Akan indah pada waktunya, kan?

0
05:09


Kalau suatu hari, engkau berubah, pastilah bukan aku sebabnya. Memahamimu saja tidak. Aku coba menulis tentangmu, tapi haha, tombol undo sering sekali kupilih. Sudah berapa kali aku ketik, aku hapus, aku ketik lagi, aku hapus. Sulit sekali menggambarkanmu. Menulis namamu saja gemetar, terlalu pakewuh bagiku. Mendengarkan yang lain menceritakan dirimu, rasanya mendebarkan, mendebarkan sekali. Aku menyimak, tapi tak berani ikut terlibat. Tapi justru ini yang membuat rasa cintaku sempurna, kan? Aku tak pernah mengatakannya.

Kalau suatu hari engkau berubah, pastilah bukan aku sebabnya. Walaupun aku sekelas denganmu, bertatap muka setiap hari. Aku bahkan sering satu deret bangku, kita satu garis. Aku sulit berhenti bahagia ketika kita satu kelompok, sulit untuk tidak melulu senyum-senyum ketika mengerjakan laporan sampai lepas asar. Tapi aku tak pernah sanggup untuk berada dekat denganmu, takut kalau aku malah akan melakukan hal-hal bodoh. Tapi aku tak berani SMSan selain tanya jawab tugas, takut kalau jari-jari ini mengikuti hatiku, bukan otak logisku. Tapi aku tak berani tanya kabar, sedang apa, sudah makan belum—menelepon, takut kalau aku hanya mendengar ‘baik’, ‘makan’, ‘lagi’.

Kalau suatu hari engkau berubah, pastilah bukan aku sebabnya. Karena setelah kelas sebelas dan dua belas ini selesai, mungkin kita nggak akan sekelas lagi. Ah ya, kamu kan punya cita-cita yang berbeda. Mungkin akan jauuh, akan menginjak tanah yang berbeda. Mungkin (yang ini hampir bisa dipastikan) aku tidak punya akses interaksi denganmu. Mau pakai alasan apa lagi, nginfoin PR? Njarkom kelas? Ngingetin bayar LKS? Tidak ada lagi alasan kan? Mungkin kita akan benar-benar hanya bisa berinteraksi lewat buka bersama kelas atau reunian nanti. 



Untuk Fiki, tentang delapan belas tahun yang merah jambu. 

0 comments:

MERAPI: kerikil, angin, dan cedera lutut

3
08:31

Apapun yang kita rasakan sekarang, lelah, misalnya, akan ada titik terlelah yang mungkin besok kita hadapi. Putus asa, akan ada saat dimana keinginan yang sudah diterbangkan tinggi-tinggi jatuh dihempas angin. Ya, saat dimana titik keputusasaan sampai klimaks. Lalu satu lagi, kedinginan. Ada suatu saat dimana tubuh sudah tidak lagi mentoleransi suhu, gigi gemeretuk keras sekali, tubuh berguncang seperti tak bisa dikendalikan. Bersyukur kita masih diberi banyak nikmat, sehingga walaupun lelah, tidak sampai pingsan. Sehingga walaupun putus asa, tidak sampai berhenti. Sehingga walaupun kedinginan, tidak sampai membeku.

Rombongan ekspedisi ‘bip bip bip’ kembali beraksi. Hari Minggu-Senin tanggal 3-4 Februari kemarin, kita berlimabelas (kalo nggak salah itung) naik Merapi. Pendakian kali ini aku sudah harus belajar dari kesalahan kemaren: jangan sampai kedinginan, apalagi sebelum pendakian dimulai. Hehe, maka berlapis-lapislah ini baju-sweater-jaket-mantol. Ya walaupun akhirnya pas udah satu jam jalan, mantol sama sweater ta pensiunin. Gerah :p

Kita start jalan dari basecamp, seperti biasa, malam hari jam 10. Sebenernya plan awal habis isya, tapi menunggu rombongan kumplit (ketua rombongannya malah yang kita tunggu.red), kita baru mulai packing terus jalan jam segitu. Sisi baiknya adalah, enggak hujan dan lumayan nggak dingin. Tapi pahitnya adalaaah tracknya nanjak terus. Udah 1 jam jalan dan gobyos keringet, belum ada jalan yang agak landai, semuanya naik terus. Kalo boleh nyamain, ini kayak jalan mau ke puncaknya Merbabu. Berbatu dan tiga puluh lima sampai empat puluh derajat! Jarak basecamp ke pos 1 juga lumayan jauh, 2 jam-an lah—dengan speed berjalan ala kami. Musti nglewati pos 0 dulu soalnya (kata Wida, yang ada tulisan WELKOMnya)...

Paska pos 1, ada jalan nyabang, yang kanan itu jalan lumut, yang kiri itu jalan batu. Some of us dominated by men udah ngibrit duluan kayak habis minum M150 rasa mangga ke jalan batu tadi. The thing is that jalan batu itu terjal dan nanjak terus. Ketua rombongan milihin jalan buat embak-embak yang anggun ini buat lewat jalan lumut aja. Kita setuju beud, dari tadi udah terjal nanjak terus ga brenti2, mending lewat yang agak jauh tapi landai. Setidaknya, itu pendapat kita pas baru ketemu percabangan jalan itu. Namun, setelah batas antara jalan lumut dan jalan batu jelas terlihat dan emas-emasnya udah pada duluan nyampe di atas kita, nyorot2in senter di bawah sinar bulan (beneran lho, mana bulannya sabit cantik banget, kayaknya mereka jinjit aja udah bisa pegang bulan), kita bersedih. Rasanya masih jauh buat sampai sana, masih kudu ke atas banget. Malem itu bulan sama bintangnya keliatan jelas, gunung Merbabu juga jelas banget ada di balik kita. Nggak ada mendung, nggak ada kabut. Pak Yudi, salah satu rombongan yang posisi jalannya ada di belakangku persis—which is terakhir :P, bilang “malem ini bakalan dingin banget, ayo jangan banyak istirahat, biar bisa langsung ngecamp...”

Tapi aku yang bego seneng-seneng aja kalo ada yang tereak ‘BREAK!’ atau ‘ISTIRAHAAT, HH, HH!’ Asiknya jalan malem itu kita nggak terlalu keforsir, adem kan, nggak panas. Kita juga nggak jelas2 banget lihat puncaknya, jadi nggak being intimidated. Tapi yang namanya jarang olahraga terus suru jalan lama sama nanjak tetep aja kerasa bedanya. Setiap istirahat—sambil nylonjor2in kaki, liat Merbabu yang dari arah kita duduk, gedee banget. Sekali dua ada cahaya kayak kilat warnanya jingga oren gitu di sebelah kirinya. Baguuss (sayang nggak bisa njepret, Wulan lagi ga bawa DSLR, pake camdig nggak ketangkep)

Sesampainya di pos 3 (Batu Gajah), kita cuma istirahat bentar terus capcus ke Pasar Bubrah. Tapi nggak tahu kenapa, katua rombongan, mas Ferdi, yang tidak lain adalah yang kita tunggu tadi malem itu, istirahat di belakang batu, dan........ketiduran. Kita yang kasihan sama masnya (kecapekan banget kayaknya, begitu sampai Base Camp Selo langsung naik, sedangkan kita punya waktu break), nggak mbangunin beliau dan malah ikut tidur2an di balik batu. Nggak lama, aku bangun dan udah ngrasain kalo badan udah ga karuan dinginnya. Gigi udah kancilen lagi, tangan udah njedhindhil kayak dulu pas mau naik Merbabu. Wulan lebih parah, dia malah sebadan menggigil semua. Tangannya dingin banget, ta tanyain udah nggak jawab. Jam setengah 3 boi, tidur di gunung tanpa SB tanpa dome, parah banget kan? Mas Ferdi akhirnya bangun dan memutuskan untuk lanjut jalan. Ya, dalam kondisi yang nyaris hipotermia gini. Sekitar 30 menit kita lewati gunung batu. Karena udah nggak ada pohon, batu gede juga udah jarang, we’re officially trapped in cold. Wind blew damn strongly. Wulan walked right after me, I know she tried so hard to keep passing that way. Belakangan, ketika udah sampe di dome, atas bantuan lampu, bibirnya baru keliatan ungu biru nggak karuan. Pucet.

Akibat tragedi kedinginan itu, kita kehilangan momen sunrise. Bangun-bangun udah padang njingglang, dan kami sholat subuh di padang njingglang. Astaghfirullahal’adzim... Uniknya lagi, karena kompas kita ketinggalan, arah sholatnya tsiqoh banget ke matahari: membelakanginya. Habis sholat kita ngangetin badan dengan cara makan roti seadanya—rombongan memutuskan untuk muncak dulu baru makan, antara keburu kabutnya tebel dan panas terik. 

Jam 6 pagi di lereng Merapi 

"Jujur, masih dingin banget rasanya... "

-wulan karing-

Jam ini kita langsung naik ke Merapi. Bisa ditebak, medan selanjutnya lebih terjal. Pasir, kerikil, batu. Pasirnya gampang mlorot, batunya juga ada yang copotan, ga keukeuh kalo diinjek. Nasehatnya pak Yudi, dipegang dulu batunya, kalo kira-kira mantep baru diinjek. Aku semangat banget ngulang peringatannya pak Yudi sambil tereak2, dedek Lia dan aku sempet bikin batu2 ukuran sedeng jatoh, untungnya nggak sampe bikin bahaya yang di bawahnya :D Jalan naik juga berkabut, alhamdulillahnya nggak se-senenkemis nafasnya kayak pas naik ke puncak Kentung Songo di Merbabu.

ada oppa oppa dari Korea ~~

kata mas-mas mountaineer yang udah senior, ini tanah sama batuannya berubah, medannya dulu nggak gini

fogging? Bukaan, ini kabut cuy

Sekitar satu jam naik dari lereng, bau belerang makin tajam. Tanda udah deket sama kawah. Daaan, beneran! Batu yang ada bendera merahputihnya—yang kalo keliatan dari bawah itu kecil banget, udah jelas tinggal mak nyug. Di depan kita persis, kawah Merapi ternganga! Di atas ternyata udah ada si Ridho, berangkat dari pas kita2 baru bangun, dia sibuk banget motoin kita—motif dari: minta difotoin, since he was alone and was impossible to freely capture himself -_____-

Berdiri di puncak Merapi: satu dari hal-yang-bahkan-tak-pernah-terlintas-sekalipun

Track ke sang saka merah putih lumayan ih wow, cuma beberapa yang nyampe sana

Merbabu dari gunung saudaranya :D

Kamera emang a-must-bring banget!

Samudera di atas awan

Rombongan ekspedisi bip bip bip semua muncak

Iri banget sama Ridho, dia punya foto kayak gini (.____.)/||


Satu jam di puncak, kita bersegera turun. Keburu baunya belerang makin tajem, keburu kabutnya makin tebel, keburu perutnya manggil-manggil :p Seperti sudah seharusnya, perjalanan turun lebih cepet, apalagi pas udah nyampe pasir-pasir, lari tanpa rem. Dikasih tips sama pak Yudi kalo yang jadi tumpuan lari di pasir itu tumit, bukan kaki depan, jadi selain bisa cepet juga ga bakal njrungup (perlu saya kasih tanda bintang? Ah enggak lah ya, guessing meaning from the context, ga roaming2 amat kan :P).

-me in the move-

Ga tau, suka aja sama foto ini

 Tri mas getir. Mereka usaha banget buat kefoto, udah turun eh naik lagi.

Nah kan. Camera-addicted kan.

Sampai di dome, kita disambut oleh Singaporean yang kata Ridho langsung tereak tereak, “I’m fool, I’m fool”. Sambil cemas, bingung, mbak-mbak singgapur ini kemudian njelasin. She was being lost. She climbed Merapi with the guide and was so enjoying herself picking some rocks. She told him to go down first, but then when she just finished collecting ‘some merchandise’, she couldn’t find ways. Trying to look for a help, she climbed back then finally found us. A happy ending.

Dia akhirnya turun bareng kita. Bersyukur banget sepertinya nemu pendaki lain, karena dengan ikhlas dia mau nungguin kami yang masih mau makan sama beberes. Lumayan cerewet, nyeritain orangtuanya yang asal Cina, kerjaannya yang run her own company, punya 33 karyawan, sama yang hampir selalu dan tak kan pernah terlewat, ‘Indonesia indah ya, orangnya ramah-ramah. Anda semua baik pada saya.’ Oh yeah, as always. I expect much, take it for instance, ‘your people are technology literate, ya know. Even I have a partner. He is exceedingly great in doing any project, so-called hardworker!’ *wish*



Mas awan malu malu mau foto sama Xung Li, sampe ketutup gini deh jadinya (sori mas, yang ini bukan ane potograpernya :p)

Pasar Bubrah, tempet kita mendirikan dome.

Deket-deket kita ndiriin tenda, ada batu yang disusun rapi ke atas. Musti seimbang.

Rencana turun jam 11 jadi molor setengah jam. Pas mau turunnya persis, mak bres hujan gede. Karena tracknya batu2, udah gitu licin, jalannya jadi agak ditahan. Padahal, teori turun kan mblandang aja jangan dibikin nahan. Ini mungkin salah satu penyebab kenapa lutut kiriku rasanya nyeri banget. Kalau pas kaki kiri jadi tumpuan, mak sengkring, kalau dibuat nekuk juga nyeri. Di pos 3 aku akhirnya bilang ke mas Ferdi, dikasih koyo. Teruus, ta bikin jalan lagi. Masih nyeri, jalannya jadi lebih lambat. Yang ada saat itu tinggal mas Ferdi, pak Yudi, Wida, Mbak Irma, Xung Li, sama aku. Rombongan lain udah nggak keliatan. Sebelum sampai pos 2, sendi lutut kiri ga karuan rasanya, istilahku ‘nggliyer’. Yang bikin heran adalah setiap kali buat numpu, jadi gemeter. Mas Ferdinya bilang kalau itu nggak cuma cedera lutut, tapi sendinya udah capek. Ta pakein handbody lotion: Counterpain. Masih gemeter, masih nyeri, kayak nggak ngefek tapi alhamdulillah masih bisa jalan.

Dari HT yang dibawa mas Ferdi, aku denger kalo rombongan pertama udah nyampe pos 1. Nah gimana ceritanya, kita—yang tinggal 4 orang, baru aja los pos 2. Mas Ferdi sama pak Yudi akhirnya ambil rute Kartini, biar lebih cepet, katanya. Aku sama Wida idem, manut aja. Tapi ini kaki masih susah kooperatif, beberapa kali kepeleset dan malah nyut2an nyerinya. Mas Ferdi bilang digubet pake perban aja, minimal buat nahan. Tapi treatment salonpas ama konterpen yang nggak berhasil tadi bikin trauma. Mending nggak usah diapa2in aja, asal masih bisa jalan. Si Wida ikutan minta lututku diperban, tapi malah tambah lama kalo berhenti lagi kan *alasan yang tidak konsisten...

Hujan lagi-lagi deres, tadi udah mending tinggal gerimis2. Kabut turun lagi. Pak Yudi nakut2in Wida kalo di depannya ada nananina. Nakut2in kalo ini jalannya tetep stagnan dengan kecepatan enol koma enol enol sekian kilometer per jam, maka bisa dijamin magrib masih di jalur pendakian Merapi. Widanya jengkel, jengkelnya ke aku yang nggak bisa jalan cepet. Padahal ini udah asar, pasti pikirannya udah kemana-mana. Aku juga. Ini mungkin karena nggak ijin sama ibuk, main ngeloyor pergi nggak bilang-bilang. Tanpa ada restu orang tua, mungkin, yang bikin nggak berkah :’(

Sampai di pos yang ada tulisan WELKOMnya *kata Wida* kita break sama shalat. Di pos itu juga akhirnya perban itu menggubet lutut kiri saya yang ternyata eh ternyata biru lebam di bagian atas lutut. Dari pos 0 ini sampai ke New Selo, jalannya emang landai, tapi karena lagi hujan justru jadi licin. But there’s no way escaped. Harus udah nyampe base camp sebelum maghrib. Wida terus berekspektasi kalau 15 menit dari pos WELKOM, kita nyampe basecamp. Iya, lima belas menit kali titik titik. Lima belas menit ketiga, Pak Yudi bilang kalau tower deket New Selo udah keliatan. Nggak lama, terpampang nyata dan cetar membahanalah tulisan gede-gede N-E-W S-E-L-O di depan kita, subhanallah walhamdulillah alohuakbar!


Bayangan harus ngecamp kayak insidennya Abi pas di Merbabu hilang seketika. Di basecamp udah tinggal beberapa orang, sebagian memang memutuskan buat pulang duluan. Kami yang tersisa akhirnya turun ba’da maghrib. Dingin, tapi ini jauuuh lebih mending daripada masih harus jalan di jalur pendakian Merapi. Bener kata para mountaineers, pendakian akan membelajarkanmu banyak hal.

Meski habis N-E-W S-E-L-O masih jalan lagi agak jauh, tapi jam 5 udah nyampe sini, beuuh, lega banget :D

-korban saya-


Terimakasih Allah, Gusti Ingkang Maha Kuwaos.. 



3 comments:

Tak mau sesiapa membawanya pergi, tanpa hati

0
05:43


Aku menemukannya di balik gedung pusat. Gedung itu saja sudah gelap, kau bisa bayangkan seperti apa dibaliknya. Untung dia kelihatan, cahaya dari monitor leptopnya membantu banyak.

“Kau curang,” ucapku cadas.

Dia melihat ke arahku, lalu menatap layar monitor lagi. Seperti menggugurkan kewajiban menghormati orang yang datang.

“Kau tidak datang” masih belum lunak cadasku.

Dia masih menatap layar leptop. Aku masih berdiri, 2 meter di depannya. Aku punya plastik kresek, bisa kulemparkan ke mukanya sekarang.

“Kamu bisa duduk?” katanya, sambil membenarkan posisi duduknya. Masih menatap leptop, sepertinya ini saat yang tepat melempar kresek.

0 comments:

(One of) STEVE JOBS'S quotes

0
17:42

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And  yet death is the destination we all share.  No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true. Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

—STEVE JOBS.

0 comments: