Pelangi

0
05:04



Merah jingga kuning hijau biru nila ungu yang kita pandangi itu adalah kenangan gerimis. Betapa kenangan bisa begitu indah.

0 comments:

Rental hati

1
04:55

Kamu yang kerap kali menandai hujan deras sebagai album kenangan, tersenyum-senyum di jendela kamar, apakah kamu yakin kalau bahkan dia punya fotomu dalam albumnya? Kamu yang menganggap gerimis adalah fragmen tipis pengingat hari-hari bersama, apakah kamu bisa memastikan kalau dia  ingat salah satu momen saja? Bahkan jika bagi semua, petir adalah keganasan, maka bagimu, petir barangkali lampu flip flop penerang satu dua cerita kebahagiaan.

Kamu yang sudah siap menunggu senja bahkan dari 2 jam sebelum matahari tergelincir, apakah kamu percaya bahwa waktu berharapmu tidak sia-sia? Kamu yang habiskan seratus delapan puluh derajat jarum jam bergerak mengusahakan terbaik untuknya, apakah kamu bisa jamin kalau dia akan dedikasikan satu kali putaran jarum menit saja untuk bersedia berbincang? Ada yang selalu menunggu. Selalu menunggu untuk selanjutnya mengetahui bahwa  orang yang kamu tunggu tidak akan pernah datang. Sudah kukatakan kamu bebal.

Bagimu yang menuliskan aksara tentangnya berlembar-lembar, apakah kamu bisa jamin dia pernah tuliskan namamu satu kali saja? Bagimu yang mengharu biru di mention atau di tag bersama, apakah kamu tidak sedang mencurigai bahwa dia hanya menyempatkan membuka notifikasi dan merasa tidak ada yang istimewa? Bagimu yang diam-diam berburu fotonya, apakah kamu benar-benar berpuas dengan mengaguminya dari jauh dan mengulum senyum membuka folder demi folder?

Bagimu yang pernah dibantu atau ditemani, apakah lemah lembutnya yang sekali itu lantas mewakili semua biasa-biasanya dia padamu? Oh bagimu yang mengais mimpi sendirian, renungkanlah sekali lagi, apa iya kamu akan terus-terusan menahan kilat mata itu di depannya? Apa iya besok hari, lusanya, minggu depan, bulan depan, semester depan, kamu akan secara sukarela besikap biasa saja sedang perempuan di depan sana sedang tertawa renyah bersamanya? Bagimu yang merapal doa dengan sedu sedan, apa iya kamu tetap mendoa untuknya sedang menguatkan dirimu saja kau habiskan rintih doa hingga subuh? Sadar. Kau diajarkan siapa, hah? Diajarkan siapa untuk meminjami hati?

1 comments:

#averylatepost

4
23:36


Jadi ceritanya kamu tidak mau terang-terangan. Kue ulang tahun itu malah diantar bapak O’jack berseragam kuning. Mana aku hanya disuruh menerima tanpa diperbolehkan tahu siapa pengirimnya. Yaa padahal kalau kamu sendiri yang mengetuk pintu kos, aku juga tidak terlalu menjamin berani membukanya hehe. Yang mengherankan, kamu kok sampe betah-betahnya tidak menceritakan pada siapapun, hingga tanda tentang siapa tak bisa aku eja. Hingga tanda tentang siapa, aku takut aku lupa.

Kenapa begitu bertahan hingga sekarang tidak memberitahu, kamu?

4 comments:

Enigma

0
23:25

“Kau selalu tampak sibuk kesana kemari”
“Aku tak sibuk, hanya orang lain saja yang barangkali lebih setia berada di tempat yang sama”
“Ya kan kau selalu terburu-buru, sebentar disana, sebentar di sini”
“Karena aku sedang mencari. Jangan tanya aku mencari apa”
“Kau tahu kalau itu adalah pertanyaan yang runtut selanjutnya”
“Entah, kau selalu dapat diantisipasi”
“Jawab saja”
“Kau akan tertawa”
“Aku sudah banyak tertawa seumur hidupku”
“Kau akan menganggapku sakit pikir”
“Sudah lama, hanya aku tidak terlalu mempedulikannya”
“Haha. Iya, aku lupa kalau aku tidak pernah dipedulikan”
“Ah aku bosan selalu berusaha berdamai denganmu bahkan untuk hal yang sepele”
“Tak paksa kau harus berdamai. Kau lelah, tidur saja. Pulang.”
“Kau yang harus pulang. Mau kuantar?”
“Atas keberanian macam apa aku berdebat dengan lelaki gombal macam kau”
“Oke, kau kuantar sekarang”
“Aku sedang mencari pertanda. Berkeliling mencari arah..”
“Terdengar seperti alkemisnya Paulo Coelho”
“Aku berkali-kali jatuh cinta pada barat, yang sampai sekarang aku tak tahu berbalas atau tidak”
“Kau bisa menanyakannya..”
“Aku diam-diam menunggu isyarat timur, hampir-hampir tidak terlihat bahwa aku berharap”
“Ini...”
“Kamu tahu, lama-lama aku maju mundur. Menaruh ragu pada selatan”
“Ini...”
“Semakin kebas saat kutuju utara, dia dusta sempurna, tak lagi kupercaya”
“Boleh kusela?”
“Meski aku dijanjikan hal baik oleh setiap mata angin, aku rasa pencarianku justru kini tak berarah.”
“Kusela sekarang..”
“Sekarang ini kau akan berpikir aku barusan merapal mantra”
“Terserah setelah ini kau akan seacuh apa, tapi aku sampaikan saja. Aku rasa kita sedang.. mencari hal yang sama”

0 comments:

Kepadanya, aku.

2
23:21

Pada tangis yang memekik geram
Pada muram seterang temaram
Pada sunyi yang kucipta mencekam
Aku mau katakan, aku sungguh belum lupa, tapi aku mau melanjutkan hidup

Pada hujan yang menderas
Pada hati yang sebenarnya sudah kebas
Pada ngilu yang hampir-hampir tak pernah hilang bekas
Aku titipkan bisikan, aku siap berdiri sekarang

Pada usaha yang terkepal lewat ujung-ujung jari
Pada asa yang sudah dianyam semalaman ini
Pada senyum yang sudah diulum sepenuh hati
Aku sampaikan sungguh, aku berhak atas suka citaku lagi


Bahkan pada saat aku sudah tahu ini saatnya untuk bangun, bagian tersulitnya adalah aku masih merindukanmu. 

2 comments:

kata ia, tentang jarak...

4
03:17


Untuk kamu yang percaya bahwa jarak tercipta agar rindu tetap hidup tanpa pernah redup, tolong tanyakan pada nuranimu dulu sekarang. Kau benar-benar mempercayai itu, atau kau hanya menggunakan konsep itu untuk menenangkanmu? Karena kau tak punya cara lain memandang jarak, kan? tak mau membayangkan efek terburuk dari jarak, tak mampu mengantisipasi sesuatu yang diciptakan jarak. 

Hal yang paling menyedihkan adalah berpura-pura pada dirimu sendiri.

4 comments:

Tuan, siapa?

0
02:47

Tuan, saya rasa Tuan salah orang. Tuan bahkan tidak berada di sekitar saya selama ini, mengapa Tuan berniat meminang saya? Sungguh lah saya saja terheran-heran. Bagaimana Tuan bisa mengenal orang seperti saya, yang berparas cantik pun tidak, kaya apa lagi. Sangat tidak mencolok. Darimana Tuan lantas bisa tahu saya? Teman? Kerabat? Apa yang mereka katakan? Kalau boleh saya cakap, barangkali Tuan salah dengar, atau kalau bukan karena itu, barangkali mereka sedang menjebak Tuan, dengan merekomendasikan saya untuk Tuan. Sekiranya benar, tolonglah Tuan bisa berbicara tegas kepada mereka, bukan hanya Tuan yang jadi korban, saya yang lebih jelata pastilah korban sebenar-benarnya. Saya memang bukan siapa-siapa, tapi Tuan sungguh tidak pantas berbuat main-main dengan saya.

Hari itu saya bingung dengar berita ini. Saya saja tidak kenal Tuan siapa. Guru saya berkata saya harus lebih dulu memastikan saya sudah siap atau belum untuk itu, baru setelah itu saya akan diberitahu siapa Tuan sebenarnya. Hanya sedikit yang saya berhasil temukan informasi tentang Tuan. Tuan lebih tua dua tahun dari saya, dan Tuan orang langitan. Maka seperti yang sudah saya katakan di awal, barangkali Tuan salah orang. Kata guru saya, Tuan bukan dari padepokan ini, saya semakin heran bagaimana Tuan bisa mengenal saya. Yang lebih sulit bagi saya untuk percaya adalah kenyataan bahwa semakin kecil kemungkinan saya mengetahui identitas Tuan.

Tapi di luar itu, saya sungguh ingin tahu siapa Tuan. Penasaran sekali. 

0 comments:

Masih.

0
02:45

Sampai sekarang aku masih sering merasakan gempa kecil.
Ya, gempa kecil. Kau menamakannya demikian. Pada setiap nyeri ini, aku bahkan begitu jelas mengingat katamu tentang sakit kepala. Pada setiap kesakitan ini, aku masih dengan bodoh melihat layar HP: munculkah sebuah nama  disana? Pada setiap usaha menghentikan gempa ini, bukan obat yang kucari, tapi kenangan. Sekarang gempa kecil ini terjadi lagi, kali ini, mm... rinduku, sampaikah ia?

Sampai sekarang aku masih sering lupa atau bahkan salah jalan.
Tapi bagaimana bisa untuk perkara satu itu, kamu, aku bahkan selalu ingat. Hal-hal yang tidak penting seperti kamu pernah mengatakan apa pada situasi bagaimana, kamu tidak suka makan apa, kamu akan melakukan apa pada saat seperti apa. Gang mana yang pernah dilalui beriringan, buku apa yang telah dibahas bergantian, kesempatan apa yang telah diambil bersama-sama. Kemarin ini aku benar-benar berfikir, berusaha melupakan sesuatu ternyata jauh lebih sukar daripada berusaha mengingat sesuatu..

Sampai sekarang aku masih sering memutar lagu itu, yang aku baiat sebagai theme song.
Haha, ngilu. Ini sama sekali bukan lagu sedih, yang membuat pendengarnya termehek-mehek. Tapi hingga lepas dini hari, saat aku tahu kamu—atas kehendakmu, benar-benar pergi, aku sudah tidak sadar betapa tergugunya ketika dengan sengaja kuputar lagu itu. Kini, mungkin batin yang beku membantu semua ini pulih, aku sudah baik-baik saja ketika mendengarnya. Masihkah lagu itu terdengar sama, bagimu? Oh, sebentar. Masihkah kau menandai lagu itu sebagai ... aku?

Sampai sekarang aku masih begitu berdebar dengan hanya melihatmu.
Kamu tidak akan menyangka seberapa sering aku ambil jalan memutar ketika kamu, tanpa aba-aba, melintas di sudut mata. Aku sungguh tak pernah membayangkan skenario macam apa saat aku benar-benar harus berjumpa denganmu. Bingung berkata apa saat bertemu, apakah hanya akan menanyakan kabar, menyoal tentang nasi telor sekarang harganya lima ribu, atau buku-buku yang masih kau pinjam. Ah, yang jelas aku toh tak akan berani berbincang tentang kemarin. Bagimu hiburan, bagiku siksaan.

Hingga aksara-aksara ini dibaca, aku tahu aku belum pulih benar tentang hal ini. Atau kalau kau pikir aku telah sembuh, maka aku hanyalah aktor yang dengan pahit berhasil melakoni peranku: kebohongan. 

0 comments:

Lampu dan Lilin

0
00:15

Kau hanya berikan lampu 5 watt. Ku butuh lebih dari temaram itu. Kau tak adil. Telah kusediakan ruang yang lebih besar daripada yang hanya bisa kau terangi dengan 5 watt. Tapi kau berhenti hanya dengan bola lampu 5 watt. Kau juga hanya sediakan pendar cahaya lilin kecil di sudut lain ruangan. Ah, ternyata bahkan lebih buruk dari 5 watt tadi. Kukira kau punya lilin yang cahayanya lebih terang. Atau dengan penuh harap, lampu seterang neon 20 watt.

GELAP.

GELAP..

GELAP…

Aku tak bisa lihat apa-apa, termasuk dirimu. Hanya, aku sadar akan sesuatu. Lampu 5 watt mu makin lemah cahayanya. Lalu tiba-tiba konslet, dan….pet! Mati. Lilinmu jauh lebih malang. Dia begitu cepat meleleh, dan.…pet! Mati.

Mati.

Toh, sesaat lagi aku juga akan….pet!

MATI.



0 comments:

Mengembalikan Bukumu..

0
18:10

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Sebelum kau menagihnya lagi. Aku sudah meminjamnya sekitar satu semester yang lalu, jelas harus sudah kukembalikan. Kemarin kau hanya menanyakan buku itu apakah ada bersamaku atau tidak. Itu seperti berbunyi ‘oh kamu yang meminjamnya’. Kau berujar ‘dikembalikan kalau sudah selesai baca saja’ tapi bagiku itu terdengar seperti ‘aku tak yakin kau akan sanggup membacanya sampai habis’. Jadi, target hidupku paling dekat ini adalah membaca buku pinjamanmu. Buku itu, aku bahkan belum sempat mengetahui isinya. Kamu, aku bahkan belum sempat mengetahui hatimu.

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Meskipun benar-benar menambah ilmu, buku ini berat sekali. Aku harus membacanya 3-4 kali baru aku paham, atau bahkan membuka lembar-lembar sebelumnya demi sampai pada pemahaman yang benar di belasan halaman selanjutnya. Rentetan-rentetan konsep dengan sedikit penjelasan. Ada beberapa tabel yang sebenarnya berfungsi untuk memfasilitasi agar pembaca mengerti, tapi menurutku malah mendistract, semakin pelik saja isi buku ini. Maka jangan tanya gambar, foto-foto untuk mengilustrasikan pun hanya 2 cm x 2 cm dan abu-abu. Kamu memang sudah mengingatkanku sebelumnya kalau buku ini agak serius, hmm itu justru semakin membuatku penasaran ingin membacanya, dengan serius.

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Karena mungkin ada yang akan segera meminjam buku ini. Melihat-lihat isi perpustakaan kecilmu, memperbincangkan beberapa judul buku, dan mendiskusikan isinya. Membuka lembar demi lembar hanya untuk kemudian memilih satu buku untuk dipinjam. Begitu setiap kalinya berhadapan dengan rak-rak buku. Akan ada peminjam lain yang kalau aku boleh terka, untuk dia koleksi buku-buku ini kau tata rapi. Kau sudah menantikannya meminjam satu dua bukumu. Bagaimana aku tidak sampai tahu? Setiap bertemu dengannya di gerbang perpustakaan, setelah itu pula aku dapati kamu bersenandung dan terkekeh di sela-sela rak. Awalnya aku kira kamu bahagia ada peminjam koleksi buku yang datang, atau dengan terlalu percaya diri, bahagia aku datang. Tapi salah. Aku baru sadar setelah tahu polanya.

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Takut kalau rak ku bocor dan buku yang tidak kau sampuli ini akan basah. Takut kalau ketika kubawa kemana-mana akan hilang, atau tertinggal di beberapa tempat aku bersila dan membaca buku. Walaupun selama ini aku jaga benar. Kau boleh saja tidak tahu, tapi pinjaman adalah pinjaman, bagiku ia adalah amanah, terhadapnya aku tidak boleh ceroboh. Yaah perlu kusampaikan bahwa aku tidak terlalu pandai menjaga barang, hilang dan rusak adalah akhir dari takdir barang-barangku. Aku jelas tidak seharusnya melakukannya pada buku milikmu kan? Walaupun sekarang ini sungguh aku sangat ingin melakukannya.


Barangkali aku memang harus segera mengembalikan bukumu. Terlalu lama membuat buku ini ada di tanganku percuma saja. Iya, aku tidak sedang memperbincangkan isi buku, semua jenis buku toh bermanfaat, jelas ada gunanya barang siapa membacanya. Aku sedang mengatakan bahwa buku ini kepemilikanmu. Itu yang akan sangat sia-sia jika masih berada di tanganku hingga sekarang. Tenaga yang aku siapkan untuk berargumen seperti biasanya saat mendiskusikan isi buku, sepertinya harus dialihkan untuk hal lain. Bagian tersulitnya bukan pada aku tak bisa memperkaya ilmu, tapi pada bagaimana kau percaya bahwa aku bilang baik-baik saja untuk tidak bercengkerama lagi denganmu. Ah, tak yakin apakah aku hanya akan mengembalikan ini dan dengan mudah meminjam buku lainnya, atau sekarang adalah kali pungkasan aku meminjam buku, darimu.

0 comments:

Jalanku Masih Panjang*

0
18:08

Wahai perasaan
Kau buat pagiku jadi mendung, soreku jadi kelam
Kau buat siangku jadi gelap, dan malam semakin gulita
Kau buat beberapa menit lalu aku gembira,
untuk kemudian bersedih hati

Wahai perasaan
Kau buat aku berlari di tempat
Semakin berusaha berlari, kaki tetap tak melangkah
Kau buat aku berteriak dalam senyap
Kau buat aku menangis tanpa suara
Kau buat aku tergugu entah mau apalagi

Wahai perasaan
Kau buat aku seperti orang gila
Mengunjungi sesuatu setiap saat, untuk memastikan sesuatu
Padahal buat apa? 
Ingin tahu ini, itu, untuk kemudian kembali sedih
Padahal sungguh buat apa?

Wahai perasaan
Kau buat aku seperti orang bingung
Semua serba salah
Kau buat aku tidak selera makan, malas melakukan apapun
Memutar lagu itu2 saja,
Mencoret2 buku tanpa tujuan
Mudah lupa dan ceroboh sekali

Wahai perasaan
Cukup sudah
Kita selesaikan sekarang juga
Karena,
Jalanku masih panjang
Aku berhak atas petualangan yang lebih seru

Selamat tinggal
Jalanku sungguh masih panjang....


*sebuah prosa dari Tere Liye

0 comments:

Buronan Akhirnya Tertangkap!

0
18:03

Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang-orang yang dengan tulus mendoakanmu. Berharap kau sehat, selamat, terhindar dari segala mara bahaya, terhindar dari celaka, terhindar dari godaan syetan dan belenggu nafsu. Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang yang dengan diam merindukanmu. Kangen tapi gengsi mengakui. Ingin bertemu, tapi ragu janjian. Sekarang ini, tepat sekarang ini, banyak orang yang dengan sukarela memikirkanmu, mengasihimu dengan sederhana, atau menyayangimu dengan begitu dalam namun pakewuh berucap. Lafadzkan tahmid dulu..

Sepuluh hari yang lalu, aku izin Ibuk untuk pergi ke Kerawang, menengok teman yang sakit. Alhamdulillah dapet ‘yes’. Walaupun sambil ditanya ‘mulihmu kapan?’ tapi tidak ada nada terlalu berharap di sana, apalagi memaksa. Mengunjungi rumah teman dan menatap ibu mereka masing-masing, sedangkan yang disuruh pulang berjumpa ibuk sendiri malah hanya selalu berjanji saja akan segera pulang. Lima hari yang lalu, ibuk sms jadi pulang kapan, sekalian minta tolong urus administrasi Fiqi di UGM. Karena punya alat berkelit, hanya perihal urusan administrasi yang kubahas. Tiga hari yang lalu, ibuk telpon bertanya banyak hal, hanya bagian kecilnya saja yang tentang ‘mau pulang hari apa’.

Dua hari yang lalu, pagi jam 6 ibu menelpon dan memintaku pulang. Kali ini berhasil, Kawan. Bagaimana tidak? Ibu punya serdadu, om Nano namanya. Beliau ini lalu dari jam 7 sudah ada di depan kos, menunggu gusar di dalam mobil. Sudah mengelak, sudah mencari alasan (duh durhakanya), sudah menunda (dengan mencuci, aku pikir ini akan manjur karena nyuci kan lama, bikin males nungguin). Tapi manalah bisa melawan. Om Nano menelepon lagi, Ibu menelepon lagi. Om Nano kirim Fika, yang dalam hal ini bukan lagi anaknya, tapi serdadunya (hehee), ke lantai 3. Sepertinya sudah saatnya menyerahkan diri. Baiklah, buronan sudah terkepung.

Bukan karena apa-apa tak mau pulang, tapi seperti belum saatnya pulang, bagaimanapun kerjaan hasil dari menunda menuntut untuk segera dibereskan. Hutang-hutang yang belum terlunasi.  Siapalah yang tidak mau rehat, ini liburan semester, memang waktunya pulang. Tapi perbuatan-perbuatan ini harus kupertanggungjawabkan. Membayangkan pulang pekan ini saja tidak bisa, apalagi berani merencanakan. All things can be messed up if I do. But, here I am. Beralih dari kota yang penuh tekanan ke kota yang penuh makanan. Banjarnegara.

Mangkel. Yang biasanya kalau pulang itu suka cita, ini nggak ikhlas bingits. Ibuk manalah paham apa yang harus aku lakukan di sini, banyak yang harus segera diselesaikan. Organisasi, proposal skripsi, persiapan MoU sama sponsor, permintaan bantuan dari teman, pembayaran SPP dan KRS. Tak bisakah ijinkan untuk selesaikan ini sebentar? Toh kemarin semua ini tertunda karena ngurus administrasinya Fiqi di UGM. Tak bisakah lihat posisi si sulung barang sedikit saja? Diem sama dongkol di mobil. It’s like there’s no way escape. All things have been messed up now.

Aku cari pemahaman baik dari penggerebekan ini, susah sekali ketemu. Manusiawi kan, yang ingat hanya negatifnya saja. Sesampainya di rumah, ketika mangkel sudah melunak, aku mulai menulis. Korban penculikan ini masih belum legowo, tapi dia biarkan hatinya merumuskan sendiri.  Aku yakin ibu atau bapak kita, tahu siapa anaknya. Sudahlah lancang saat aku pikir mana paham mereka dengan kita. Seberapa tidak kelihatan pedulinya mereka, seberapa mereka tidak menanyakan aktivitas kita di tanah rantau, seberapa tidak mengatakan apa-apa ketika dengarkan cerita. Bukan, bukan karena mereka tidak paham. Dalam beberapa hal, pemahaman mereka jauh lebih kompleks daripada pertimbangan kita macam apapun, sendakik-ndakiknya. Tapi kalau sudah urusan rindu, Ibu hanya punya pemahaman sederhana bahwa “Kau adalah anakku, Nak. Jika kuminta kau pulang, memang sudah waktunya kau pulang.”


Kalaupun adegan penculikan kemarin diejawantahkan dengan gamblang, mungkin akan seperti di atas. Sayangnya, bapak ibuk kita kerap kali sungkan menunjukkan rindu, barangkali kita yang harus bisa peka terhadap tanda-tanda rindu itu. Iya, tanda-tanda rindu itu termasuk ketika kita pulang, ibuk sibuknya luar biasa memasakkan semua kesukaan, kalau bukan karena aku harus mencuci piring setelahnya, hihi, mungkin sudah kuminta semuanya. Orang tua kita, barangkali mereka punya cara yang berbeda saat mengungkapkan rindu: tidak berkata :’)

0 comments:

Percobaan Fiksi Fakta

0
05:10

“Kita berteman. Berteman yang seperti ini. Aku tidak malu mengakui kalau kita sedang bergerak ke arah yang sama. Walaupun aku pikir titik temu kita, itu.. aku pun masih belum jelas melihat, aku pikir aku mengharapkan itu terjadi”
“Maka sudah, tetaplah seperti ini”
“Aku rasa ini tidak benar. Bagaimana bisa kita menyemai padahal belum saatnya?”
“Pasti akan datang saatnya, Fara..”
“Hingga saat itu, aku akan menyimpannya di tempat yang rapi, yang tidak usah kita bicarakan lagi,”
“Kita akan sama sekali tidak berkomunikasi setelah ini.”
“Bukan, justru kita tetap berkomunikasi, tapi jangan pernah membuka ini lagi. Bukan putus silaturahim, Lang, tapi mengenai hal satu itu, ah kita sebelumnya harus sepakat dulu untuk menyimpannya kan?”
“Baiklah. Tapi kalau kita bertemu, apa yang akan..”
“Biasa saja, sewajarnya. Aku punya klakson untuk bisa menyapamu saat di atas motor, aku bisa berbincang tentang kota kelahiran kita atau hobi masing-masing saat tidak sengaja tatap muka. Asal kita menghindari topik satu itu..”
“Aku mengerti, aku akan menyimpannya di tempat yang sangat rapi.”
***

Kupegang ponselku lebih erat, ponsel ini hampir saja lepas dari tanganku ketika bapak supir mengerem mendadak barusan. Ada Ibu pengendara sepeda motor yang tiba-tiba menyeberang. Ibu itu bukan hanya sukses membuat ponsel ini hampir jatuh tapi juga membuyarkan lamunanku atas kejadian setahun silam. Aku mulai jengah, berperjalanan sendirian seperti ini sangat mudah membuat fikiran kemana-mana.

Lagi-lagi kenangan itu. Percakapan yang hanya tersampaikan melalui SMS. Pengakuan yang apa adanya, namun berbuntut panjang. Mengakui saling suka, dan mencoba menyimpan. Apa-apaan ini? Sama saja artinya menjalin kasih tapi tidak bertemu, toh kita sama-sama saling menjamin bahwa hati kita sudah dimiliki satu sama lain. Bersikap sewajarnya? Sikap barangkali bisa wajar, rasa yang tidak. Bagaimana bisa aku berfikir kalau pertemuan di gerbang fakultas tidak membuatku berdebar setengah mati? Bagaimana mungkin aku berfikir kalau membalas pesanmu, aku rasanya ingin mengungkap hal lain yang tidak boleh kita bincangkan. Janji macam apa?

Aku keluarkan permen karet dari dalam tas. Setidaknya selain melihat ke luar jendela lalu melamun, aku punya pekerjaan lain. Mbak-mbak di sebelah tempat dudukku sedang pulas, aku bersyukur tidak usah basa basi menawarinya. Terakhir kali aku menawari permen karet pada penumpang sebelahku, dia anak 7 tahunan, tersedak dan malah menelannya. Sang ibu menggumam-gumamkan kemarahan padaku sambil menepuk-nepuk punggung anaknya. Bis jurusan Jogja-Solo yang kutumpangi sekarang sudah masuk Klaten. Dia, ada dimana? Sudah lama tidak melihatnya, melihatnya pun tidak, apalagi menyapa, apalagi berbincang. Gilang. Bagaimana kabarnya? Hh, bodoh, kenapa malah ingin tahu kabarnya..

Hampir satu tahun yang lalu itu terjadi. Mau tidak mau aku memanggil memori itu lagi. Sangat mudah menemukannya, akhir-akhir ini. Aku tak paham benar mana awalnya, tapi kami kenal di SMA. Ya, aku dan Gilang bersekolah di SMA yang sama. Semuanya biasa saja, menurutku, karena kita benar-benar teman. Kecuali karena kita saling bercerita, tak ada yang istimewa. Tapi aku melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi yang sama denganku, ah atau sebaliknya. Hanya beda fakultas, hanya beda disiplin ilmu. Seperti layaknya mahasiswa rantau lain, mereka punya kecenderungan untuk, yaah dekat, dengan mahasiswa lain yang berasal dari daerah yang sama.

Dan lalu semuanya mengalir, hampir begitu saja mengalir. Komunikasi lewat sms dan chat, obrolan langsung yang singkat, sering papasan di jalan. Perasaan nyaman yang wajar dirasakan ketika saling nyambung, membuat kami semakin dekat. Saat itu, jangan pun berbicara tentang rasa, menyinggung pun tidak. Kami sih sok profesional. Tapi, barangkali awal merah jambu menjadi nyata adalah saat ulang tahunku di penghujung tahun. Sampai pada ingatan ini, aku terkekeh sendiri. Rasa permen karet stroberi yang kukunyah sekarang sangat manis. Gilang memberiku sekotak roti dan... setangkai mawar merah segar! Dasar melankolis, pikirku. Aku tak berani bilang ke siapapun kecuali salah seorang sahabatku di kelas. Dia justru yang jejingkrakan kegirangan dan dengan tak sabar meminta aku menceritakannya. Dia protes karena aku tampak datar-datar saja. Tapi tahukah, aku bahkan bingung mengartikan dua benda ini. Apa ini? Maksudnya? Roti barangkali wajar. Bunga??

Aku tersenyum dan membenarkan letak dudukku. Masih satu jam setengah untuk sampai ke kota kelahiran. Setelah kilas balik tentang roti dan bunga, memori ini lalu mengurai komunikasi-komunikasi itu. Mulai dari papasan di bawah pohon flamboyan lalu salah tingkah,  hingga chat facebook yang dibiarkan tertulis “Fara is typing....” Lang, kamu tidak tahu kan, sulit benar aku pilih kata-kata. Bukan, bukan agar kau menyukainya, bukan agar kau setuju dengan apa yang aku sampaikan. Hanya, aku takut kalau semuanya akan menjadi jelas, perasaanku. Salah-salah bisa keceplosan dan diluar batas. Hm, kejadian-kejadian ini terus mengalami repetisi. Dulu, cinta adalah sesuatu yang aku rasakan hanya di pandangan pertama, aku tidak tahu aku bisa terbenam perlahan.

Bis mengerem mendadak. Buyar lagi. Kali ini faktor penumpang. Seorang bapak tergopoh-gopoh turun setelah sebelumnya mengetuk-ngetukkan uang logam ke kaca bis. Mas kernet memaki. Aku membolak-balikkan ponselku, kubuka kunci layar, kututup lagi. Hingga lampu layar padam, kubuka kunci lagi, lalu menunggu hingga layar mati dan terkunci, baru aku buka lagi. Aku tidak tahu bagian mana yang membuatku paling gusar, toh bersahabat dengan kenangan manis seharusnya membuat lebih tenang. Tapi menurutku, ada sesuatu yang salah di sini. Yang kupikirkan satu bulan terakhir. Janji itu..

Kali ini aku benar-benar membuka layar kunci dan masuk ke pesan. Mencari namanya di daftar pesan semudah mencari namanya di rekaman memori. Aku runut satu persatu, beberapa pesan kubaca berulang-ulang, sisanya ada jarkoman event kampus atau lomba-lomba fotografi. Gilang suka sekali hal itu, terkadang satu dua jepretan dia bagi di jejaring sosial. Tajam dan punya makna, setidaknya itu penilaian dari seorang yang tak tahu apa-apa tentang fotografi.

Aku sudah hampir menuliskan pesan kalau tidak ditanyai oleh mbak yang duduk di sebelahku. Dia bertanya sudah sampai mana. Dari sejak naik di Babarsari, mbak satu ini tidur pulas. Dia lalu berujar bahwa tujuannya masih jauh dan dari tingkahnya membenarkan posisi duduk, sepertinya ia akan melanjutkan tidur. Benar saja, sambil memeluk tas punggungnya, ia mengatupkan mata lagi. Apa yang mau kutulis barusan? Aku menghela nafas, dalam. Udara di dalam bis tidak terlalu pengap, aku duduk di belakang mas kernet, sirkulasinya bagus. Kupandangi lagi layar HP, pointer sudah ada di bagian ‘enter message’. Apakah aku, benarkah tidak apa-apa jika sekarang mengiriminya pesan?

Kutekan-tekan tombol Undo hingga akhirnya layar utama yang tampil di depanku. Kukunci layar. Menghela napas lagi. Tapi tidak, sekarang ini barangkali memang waktu yang tepat mengungkapkan padanya. Sekarang ini, barangkali waktu yang tepat untuk berkirim pesan. Sekarang ini, setelah sudah tidak bertemu lama sekali. Sekarang ini, di perjalanan yang membuatku mengingat semuanya. Sekarang ini, barangkali tidak ada waktu yang sesempurna sekarang ini.

“Gilang. Apa kabar? Lagi dimana sekarang?” Daripada hanya menanyakan kabar dan menanggung resiko Gilang tak membalas—meskipun ia bukan orang yang dengan mudah mengabaikan SMS, kutambahkan pertanyaan tadi.

“Aku sehat. Kamu gimana? Lagi di Solo, di stasiun..”

“Mau ke Jogja? Aku malah baru mau pulang, hehe, kita slisipan ya” Aku lebih suka meninggalkan kalimat tanpa tanda baca kalau itu bukan kata tanya. Janggal saat melihat beberapa orang memilih menggunakan tanda titik di akhir kalimat yang seperti ini. Titik dua atau tiga tidak masalah, tapi bagiku titik satu seperti segera ingin mengakhiri SMS, atau tidak terlalu berkenan dengan apa yang orang lain sampaikan hingga dia menambahkan titik satu disitu, ketegasan.

“Haha, iya :D” Emotikon. Cukup titik dua dan satu huruf itu, atau kalau tidak titik dua tutup kurung, maka sepertinya semua akan tampak baik-baik saja. Kali ini, apakah Gilang mungkin juga sedang berpura-pura? Ah, prasangka..

“Lagi sibuk nggak, Lang?”
“Enggak, lagi baca novel aja kok. Gimana?”
“Mm bukan, maksudku, dalam waktu dekat ini ada agenda apa gitu, di kampus? HIMA lagi sibuk nggak?” Gilang adalah ketua himpunan mahasiswa di jurusannya. Aku tahu aku mungkin sering mengganggunya bahkan saat dia ada agenda, SMS-SMS tidak penting. Bodoh, tetap saja dia layani.

“Enggak kok, lagi baru selesai ngadain acara minggu kemaren. Kenapa, Ra?”

“Kalo kuliah, ada ujian nggak waktu deket ini? Project dari dosen gitu, misalnya? Ada nggak?” Ada hal penting yang aku ingin katakan, aku harus memastikan kalau rentang waktu dekat ini dia tidak sedang disibukkan oleh sesuatu. Barangkali aku yang mendramatisir, berlebihan hingga sampai bertanya seperti itu. Gilang mungkin heran, maunya apa anak satu ini? Bertanya sebegitu detail.. Pesan alasan darinya datang setelah 5 menit SMSku padanya tadi terkirim.

“Fara? Ada apa to? Aku nggak lagi sibuk ujian kok, kemarin kan minggu mid-term, ingat?”
“Okee. Gini Lang, ada yang aku sampaikan. Boleh?”
“Boleh. Menyampaikan apa, Ra?”

“Ini tentang isi SMSan kita satu tahun yang lalu, iya bulan Maret tahun lalu. Kita bikin janji buat nyimpen rasa suka itu, hingga saatnya nanti datang, kita baru boleh membukanya. Kan? Aku akhir-akhir ini berfikir kalau ini tidak benar. Kalau seperti ini, berarti kita sudah saling ngecim. Bahwa aku harus denganmu, dan sebaliknya. Padahal Lang, bagaimana kita bisa dengan mudah menentukan semua itu? Jodoh.. ada di tangan-Nya.”

Tak sadar badanku bergetar menuliskan kalimat terakhir di SMS itu, 4 layar. Sesak sekali rasanya. Iya, satu bulan terakhir ini aku berfikir untuk mengatakannya. Berfikir keras bagaimana aku akan mengatakan dengan benar. Harus bertemukah? Atau aku telepon saja? Tapi justru sekarang aku hanya mengiriminya pesan. Pengecut memang. Aku kecut kalau bertemu, aku semakin tidak bisa mengatakannya. Aku kecut kalau menelepon, nada suara tetap tidak bisa dihobongi. Hei, aku butuh berpura-pura tegar mengatakan hal barusan. Aku butuh berpura-pura kuat dan dewasa.

Kutangkupkan ponsel di tanganku. Belum ada nada getar. Gilang belum membalas. Aku edarkan ke jendela. Mataku sudah berair, aku hanya berharap tidak tergugu di sini. Memalukan, menangis di dalam bis. Seperti anak yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya di pasar. Sudah masuk Solo. Sebentar lagi aku sampai. Mungkin sebentar lagi Gilang berangkat.

Aku terkesiap, ponselku bergetar. “Maaf Fara, aku membuatmu seperti ini. Maaf atas kesalahanku selama ini.. Lalu, menurutmu sekarang bagaimana? J” Emotikon lagi. Sok benar dia. Gilang pikir titik dua kurung tutupnya kelihatan emotikon smile? Justru sekarang ini tampak mengerikan. Paradoks.

“Hanya kamu yang salah? Aku juga, Lang. Aku bahkan setelah memendamnya, lalu memupuknya dan berharap yang aku tanam itu, akan bersemi. Aku minta maaf sudah mengatakan ini, takut benar kalau kamu tersinggung” Aku sudah tekan tombol “Send” dan baru menyadari aku belum menanggapi satu pertanyaannya. Apa yang dirasakan Gilang sekarang ini? Perasaan sejatinya sekarang, seperti apa?

Aku yang mengatakannya lebih dulu. Maka jelas, aku yang harus mengendalikan. Aku tahu aku harus mengendalikan perasaanku sebelum dengan begitu yakin menyampaikan ini pada Gilang. Ah, bohong benar. Sekarang kristal-kristal itu sudah meleleh, berjatuhan di layar ponsel. Aku menengadahkan kepala, sekarang apa? Aku juga tidak tahu harus bagaimana, Lang. Kenapa bahkan kau tidak coba untuk menyanggah apa yang aku sampaikan? Mengatakan bahwa apa yang aku bilang salah adalah benar, mengatakan bahwa kita yang seperti ini sudah benar adanya, mengatakan bahwa tidak ada yang harus direvisi dengan janji kita tempo lalu.

Gilang membalas pesanku, kali ini tidak terlalu lama. “Fara... J Terimakasih atas selama ini. Aku tidak apa-apa, kamu juga baik-baik saja kan? Apa yang Fara inginkan sekarang?” Apa-apaan lagi ini? Apa yang aku inginkan, hah?? Sekarang aku menginginkanmu, Lang. Kah kau tidak tahu? Aku mendongakkan kepalaku lagi, sekarang air mata sudah bergulir besar-besar. Sesak sekali rasanya, tapi harus kutuntaskan..

“Dulu kita menyimpannya, mengubur di tempat yang kita sama-sama tahu. Sekarang lebih baik, kita buang jauh-jauh, dipendam di tempat yang kita tinggalkan tanpa tanda. Biar saja bila tidak ditemukan, toh ada yang lain yang akan menemukannya. Kita hidup masing-masing”
“Menurutmu begitu lebih baik?”
Dia mengujiku, tapi sudah terlalu jauh untuk berbalik. “Iya.. J Bagaimana?” sekarang giliran aku yang membuat kepalsuan. Emotikon yang paradoks.
“Aku setuju. Semoga kita bahagia di hidup kita masing-masing. Sukses..”

Saat ini aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa. Berpura-pura baik-baik saja dan tetap mengamini? Tugasku sudah selesai, membuatnya bersepakat dengan apa yang aku ungkapkan. Kuusap sudut-sudut mataku. Aku tidak tahu ujungnya akan seperti apa nanti, apakah benar-benar tidak ada interaksi sama sekali, bilakah ada pasti akan sangat canggung. Aku belum bisa membayangkan apakah masih bisa tersenyum dan mengklaksonnya saat bertemu di depan gerbang fakultas.

Ponselku bergetar lagi. Kubuka layar kunci. Gilang. “Ra, Sherlock Holmes yang series kemarin, sudah ada lanjutannya lagi belum? Aku baru punya yang ke-4..”

Apa yang kau inginkan sekarang, Lang? Mencoba berdamai dengan perasaan? Kau saja. Aku belum. Aku masih susah payah mengelap pipi, membersihkan sudut mata, membersihkan layar ponsel yang basah. Bagaimana bisa secepat itu mengalihkan topik, seolah sms yang aku kirim barusan hanya “Harga nasi telor sekarang naik jadi lima ribu..” Kamu ingin aku membalas apa?

Memang baru sampe 4 kok, Lang. Mungkin yang selanjutnya belum release, kemaren aku cari juga belum ketemu.. Biasa download dimana?”
“Minta dari temen kos, hehe.. Udah sampe rumah, Ra?”
“Ooh, dia suka Sherlock Holmes juga? Belom, ini baru turun dari bis Solo, ganti bis” Aku sudah turun dari bis tadi, mencari bis kecil untuk melanjutkan perjalanan ke rumahku. Terminal ramai sekali tapi bis menuju ke daerahku tidak ada satu pun.
“Eh Ra, udah dulu ya. Keretaku datang..”

Aku mematung. Bulir air mata itu mengalir lagi. Keretaku datang.. Aku sampai dan dia berangkat. Kucari keranjang sampah dekat tempatku berdiri, membuang permen karet stroberi yang dari tadi kukunyah. Sekarang sudah tidak legit. Pahit.
***

Mb ma, beberapa puzzle memang tak sama, hanya ini yang bisa kulakukan untuk mendokumentasikan.. 

0 comments:

Obat Batuk: Jeruk Nipis

0
04:55


Sudah satu minggu lebih 2 hari saya batuk sengal. Banyak yang bilang ini batuk alergi, tapi sepertinya bukan. Panas dingin tetap batuk, sedang atau tidak sedang di luar ruangan (debu), tetep juga. Kadang, saking nggak berhenti-berhenti, dada atau perut rasanya kejang nahan batuk yang alay ini. Beberapa kali memang harus keluar ruangan karena tidak enak hati membuat polusi suara yang berulang-ulang. Ketika menjelang tidur, batuk ini terdengar merdu menggelegar di kamar selantai 3. Hihi. Kemarin kemarin sudah pernah periksa, tapi karena pas barengan sama radang, jadi saya minta tolong sama dokternya, yang disembuhin radang dulu. E.. malah jebul watuke ndadi..

Beberapa kali kena batuk, memang seperti ini. Long lasting dan sengal. Jadi langganan obat karena saking nggak tahannya. Kasus batuk alay ini pernah menyerang sekitar bulan September 2013 juga. Agustus dan September 2013 adalah bulan dimana kamar kos saya berpenghuni dua dan/ atau tiga orang. Saya (jelas), adek, dan adek sepupu. Mereka berdua nunut, maklum mahasiswa baru. Mereka dengan terpaksa menjadi saksi fenomena batuk sengal ini. Fiqi cerewet meminta saya untuk istirahat, tapi apa boleh buat, itu sudah saya lakukan, kebanyakan tidur malah (plaaak). Dia meminta saya untuk beli obat, saya bahkan sudah membeli obat dua produk, Actif*d dan OB H*rbal, meminumnya dengan rajin dan semangat, tapi apa boleh dikata.. tidak sembuh jua.

Pagi itu Fiki dan Fika pamit beli sarapan, eh sepulangnya bawa sepuluh biji jeruk nipis. Haha, aku inget benar cerita mereka saat mencari tukang sayur, belum dengan proses tawar menawar konyol yang dua dedek ini lakukan. Iyap, jeruk nipis adalah menu andalan ketika sedang batuk, tapi kalo kasusnya saja sampai ketika batuk semua anggota badan gerak kayak ini, apa ya masih ces pleng. Saat itu, saya cuek dan skeptis, obat modern saja tidak mempan, bagaimana dengan jeruk nipis yang jelas jelas woles kerjanya.
Tapi teman-teman, besoknya batuk alay saya lumayan. Satu dua kali memang masih sama batuknya kering dan nggak brenti-brenti, namun setelah pagi menjelang, saya merasakan bahwa batuk ini mulai amoh, dahaknya mulai ada. Setengah jalan menuju kesembuhan! Actif*d dan OB H*rbal yang sudah satu minggu ini menemani seperti jadi pecundang. Mereka kalah hanya dengan ramuan herbal jeruk nipis dan kecap. Dua obat-obatan apotik itu kalah dengan dagangan di warung sayur.

Rekan-rekan yang berbahagia, postingan ini, sungguh bukan bermaksud mengunggulkan obat herbal sebagai ramuan yang manjur, juga bukan mau promosi jeruk nipis sebagai obat batuk yang mujarab ketimbang obat-obatan kimia. Hanya, saya ingin bercerita kalau saya punya adik yang meski selalu membuat saya iri, dia begitu menaruh perhatian pada kakaknya. Entah kalau sebenarnya dia hanya enggan mendengar batuk sengal ini setiap malam dia menginap. Hehe. Saya hanya ingin berbagi kepada para kakak sedunia, betapapun kita merasa telah mandiri, ingat bahwa berpura pura kuat tidak menghalangi orang mengetahui kondisi pribadi kita. Betapapun kita yang paling tua, paling besar, jangan kira bahwa adik-adik kita tidak pernah peduli dan menyayangi. Betapapun kita merasa harus melindungi dan mengambil tanggung jawab atas semua, ada banyak kelemahan yang ada pada diri dan sudah selayaknya terbuka menerima bantuan.

Terima kasih, adik. Adik seluruh dunia, kalian bahkan melakukan hal yang tidak pernah kakak kalian ajarkan. Kalian bahkan memberi hal yang tidak pernah kakak kalian hadiahkan :))

0 comments: