lagi. Kubuka layar kunci. Gilang. “Ra, Sherlock Holmes yang series kemarin, sudah ada lanjutannya lagi belum? Aku baru punya yang ke-4..”

Apa yang kau inginkan sekarang, Lang? Mencoba berdamai dengan perasaan? Kau saja. Aku belum. Aku masih susah payah mengelap pipi, membersihkan sudut mata, membersihkan layar ponsel yang basah. Bagaimana bisa secepat itu mengalihkan topik, seolah sms yang aku kirim barusan hanya “Harga nasi telor sekarang naik jadi lima ribu..” Kamu ingin aku membalas apa?

Memang baru sampe 4 kok, Lang. Mungkin yang selanjutnya belum release, kemaren aku cari juga belum ketemu.. Biasa download dimana?”
“Minta dari temen kos, hehe.. Udah sampe rumah, Ra?”
“Ooh, dia suka Sherlock Holmes juga? Belom, ini baru turun dari bis Solo, ganti bis” Aku sudah turun dari bis tadi, mencari bis kecil untuk melanjutkan perjalanan ke rumahku. Terminal ramai sekali tapi bis menuju ke daerahku tidak ada satu pun.
“Eh Ra, udah dulu ya. Keretaku datang..”

Aku mematung. Bulir air mata itu mengalir lagi. Keretaku datang.. Aku sampai dan dia berangkat. Kucari keranjang sampah dekat tempatku berdiri, membuang permen karet stroberi yang dari tadi kukunyah. Sekarang sudah tidak legit. Pahit.
***

Mb ma, beberapa puzzle memang tak sama, hanya ini yang bisa kulakukan untuk mendokumentasikan.. 
Continue reading →

I've told you: TRUST NO ONE

0
23:40


Tepat ketika kau mulai mempercayainya, dia akan berkhianat
Tepat ketika kau mengira mulai baik-baik saja, dia menceracau
Tepat ketika berita baik baru saja berhembus, dia menuduhmu
Tepat ketika kau menemukan sahabat baru, dia pamerkan bahwa dia berserdadu
Tepat ketika kau berjalan agak santai, dia menyalipmu
Tepat ketika kau merasa damai, dia akan mengusik
Tepat ketika kau menegurnya, dia seolah yang harus dikasihani
Tepat ketika kau siap bergerak, dia memadamkan
Tepat ketika kau bersemangat, dia mengatakan kau tak pantas
Tepat ketika kau mengejar sesuatu, dia berusaha keras mendapatkannya
Tepat ketika kau merasa dendam, dia kobarkan api lebih besar
Tepat ketika kau sadar kau membencinya, dia lebih dulu membunuhmu.

Sudah kubilang sebelumnya, musuh tak jauh jauh. Ada di dekatmu.
Continue reading →

Kuburan Mimpi

0
03:50


Paling sedih itu ketika melewati pekuburan mimpi
Semua orang mengubur dalam harapan
dan menisankannya tanpa nama.
Disana mimpi terperangkap dalam tanah.
Tanpa kau sadar, senyummu tertinggal sedikit disana.
Mimpimu mau dibawa ke mana?
Pekuburan?
Atau kau gantung di awan?

Mimpi harusnya bersayap.
Ia terbang melintasi langitmu.
Dan kamu mengikutinya, setapak demi setapak, meniti jejak.

Kalau mimpi tersesat, siapa yang akan menemukannya?
Siapa yang akan mencarinya kalau bukan tekadmu sendiri?

Kulewati lagi pekuburan mimpi.
Terdengar teriakan menyayat hati.
Aku menutup mata dan berkata pada kepala.
Aku tak mau mimpiku berakhir di sana.
Aku tak mau, kamu berdiri di sana.


(SADGENIC - Rahne Putri)

Continue reading →

Pantas Kecewa

0
10:42

Wahai gadis cantik, pantas bila kamu kecewa.
Kalau paras wajahmu yang cantik jelita bukan hanya berwujud keindahan tapi menimbulkan nafsu bagi yang lain. Sayang, aku tidak terlalu tau tentang hal ini, tapi aku hanya ingin menyampaikan kalo sebagian besar manusia menyukai keindahan. Tidakkah kau salah satunya? Aku, hanya takut kalau kau menjadi menderita dari keindahan itu sendiri. Menyebar kebaikan mungkin butuh senyum dan pesona, tapi akankah tidak lebih anggun apabila tabarrujmu itu di depan dia yang halal saja? Ekslusif.

Wahai gadis lembut, pantas bila kamu kecewa.
Kalau halus suaramu saja karena dibuat, untuk dianggap bijak atau minimal mendapat titel ‘keibuan’. Apalah itu anggapan orang, kau akan menderita bila harus berpura-pura. Setiap yang dibuat-buat tidak akan bertahan lama, sayang. Maka lembut adalah bagaimana berperilaku dengan tulus dan hati-hati, bukan justru ceroboh memanipulasi siapa kau sebenarnya. Ingat, wanita itu kuat lembut, bukan lemah lembut, tidak dengan klemar-klemer kau akan jadi bermakna bagi kehidupan.

Wahai gadis ramah nian, pantas bila kamu kecewa.
Kalau supelnya kamu kemana-mana justru hanya ingin dikenal, mendapat pengakuan. Selalu muncul bahkan pada saat yang bukan kesempatanmu. Ya, apa saja kebaikan yang ingin kau lakukan memang bisa saja disalahartikan, maka jangan lupa direm kalau sudah mepet kendaraan lain, atau biar kalau berbelok, kau tidak jatuh terpelanting. Semua orang punya karakter masing-masing, kau hanya akan penat bila kau terus-terusan ramah, dengan cara yang salah..

Wahai gadis cerdas, pantas bila kamu kecewa.
Kalau halaman demi halaman yang kau baca tidak kau tularkan ilmunya. Orang lain masih di halaman belasan dan kau biarkan. Bermanfaatlah, kata Ustad Salim A. Fillah, prestasi yang benar-benar prestasi itu adalah kebermanfaatan. Kau punya cukup, maka ketika kau tidak berbagi? Ah, kau seperti konglomerat, yang tinggal jatuhnya maka tidak akan dipedulikan. Naudzubillahimindzalik.. Oh iya sayang, pemikiran-pemikiran kritismu, janganlah hingga menafikan kebenaran. Aku percaya aqidahmu, ditempuh jauuh dari banyak semester yang lalu, dibanding jumlah semester atas pemikiran-pemikiranmu sekarang..

Wahai gadis gesit, pantas bila kamu kecewa.
Kalau caramu menempuh jarak meretas waktu bukan hanya untuk dapatkan ridho-Nya. Kamu lincah berpindah tempat, sebentar di sana lalu sudah di sini. Pagi tadi bersama ceramah dosen, siang kamu sudah panas-panasan bawa rontek. Gesit melakukan apapun, tapi terasa gersang kan? Kamu dapat apa diantara derap lari-larimu, sayang?

Wahai gadis kuat, pantas bila kamu kecewa.
Kalau airmata yang susah sungguh kau sembunyikan justru menyimpan dendam. Kalau rasa yang kau simpan dalam-dalam justru membuatmu enggan bergerak. Percuma kalau atas perisai ‘tegar’, kau menyimpannya sendirian dan membiarkan pemahamanmu—yang belum tentu baik—kau telan mentah-mentah. Merenda satu demi satu kejadian dan berusaha menyimpulkan sendiri, menganggapnya benar dan orang lain salah. Ah, ‘kuat’ terlalu tidak demikian.. Dan ya, kau mau dengar? Kuat itu seperti sabar kan? Orang bilang ada batasnya, tapi kalau kau sanggup menjadi kuat bahkan ketika kau rasa habis sudah, maka kau pemenangnya.

Wahai gadis shalihah, pantas bila kamu kecewa.
Apabila sujud ibadahmu hanya untuk dipamerkan pada dia, dia, dia tapi bukan Dia. Lelah sekali kau beramal tapi motifmu sudah tak jernih lagi. Tengoklah sebentar, sudahkah jalan lurus ini benar lurus adanya dan bukan sekedar jalan yang kau anggap lurus? Apakah segumpal hati ini masih punya kristal niat yang cemerlang seperti masih baru? Luruskan kembali, sementara kalau tidak bisa lurus sempurna, minimal jangan terlalu bengkok.

Continue reading →

Untuk Nemo #4

0
01:00

Halo Nemo, selamat pagi. Aku yakin surat ini sampenya pagi.


Sejak kamu pindah, warung depan rumahmu itu jadi sepi. Satu, dua, tiga, tiga setengah. Sudah tiga setengah tahun kamu pindah dan warung kelontong itu sudah tidak lagi seramai biasanya. Sudah tidak ada lagi koko crunch seribuan yang bisa dibagi berdua. Kalau aku bilang, nggak ada anak-anak sekita lagi yang main kerumahmu kan, jadi jajanannya juga nggak laris. Ya udah deh, kalo mau jajan aku ke warung mbak Sol, udah jarang banget ke warung depan (mantan) rumahmu.

Aku tidak bisa lama-lama menulis, belum bikin PR. Daah...
Continue reading →

Untukmu, Nona Carl...

0
20:15


Ini untukmu, Nona Carl...
Sarapan pagi asupan tenaga untuk aktivitasmu sepagi hingga siang nanti, roti isi dan susu kedelai. Karbohidratnya cukup, tidak lebih. Lemaknya juga dari lemak nabati, jadi Nona tidak perlu khawatir kalau memang sedang ada program diet lemak dan protein. Tidak terlalu kenyang tapi energinya cukup. Di keranjang juga sudah ada apel dan jeruk segar, tadi sore baru dipetik dari ladang. Akan sangat baik bila mengkonsumsi buah, Nona. Oh, saya belum bertanya ya? Siang nanti, Nona mau saya masakkan apa?

Ini untukmu, Nona Carl...
Buku-buku sejarah milik Tuan Lionel. Sesuai dengan pesanan Nona, sudah saya bersihkan, sudah saya sampul dengan rapi. Esok hari kalau memang mau dikembalikan, kardus-kardus kecil yang di depan gudang juga sudah saya siapkan. Tuan Lionel kemarin menelepon. Bukan, bukan untuk menanyakan buku-buku itu. Dia malah sepertinya senang sekali kalau buku sejarahnya masih Nona pinjam, bisa buat alasan untuk berkunjung kemari kan, mendiskusikan buku. Ia hanya bertanya apakah Nona sudah punya agenda pada besok sore. Saya menjawab tidak ada. Hanya suara teriak kegirangan yang saya dengar sebelum telepon ditutup.

Ini untukmu, Nona Carl...
Laporan penjualan hasil ladang triwulan ini. Bagian administrasi telah menyelesaikan semuanya dengan baik, pemasaran apalagi, sekarang daya media sosial sebagai alat promosi berefek di luar ekspektasi. Justru banyak transaksi berasal dari sana. Untuk bagian produksi, tidak perlu banyak dipikirkan, orang-orang yang Nona tempatkan di sana adalah orang-orang yang tepat. Pekerja keras dan inovatif. Oya, hari ini paket dari kota sudah datang, kali ini saya tak yakin isinya apa. Mungkinkah penghargaan? Entah darimana, atas  kredibilitas Nona dan semua rekan kerja pada perusahaan ini..

Ini untukmu, Nona Carl...
Semua kenyamanan, keramahan dunia yang bisa saya, kami, mereka, dan orang lain persembahkan, untukmu. Saya hanya ingin mengatakan kalau itu sangat temporal. Bukan permanen. Banyak hal yang harus Nona waspadai, harus Nona antisipasi. Bahkan dari sekarang. Nona Carl tentu tahu bahwa hidup seperti drama kan? Ia punya sutradara, mengatur semuanya. Apa yang terjadi di masa sekarang, bisa jadi tiba-tiba berubah, jauuh dari apa yang kita harapkan.

Ini untukmu, Nona Carl...
Saya bukan menakut-nakuti, tapi bisa saja Nona besok akan menyiapkan segalanya sendiri, termasuk sarapan Nona. Nona sendirilah yang akan mengurusi detail aktivitas dan kebutuhan Nona dari fajar hingga petang. Dan, tentang Tuan Lionel, bisa saja dia tidak benar-benar suka dengan Nona. Ada kemungkinan kalau dia hanya suka berkunjung kemari. Bukankah Nona pernah bilang begitu? Nona juga harus bersiap kalau mungkin satu dua pegawai Nona sakit, bagaimana dengan efisiensi perusahaan. Kalau sistem dan alat kerja tidak sesuai yang diharapkan, bagaimana nasib perusahaan kelak. Nona harus sadari, ada banyak kemungkinan yang membuat hati sesak.

Ah, maafkan kalau saya terlalu cerewet, Nona. Sungguh, saya menulis ini hanya untuk Nona Carl. Saya punya harapan, kalau suatu saat, Nona akan lebih dewasa, lebih bijak, lebih bisa berpijak...

Continue reading →