Showing posts with label celoteh. Show all posts

Merasa tidak pantas

0
06:52

Aku tidak setuju pada orang-orang yang meninggalkan orang terkasihnya dengan alasan ‘tidak pantas’. Seberapa pantas ukuran pantas? Seberapa penting takaran pantas bagi mereka yang ingin bersanding? Aku dulunya berfikir, orang-orang itu naïf. “Kamu terlalu baik buat aku…” Bah. Kalau kau pernah dengar itu di serial TV atau film layar lebar, setidaknya bersyukurlah tak harus mendengarnya langsung. Pernah saat sedang makan bersama teman, aku dengar dari balik punggungku, laki-laki mengatakan hal itu pada gadis di depannya. Rasanya tentu sakit, mana yang lebih sakit daripada sudah mengusahakan hal baik pada seseorang (walaupun aku yakin pasti mbak ini sebelumnya tak pernah menganggap apa yang ia lakukan adalah ‘sebuah hal baik’ karena ia hanya melakukannya begitu saja), tapi lalu orang itu bertindak seolah kebaikan adalah… kesalahan. Kau pasti rasanya ingin berbuat jahat saja lalu masuk penjara agar kau tak usah mengenal klausa aneh ‘kau-terlalu-baik-buat-aku’.

Tapi sekarang aku bisa paham bagaimana rasanya merasa tidak pantas. Wujud perasaannya bisa macam-macam. Saat seseorang sering mengirimkan pesan, misalnya, aku akan berfikir, “Oh mungkin karena memang ada butuhnya..” atau “dia hanya mengacak daftar kontak dan kebetulan menemukan namaku” atau pada waktu-waktu tertentu, “dia mungkin forward pesan ini ke banyak orang juga, kan?” Saat lalu seseorang mengajak bertemu, “Jangan salah sangka, dia hanya butuh telinga” Bahkan ketika pada suatu hari aku menyadari kilat matanya, masih saja sosoan geleng-geleng, “dia… kepadaku? Haha. Lelucon macam apa, gadis bodoh?”

Denial? Sort of... aku hanya merasa kamu terlalu tinggi untuk diraih. Aku merasa kamu adalah kemungkinan paling tidak mungkin yang aku punya. Aku merasa takut kamu hanya main-main, kamu hanya mendekat sebentar, tapi kemudian terlupa. Aku merasa takut kalau burukku kau anggap di luar keniscayaan, khawatir sekali nantinya lebihmu tak bisa maklumiku. Aku sangat takut dan merasa tidak pantas, hingga tak sadar aku menarik diri.

Ini bukan artinya aku hanya menyoal tentang perasaan diri sendiri, aku bukan tak peduli apa dan bagaimana yang kamu rasakan. Justru karena aku terlalu fikirkan, rasanya seperti berkali-kali ingin mengumpat, merutuki diri sendiri, berani-beraninya mengeja rasa pada orang sepertimu. Hampir setiap saat menaruh tanya, apakah yang aku lakukan di depanmu benar atau tidak, apakah tadi bajuku terlihat kusut, apa aku tertawa terlalu keras, apa aku kelihatan…. terlalu bahagia jika bersamamu?


Tidak enak menjadi terlalu hati-hati; merasa tidak pantas membuatku waspada, terlalu antisipatif sehingga yang sangat aku benci, tidak berani sekedar menunjukkan ‘aku’ kepadamu. Perasaan tidak pantas ini sebentar lagi mungkin akan membuatku berjanji untuk menyerah. Tapi peliknya, hatiku masih ada di tempat semula.

Continue reading →

Surat Balasan dari Nemo di tahun ke-24

1
18:22


Aku sudah baca surat-suratmu. Kecewa beberapa surat yang kau tulis justru kau sebarkan, ku kira kamu masih rapi menyimpan semuanya, ya surat, ya rasa. Sekarang, tahu? Aku mudah mengetahui kau sedang dimana, kau sedang mengerjakan apa, kau sedang... dekat dengan siapa. Haha kamu pikir aku kebas mengatakannya kan? Kau memang terlalu berlebihan, menganggap semuanya seliteral itu. Aku baik-baik saja. Kau kan hanya teman ingusan yang cemburuan. Dari dulu sampai sekarang.

Ingat saat aku sakit? Kau hadir di saat yang kurang tepat saat itu. Sekarang aku sudah jauh lebih sehat. Jadi berhentilah menyuratiku dengan menyapa, “Apa kabar? Semoga kau sehat..” Juga berhentilah menuliskan nasihat, “Makanmu ya, istirahat cukup. Kamu kayaknya harus lebih banyak minum vitamin..” Entah, kau hanya seperti iklan suplemen makanan. Jangan habiskan energimu untuk menuliskan hal-hal tak berguna semacam itu. Tanpa kau berikan nasihat, aku juga akan makan. Hei kau, ganti juga pertanyaan “kau tidak sedang sakit kan?” Alih-alih khawatir, aku curiga kau benar-benar berharap aku sakit. Oh ya, jangan lagi tandai aku dengan rengek batuk tak kunjung usai dan bibir pucat gemetar. Berhenti tandai aku dengan kelemahan dan memorimu masa kecil. Ingatanmu bukan ingatanku.

Kalau kau mau dewasa sedikit, kau tidak harus menantikanku, hal yang tak jauh beda dengan di gerbang sekolah dulu. Pikiran yang lebih matang mengajarimu teknologi bernama p-e-r-t-i-m-b-a-n-g-a-n.  Itu yang akan memberikan wawasan padamu kau harus pergi atau perlu tinggal. Sebelum menulis ini aku sempat berpikir barangkali akan sia-sia kau kunasihati demikian. Tapi aku yakin kau sekarang sedang membaca sambil duduk tenang kan, momen dimana ceramahku bisa kau serap. Kalau seseorang cuek saja, berteman denganmu hanya karena ada butuhnya, bahkan tanda tak sukanya padamu begitu kentara, itu artinya dia memang tidak suka. Pasrahlah kalau ceritamu bukan seperti film Korea, yang sikapnya benci tapi ternyata suka. Dan kalau kau masih begitu baik dengan mereka? Ah, harus kubilang apa ya. Beberapa manusia kadang mencintai dengan level sebesar itu..

Terakhir kali kau percayai hatimu, kau diingkari kan. Jangan mudah salah artikan, gadis bodoh. Bukan dia yang pemberi harapan palsu, tapi kamu yang tak hati-hati menjatuhkan hati. 

Continue reading →

P-R-O-C-R-A-S-T-I-N-A-T-E. Procrastinate.

1
18:05



When I was in the third semester, I got a subject named Writing 3 which requires students to write about a 5,000-8,000 word essay at the end of the term. The lecturer told this in the first three or four meeting, I forgot, so that we’re expected to figure out the topic early. Months went by, and I didn’t write anything. Then months turned into two weeks when finally I planned to deal with the task. It was on Monday morning when I went to campus (to get free Wifi access, for sure!), I wish I could have some journals read. I read and highlighted some points, yet about two hours later, I was lost in one traveller’s blog and turned to explore it much, instead. 

Time goes by. One day I was talking to my friends when my classmate asked, “Have you done writing assignment?” which is, then, followed by next surprising statement, “I haven’t finished it, either, I’ve only had 20 pages. You?” Well, I haven’t even accomplished one!  I came to realize that there are 3 days remaining before the deadline so I did the only thing I could, including staying awake along two nights and sprinting to print centre, then finally submitted it in just at the deadline. Some weeks later, I got an email coming from my lecturer, it was officially from him. He told me that my work was flawless, I’ve comprised elaborated points, I’ve put some related theories from experts, my work’s been free from any grammatical mistake, as one of the lovely part of his email said, “This is the best one I’ve ever seen!”

Unfortunately, it did not happen. (I just want to enjoy a moment when you think, “This girl is amazing!”) No, I should admit it was very bad essay. I got B (I believe that my daily assignments really help me with the final score), while the rest of my class probably got an A. Not to bother you with the details, I have sort of healthy relationship with deadlines but at that time, I know I ended up as a procrastinator. I just planned to do the task soon but my mind would be “Are you sure you’re gonna do now? ‘Cause tomorrow you’ll have another presentation, you should prepare it well, though” or quite frequently “If you’re going to make a great essay, you should make an outline first, read books, read journals, paraphrase the experts’ quotes, develop ideas into coherent and cohesive paragraph, bla bla blah” which somehow drives me to think that procrastinators own a little part of perfectionists then.

Today I am involving myself in a free English course using WhatsApp platform, namely Kelas Online Bahasa Inggris (KOBI). It’s been some time I join KOBI, and along these 2 batches, I always find students who didn’t do the assignments nor did they give any notice for tutors. I do believe that people have their own priority and joining this free and online class be like….. Well you might say karma does exist, haha.

I think people are all procrastinators. Everyone procrastinates on something in life, right? But we need to think what we’re really procrastinating on. They said that they wanted to improve their English, some of them joined KOBI to prepare themselves for student exchange or study abroad. If it is your ultimate goal, I don’t think you can argue with that. I mean if learning English becomes an utmost matter to pursue your dream, why can’t you regard that joining class and accomplishing assignments are some of the important things you should do.

Okay, it’s already late. I haven’t finished my work. See? Everyone procrastinates on something in life. I procrastinate this stuff to write a post in a blog :D

Continue reading →

Kamu bukan Rangga, aku juga bukan Cinta

2
06:49

kamu bukan Rangga. Aku bukan Cinta.
hanya besok hari setelah lakon ini selesai,
hanya besok hari setelah bangun tidur dan lalu sarapan,
aku yakin perasaan ini bisa saja dilabeli dengan kisah film lainnya
yang ketika tidak ada yang sama, bahkan serial FTV yang diputar pagi siang sore secara bergantian di televisi bisa saja jadi versi sinemanya.

kamu bukan Rangga. Aku bukan Cinta.
jangan kau tebak akhir cerita demi alur yang kau suka
jangan mencocok-cocokkan rasa demi itu adalah yang tersaji di layar raksasa
Rangga tidak seragu kau meminta
Cinta tidak sepicik aku membencimu

kamu bukan Rangga. Aku bukan Cinta.
tidak ada AADC2 atau bahkan sekuel series bagi kita
tidak ada puisi-puisi yang kau tulis
hanya aku yang dalam diam justru mengumpulkan larik demi larik
mengumpulkan keberanian menuliskan apapun yang berkebalikan:
keberanian berbohong
kutulis benci, kupikir rindu. Kutulis cerah, kupikir hujan

aku akan jadi yang tidak tahu diri menerimamu setelah lama
meski aku bukan Cinta
yang aku tak yakin adalah bahwa
meski kau mirip Rangga,
tapi apakah kau, sekembalimu, pernah terfikir untuk menemuiku

atau paling tidak, bermaksud mengenaliku kembali.



Continue reading →

Well, every late post is here. Haha!

0
05:01

Menyembuhkan kerinduan bercerita tentang perjalanan, tentang rasa yang dialami saat perjalanan, bahkan tentang hal-hal yang tidak penting ketika berperjalanan, akhirnya coretan coretan  jaman baheula ini berhasil saya jadikan benang-benang pensieve. Berharap nggak menuh-menuhin kepala. Beberapanya sudah dari dulu ditulis, awalnya sudah merasa cukup hanya dengan dibaca sendiri. Beberapanya lagi memang baru kemaren, gek entes. Gegara mendapat nasihat bahwa “kalau ketika kau tidak menulis, saat kau mati nanti, tak ada yang mengenangmu” maka menulis untuk publik, saya lakukan lagi. Tapi btw saya punya versi lebih enteng biar tetep terus nulis walaupun yaa... ngga pernah bisa menulis yang proper─lebih banyak meracau. Terus nulis biar nggak ilang di larutan air kehidupan dan gula rutinitasnya. Hidup anak (yang pernah) IPA! Nah kan ngaco.


Baiklah, selamat masuk panci, benang-benang pensieve!

Continue reading →

Gemar Berbohong

0
04:23

Akhir-akhir ini orang gemar berbohong terhadap perasaannya sendiri. Merumuskan versi yang menurutnya paling baik untuk dipercaya. Versi ini juga yang seringkali dikatakan pada orang lain, versi-paling-enak-didengar. Antara melindungi perasaannya atau membuatnya justru sangat terluka. Membiarkannya begitu saja sampai entah kapan ketika mengingatnya, ia sudah tak menangis lagi.

Akhir-akhir ini orang gemar berbohong terhadap perasannya sendiri. Sudah berani memanggil duluan, alih-alih menghindar. Sudah berani tanyakan kabar, alih-alih tanyakan “kau-ingat-tidak”. Sudah berani membahas hal lain seperti sungguh tidak ada hal yang terjadi sebelumnya, alih-alih diam dan membiarkannya melakukan monolog. Sudah berani tersenyum melihatnya menggandeng tangan yang lain, alih-alih menangis dengan hati kebas.

Akhir-akhir ini orang gemar berbohong terhadap perasaannya sendiri. Bukan dalam rangka tak punya hati. Tidak tahukah betapa susahnya hanya untuk tidak mengingatnya. Aku pulang dua minggu sekali dan meninggalkan rapat serta kuliah 4 hari hanya untuk alasan yang tidak jelas, aku tidak boleh mengijinkanku libur pada sabtu minggu atau memilih pergi ke rumah saudara saja agar ada yang menegurku setiap saat sehingga aku tak melamun. Aku lalu ke lain kota lain propinsi hanya untuk mengucapkan selamat pada pernikahan mbak kos yang juga sudah seminggu berlalu. Aku ke rumah lagi dan hanya menunjukkan bahwa aku masih ada, lalu kembali pulang setelahnya pada hari H pernikahanmu. Berharap itu menyembuhkan? Aku masih punya hati, meski aku tak tahu apa rupa nya sekarang.

Akhir-akhir ini orang gemar berbohong terhadap perasaannya sendiri. Karena toh, apa? Memangnya ketika sudah jujur dengan perasaan, semuanya bisa dilegakan? Semuanya bisa diikhlaskan? Untuk urusan yang satu ini, meski tidak ada pengakuan saling memiliki, tepat ketika salah satunya pergi, maka yang lain merasa kehilangan. Padahal kata ‘kehilangan’ seharusnya hanya dapat bekerja pada mereka yang sudah merasa saling. Maka sudah biarlah sekarang perasaan dibohongi, semoga ia sadar bahwa berhati-hati lebih baik. Balasan yang setimpal atas merasa sudah “saling”..


Akan selalu ada saat seseorang berdamai dengan perasaannya, tapi bukan sekarang. Tepat ketika aku sudah merasa lupa, aku lalu ingat bahwa kemarin adalah hari ulang taun pernikahanmu.

Continue reading →

Pelangi

0
05:04



Merah jingga kuning hijau biru nila ungu yang kita pandangi itu adalah kenangan gerimis. Betapa kenangan bisa begitu indah.

Continue reading →

Rental hati

1
04:55

Kamu yang kerap kali menandai hujan deras sebagai album kenangan, tersenyum-senyum di jendela kamar, apakah kamu yakin kalau bahkan dia punya fotomu dalam albumnya? Kamu yang menganggap gerimis adalah fragmen tipis pengingat hari-hari bersama, apakah kamu bisa memastikan kalau dia  ingat salah satu momen saja? Bahkan jika bagi semua, petir adalah keganasan, maka bagimu, petir barangkali lampu flip flop penerang satu dua cerita kebahagiaan.

Kamu yang sudah siap menunggu senja bahkan dari 2 jam sebelum matahari tergelincir, apakah kamu percaya bahwa waktu berharapmu tidak sia-sia? Kamu yang habiskan seratus delapan puluh derajat jarum jam bergerak mengusahakan terbaik untuknya, apakah kamu bisa jamin kalau dia akan dedikasikan satu kali putaran jarum menit saja untuk bersedia berbincang? Ada yang selalu menunggu. Selalu menunggu untuk selanjutnya mengetahui bahwa  orang yang kamu tunggu tidak akan pernah datang. Sudah kukatakan kamu bebal.

Bagimu yang menuliskan aksara tentangnya berlembar-lembar, apakah kamu bisa jamin dia pernah tuliskan namamu satu kali saja? Bagimu yang mengharu biru di mention atau di tag bersama, apakah kamu tidak sedang mencurigai bahwa dia hanya menyempatkan membuka notifikasi dan merasa tidak ada yang istimewa? Bagimu yang diam-diam berburu fotonya, apakah kamu benar-benar berpuas dengan mengaguminya dari jauh dan mengulum senyum membuka folder demi folder?

Bagimu yang pernah dibantu atau ditemani, apakah lemah lembutnya yang sekali itu lantas mewakili semua biasa-biasanya dia padamu? Oh bagimu yang mengais mimpi sendirian, renungkanlah sekali lagi, apa iya kamu akan terus-terusan menahan kilat mata itu di depannya? Apa iya besok hari, lusanya, minggu depan, bulan depan, semester depan, kamu akan secara sukarela besikap biasa saja sedang perempuan di depan sana sedang tertawa renyah bersamanya? Bagimu yang merapal doa dengan sedu sedan, apa iya kamu tetap mendoa untuknya sedang menguatkan dirimu saja kau habiskan rintih doa hingga subuh? Sadar. Kau diajarkan siapa, hah? Diajarkan siapa untuk meminjami hati?

Continue reading →

#averylatepost

4
23:36


Jadi ceritanya kamu tidak mau terang-terangan. Kue ulang tahun itu malah diantar bapak O’jack berseragam kuning. Mana aku hanya disuruh menerima tanpa diperbolehkan tahu siapa pengirimnya. Yaa padahal kalau kamu sendiri yang mengetuk pintu kos, aku juga tidak terlalu menjamin berani membukanya hehe. Yang mengherankan, kamu kok sampe betah-betahnya tidak menceritakan pada siapapun, hingga tanda tentang siapa tak bisa aku eja. Hingga tanda tentang siapa, aku takut aku lupa.

Kenapa begitu bertahan hingga sekarang tidak memberitahu, kamu?

Continue reading →

Enigma

0
23:25

“Kau selalu tampak sibuk kesana kemari”
“Aku tak sibuk, hanya orang lain saja yang barangkali lebih setia berada di tempat yang sama”
“Ya kan kau selalu terburu-buru, sebentar disana, sebentar di sini”
“Karena aku sedang mencari. Jangan tanya aku mencari apa”
“Kau tahu kalau itu adalah pertanyaan yang runtut selanjutnya”
“Entah, kau selalu dapat diantisipasi”
“Jawab saja”
“Kau akan tertawa”
“Aku sudah banyak tertawa seumur hidupku”
“Kau akan menganggapku sakit pikir”
“Sudah lama, hanya aku tidak terlalu mempedulikannya”
“Haha. Iya, aku lupa kalau aku tidak pernah dipedulikan”
“Ah aku bosan selalu berusaha berdamai denganmu bahkan untuk hal yang sepele”
“Tak paksa kau harus berdamai. Kau lelah, tidur saja. Pulang.”
“Kau yang harus pulang. Mau kuantar?”
“Atas keberanian macam apa aku berdebat dengan lelaki gombal macam kau”
“Oke, kau kuantar sekarang”
“Aku sedang mencari pertanda. Berkeliling mencari arah..”
“Terdengar seperti alkemisnya Paulo Coelho”
“Aku berkali-kali jatuh cinta pada barat, yang sampai sekarang aku tak tahu berbalas atau tidak”
“Kau bisa menanyakannya..”
“Aku diam-diam menunggu isyarat timur, hampir-hampir tidak terlihat bahwa aku berharap”
“Ini...”
“Kamu tahu, lama-lama aku maju mundur. Menaruh ragu pada selatan”
“Ini...”
“Semakin kebas saat kutuju utara, dia dusta sempurna, tak lagi kupercaya”
“Boleh kusela?”
“Meski aku dijanjikan hal baik oleh setiap mata angin, aku rasa pencarianku justru kini tak berarah.”
“Kusela sekarang..”
“Sekarang ini kau akan berpikir aku barusan merapal mantra”
“Terserah setelah ini kau akan seacuh apa, tapi aku sampaikan saja. Aku rasa kita sedang.. mencari hal yang sama”

Continue reading →

Kepadanya, aku.

2
23:21

Pada tangis yang memekik geram
Pada muram seterang temaram
Pada sunyi yang kucipta mencekam
Aku mau katakan, aku sungguh belum lupa, tapi aku mau melanjutkan hidup

Pada hujan yang menderas
Pada hati yang sebenarnya sudah kebas
Pada ngilu yang hampir-hampir tak pernah hilang bekas
Aku titipkan bisikan, aku siap berdiri sekarang

Pada usaha yang terkepal lewat ujung-ujung jari
Pada asa yang sudah dianyam semalaman ini
Pada senyum yang sudah diulum sepenuh hati
Aku sampaikan sungguh, aku berhak atas suka citaku lagi


Bahkan pada saat aku sudah tahu ini saatnya untuk bangun, bagian tersulitnya adalah aku masih merindukanmu. 

Continue reading →

kata ia, tentang jarak...

4
03:17


Untuk kamu yang percaya bahwa jarak tercipta agar rindu tetap hidup tanpa pernah redup, tolong tanyakan pada nuranimu dulu sekarang. Kau benar-benar mempercayai itu, atau kau hanya menggunakan konsep itu untuk menenangkanmu? Karena kau tak punya cara lain memandang jarak, kan? tak mau membayangkan efek terburuk dari jarak, tak mampu mengantisipasi sesuatu yang diciptakan jarak. 

Hal yang paling menyedihkan adalah berpura-pura pada dirimu sendiri.
Continue reading →

Tuan, siapa?

0
02:47

Tuan, saya rasa Tuan salah orang. Tuan bahkan tidak berada di sekitar saya selama ini, mengapa Tuan berniat meminang saya? Sungguh lah saya saja terheran-heran. Bagaimana Tuan bisa mengenal orang seperti saya, yang berparas cantik pun tidak, kaya apa lagi. Sangat tidak mencolok. Darimana Tuan lantas bisa tahu saya? Teman? Kerabat? Apa yang mereka katakan? Kalau boleh saya cakap, barangkali Tuan salah dengar, atau kalau bukan karena itu, barangkali mereka sedang menjebak Tuan, dengan merekomendasikan saya untuk Tuan. Sekiranya benar, tolonglah Tuan bisa berbicara tegas kepada mereka, bukan hanya Tuan yang jadi korban, saya yang lebih jelata pastilah korban sebenar-benarnya. Saya memang bukan siapa-siapa, tapi Tuan sungguh tidak pantas berbuat main-main dengan saya.

Hari itu saya bingung dengar berita ini. Saya saja tidak kenal Tuan siapa. Guru saya berkata saya harus lebih dulu memastikan saya sudah siap atau belum untuk itu, baru setelah itu saya akan diberitahu siapa Tuan sebenarnya. Hanya sedikit yang saya berhasil temukan informasi tentang Tuan. Tuan lebih tua dua tahun dari saya, dan Tuan orang langitan. Maka seperti yang sudah saya katakan di awal, barangkali Tuan salah orang. Kata guru saya, Tuan bukan dari padepokan ini, saya semakin heran bagaimana Tuan bisa mengenal saya. Yang lebih sulit bagi saya untuk percaya adalah kenyataan bahwa semakin kecil kemungkinan saya mengetahui identitas Tuan.

Tapi di luar itu, saya sungguh ingin tahu siapa Tuan. Penasaran sekali. 

Continue reading →

Masih.

0
02:45

Sampai sekarang aku masih sering merasakan gempa kecil.
Ya, gempa kecil. Kau menamakannya demikian. Pada setiap nyeri ini, aku bahkan begitu jelas mengingat katamu tentang sakit kepala. Pada setiap kesakitan ini, aku masih dengan bodoh melihat layar HP: munculkah sebuah nama  disana? Pada setiap usaha menghentikan gempa ini, bukan obat yang kucari, tapi kenangan. Sekarang gempa kecil ini terjadi lagi, kali ini, mm... rinduku, sampaikah ia?

Sampai sekarang aku masih sering lupa atau bahkan salah jalan.
Tapi bagaimana bisa untuk perkara satu itu, kamu, aku bahkan selalu ingat. Hal-hal yang tidak penting seperti kamu pernah mengatakan apa pada situasi bagaimana, kamu tidak suka makan apa, kamu akan melakukan apa pada saat seperti apa. Gang mana yang pernah dilalui beriringan, buku apa yang telah dibahas bergantian, kesempatan apa yang telah diambil bersama-sama. Kemarin ini aku benar-benar berfikir, berusaha melupakan sesuatu ternyata jauh lebih sukar daripada berusaha mengingat sesuatu..

Sampai sekarang aku masih sering memutar lagu itu, yang aku baiat sebagai theme song.
Haha, ngilu. Ini sama sekali bukan lagu sedih, yang membuat pendengarnya termehek-mehek. Tapi hingga lepas dini hari, saat aku tahu kamu—atas kehendakmu, benar-benar pergi, aku sudah tidak sadar betapa tergugunya ketika dengan sengaja kuputar lagu itu. Kini, mungkin batin yang beku membantu semua ini pulih, aku sudah baik-baik saja ketika mendengarnya. Masihkah lagu itu terdengar sama, bagimu? Oh, sebentar. Masihkah kau menandai lagu itu sebagai ... aku?

Sampai sekarang aku masih begitu berdebar dengan hanya melihatmu.
Kamu tidak akan menyangka seberapa sering aku ambil jalan memutar ketika kamu, tanpa aba-aba, melintas di sudut mata. Aku sungguh tak pernah membayangkan skenario macam apa saat aku benar-benar harus berjumpa denganmu. Bingung berkata apa saat bertemu, apakah hanya akan menanyakan kabar, menyoal tentang nasi telor sekarang harganya lima ribu, atau buku-buku yang masih kau pinjam. Ah, yang jelas aku toh tak akan berani berbincang tentang kemarin. Bagimu hiburan, bagiku siksaan.

Hingga aksara-aksara ini dibaca, aku tahu aku belum pulih benar tentang hal ini. Atau kalau kau pikir aku telah sembuh, maka aku hanyalah aktor yang dengan pahit berhasil melakoni peranku: kebohongan. 
Continue reading →

Lampu dan Lilin

0
00:15

Kau hanya berikan lampu 5 watt. Ku butuh lebih dari temaram itu. Kau tak adil. Telah kusediakan ruang yang lebih besar daripada yang hanya bisa kau terangi dengan 5 watt. Tapi kau berhenti hanya dengan bola lampu 5 watt. Kau juga hanya sediakan pendar cahaya lilin kecil di sudut lain ruangan. Ah, ternyata bahkan lebih buruk dari 5 watt tadi. Kukira kau punya lilin yang cahayanya lebih terang. Atau dengan penuh harap, lampu seterang neon 20 watt.

GELAP.

GELAP..

GELAP…

Aku tak bisa lihat apa-apa, termasuk dirimu. Hanya, aku sadar akan sesuatu. Lampu 5 watt mu makin lemah cahayanya. Lalu tiba-tiba konslet, dan….pet! Mati. Lilinmu jauh lebih malang. Dia begitu cepat meleleh, dan.…pet! Mati.

Mati.

Toh, sesaat lagi aku juga akan….pet!

MATI.



Continue reading →

Mengembalikan Bukumu..

0
18:10

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Sebelum kau menagihnya lagi. Aku sudah meminjamnya sekitar satu semester yang lalu, jelas harus sudah kukembalikan. Kemarin kau hanya menanyakan buku itu apakah ada bersamaku atau tidak. Itu seperti berbunyi ‘oh kamu yang meminjamnya’. Kau berujar ‘dikembalikan kalau sudah selesai baca saja’ tapi bagiku itu terdengar seperti ‘aku tak yakin kau akan sanggup membacanya sampai habis’. Jadi, target hidupku paling dekat ini adalah membaca buku pinjamanmu. Buku itu, aku bahkan belum sempat mengetahui isinya. Kamu, aku bahkan belum sempat mengetahui hatimu.

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Meskipun benar-benar menambah ilmu, buku ini berat sekali. Aku harus membacanya 3-4 kali baru aku paham, atau bahkan membuka lembar-lembar sebelumnya demi sampai pada pemahaman yang benar di belasan halaman selanjutnya. Rentetan-rentetan konsep dengan sedikit penjelasan. Ada beberapa tabel yang sebenarnya berfungsi untuk memfasilitasi agar pembaca mengerti, tapi menurutku malah mendistract, semakin pelik saja isi buku ini. Maka jangan tanya gambar, foto-foto untuk mengilustrasikan pun hanya 2 cm x 2 cm dan abu-abu. Kamu memang sudah mengingatkanku sebelumnya kalau buku ini agak serius, hmm itu justru semakin membuatku penasaran ingin membacanya, dengan serius.

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Karena mungkin ada yang akan segera meminjam buku ini. Melihat-lihat isi perpustakaan kecilmu, memperbincangkan beberapa judul buku, dan mendiskusikan isinya. Membuka lembar demi lembar hanya untuk kemudian memilih satu buku untuk dipinjam. Begitu setiap kalinya berhadapan dengan rak-rak buku. Akan ada peminjam lain yang kalau aku boleh terka, untuk dia koleksi buku-buku ini kau tata rapi. Kau sudah menantikannya meminjam satu dua bukumu. Bagaimana aku tidak sampai tahu? Setiap bertemu dengannya di gerbang perpustakaan, setelah itu pula aku dapati kamu bersenandung dan terkekeh di sela-sela rak. Awalnya aku kira kamu bahagia ada peminjam koleksi buku yang datang, atau dengan terlalu percaya diri, bahagia aku datang. Tapi salah. Aku baru sadar setelah tahu polanya.

Barangkali aku harus segera mengembalikan bukumu. Takut kalau rak ku bocor dan buku yang tidak kau sampuli ini akan basah. Takut kalau ketika kubawa kemana-mana akan hilang, atau tertinggal di beberapa tempat aku bersila dan membaca buku. Walaupun selama ini aku jaga benar. Kau boleh saja tidak tahu, tapi pinjaman adalah pinjaman, bagiku ia adalah amanah, terhadapnya aku tidak boleh ceroboh. Yaah perlu kusampaikan bahwa aku tidak terlalu pandai menjaga barang, hilang dan rusak adalah akhir dari takdir barang-barangku. Aku jelas tidak seharusnya melakukannya pada buku milikmu kan? Walaupun sekarang ini sungguh aku sangat ingin melakukannya.


Barangkali aku memang harus segera mengembalikan bukumu. Terlalu lama membuat buku ini ada di tanganku percuma saja. Iya, aku tidak sedang memperbincangkan isi buku, semua jenis buku toh bermanfaat, jelas ada gunanya barang siapa membacanya. Aku sedang mengatakan bahwa buku ini kepemilikanmu. Itu yang akan sangat sia-sia jika masih berada di tanganku hingga sekarang. Tenaga yang aku siapkan untuk berargumen seperti biasanya saat mendiskusikan isi buku, sepertinya harus dialihkan untuk hal lain. Bagian tersulitnya bukan pada aku tak bisa memperkaya ilmu, tapi pada bagaimana kau percaya bahwa aku bilang baik-baik saja untuk tidak bercengkerama lagi denganmu. Ah, tak yakin apakah aku hanya akan mengembalikan ini dan dengan mudah meminjam buku lainnya, atau sekarang adalah kali pungkasan aku meminjam buku, darimu.

Continue reading →

Buronan Akhirnya Tertangkap!

0
18:03

Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang-orang yang dengan tulus mendoakanmu. Berharap kau sehat, selamat, terhindar dari segala mara bahaya, terhindar dari celaka, terhindar dari godaan syetan dan belenggu nafsu. Sekarang ini, tepat sekarang ini, mungkin ada orang yang dengan diam merindukanmu. Kangen tapi gengsi mengakui. Ingin bertemu, tapi ragu janjian. Sekarang ini, tepat sekarang ini, banyak orang yang dengan sukarela memikirkanmu, mengasihimu dengan sederhana, atau menyayangimu dengan begitu dalam namun pakewuh berucap. Lafadzkan tahmid dulu..

Sepuluh hari yang lalu, aku izin Ibuk untuk pergi ke Kerawang, menengok teman yang sakit. Alhamdulillah dapet ‘yes’. Walaupun sambil ditanya ‘mulihmu kapan?’ tapi tidak ada nada terlalu berharap di sana, apalagi memaksa. Mengunjungi rumah teman dan menatap ibu mereka masing-masing, sedangkan yang disuruh pulang berjumpa ibuk sendiri malah hanya selalu berjanji saja akan segera pulang. Lima hari yang lalu, ibuk sms jadi pulang kapan, sekalian minta tolong urus administrasi Fiqi di UGM. Karena punya alat berkelit, hanya perihal urusan administrasi yang kubahas. Tiga hari yang lalu, ibuk telpon bertanya banyak hal, hanya bagian kecilnya saja yang tentang ‘mau pulang hari apa’.

Dua hari yang lalu, pagi jam 6 ibu menelpon dan memintaku pulang. Kali ini berhasil, Kawan. Bagaimana tidak? Ibu punya serdadu, om Nano namanya. Beliau ini lalu dari jam 7 sudah ada di depan kos, menunggu gusar di dalam mobil. Sudah mengelak, sudah mencari alasan (duh durhakanya), sudah menunda (dengan mencuci, aku pikir ini akan manjur karena nyuci kan lama, bikin males nungguin). Tapi manalah bisa melawan. Om Nano menelepon lagi, Ibu menelepon lagi. Om Nano kirim Fika, yang dalam hal ini bukan lagi anaknya, tapi serdadunya (hehee), ke lantai 3. Sepertinya sudah saatnya menyerahkan diri. Baiklah, buronan sudah terkepung.

Bukan karena apa-apa tak mau pulang, tapi seperti belum saatnya pulang, bagaimanapun kerjaan hasil dari menunda menuntut untuk segera dibereskan. Hutang-hutang yang belum terlunasi.  Siapalah yang tidak mau rehat, ini liburan semester, memang waktunya pulang. Tapi perbuatan-perbuatan ini harus kupertanggungjawabkan. Membayangkan pulang pekan ini saja tidak bisa, apalagi berani merencanakan. All things can be messed up if I do. But, here I am. Beralih dari kota yang penuh tekanan ke kota yang penuh makanan. Banjarnegara.

Mangkel. Yang biasanya kalau pulang itu suka cita, ini nggak ikhlas bingits. Ibuk manalah paham apa yang harus aku lakukan di sini, banyak yang harus segera diselesaikan. Organisasi, proposal skripsi, persiapan MoU sama sponsor, permintaan bantuan dari teman, pembayaran SPP dan KRS. Tak bisakah ijinkan untuk selesaikan ini sebentar? Toh kemarin semua ini tertunda karena ngurus administrasinya Fiqi di UGM. Tak bisakah lihat posisi si sulung barang sedikit saja? Diem sama dongkol di mobil. It’s like there’s no way escape. All things have been messed up now.

Aku cari pemahaman baik dari penggerebekan ini, susah sekali ketemu. Manusiawi kan, yang ingat hanya negatifnya saja. Sesampainya di rumah, ketika mangkel sudah melunak, aku mulai menulis. Korban penculikan ini masih belum legowo, tapi dia biarkan hatinya merumuskan sendiri.  Aku yakin ibu atau bapak kita, tahu siapa anaknya. Sudahlah lancang saat aku pikir mana paham mereka dengan kita. Seberapa tidak kelihatan pedulinya mereka, seberapa mereka tidak menanyakan aktivitas kita di tanah rantau, seberapa tidak mengatakan apa-apa ketika dengarkan cerita. Bukan, bukan karena mereka tidak paham. Dalam beberapa hal, pemahaman mereka jauh lebih kompleks daripada pertimbangan kita macam apapun, sendakik-ndakiknya. Tapi kalau sudah urusan rindu, Ibu hanya punya pemahaman sederhana bahwa “Kau adalah anakku, Nak. Jika kuminta kau pulang, memang sudah waktunya kau pulang.”


Kalaupun adegan penculikan kemarin diejawantahkan dengan gamblang, mungkin akan seperti di atas. Sayangnya, bapak ibuk kita kerap kali sungkan menunjukkan rindu, barangkali kita yang harus bisa peka terhadap tanda-tanda rindu itu. Iya, tanda-tanda rindu itu termasuk ketika kita pulang, ibuk sibuknya luar biasa memasakkan semua kesukaan, kalau bukan karena aku harus mencuci piring setelahnya, hihi, mungkin sudah kuminta semuanya. Orang tua kita, barangkali mereka punya cara yang berbeda saat mengungkapkan rindu: tidak berkata :’)

Continue reading →