Lukman Sardi dan Aiman Wicaksono*

0
16:32


Dari seperempat jam yang lalu ia hanya bersandar di depan meja resepsionis. Lama, tapi seperti sedang menunggu sesuatu selesai dikerjakan. Sibuk tengok kanan, arah pandangannya tepat ke pintu bertuliskan Unit Radiologi. Pintu yang tepat berada di sebelah kananku. Kalau nggak sedang cemas seperti ini, aku jelas akan GR. Dia memandang ke arahku. Tapi itu ada dalam list keseratus sekian karena setelah kurang lebih lima belas menit berdiri gelisah di meja resepsionis, ia kemudian berjalan cepat ke pintu Unit Radiologi tadi. Mengibaskan ‘jubah putih agung dokter’nya lewat di depanku. Tak satu inchipun melirik. Hm ya jelas mana tertarik, sama pasien jelek berkursi roda.

Setelah ‘sesi pemotretan’ ini selesai, aku menunggu namaku dipanggil. Rumah sakit ini sepertinya punya banyak dokter, tapi kenapa mereka antri dokter yang sama denganku. Dokter yang sudah dengan setia ditunggu pasiennya dari jam 10 pagi tadi, baru masuk ruang praktek jam 2 siang. Sempurna. Antrian pertama bergerak mulai setengah 3. Nomer 9? Dapet jatah jam empat. Hasil fotografi tadi lalu dipajang di neon entah berapa watt, tapi aku liat tulang betis dan ulnaku di sana. Ada tulang telapak kaki juga. Ia menuding-nuding dan menggumam-gumamkan sesuatu seperti ligamen, sobek, dan fraktura. Yang hanya jelas aku dengar  dari dokter-yang-sudah-tua-dan-banyak-antriannya itu adalah ‘oke, ini langsung kami tangani mbak, puasa sampe jam 7 nanti ya’. Si ibuk, yang dalam kesempatan ini sok tahu bertanya, ‘Dibius dok?’ Hh sempurna aku punya gambaran sekarang.

18. 30 WIB

Ibu sibuk telpon sana-sini, sesekali melihatku (lebih tepatnya kursi roda) dan ruang bedah bergantian. Mungkin menghitung jarak. Ibu kan guru matematika. Dia lewat lagi. Kali ini langkahnya lebih tenang. Dengan adegan yang atas imajinasiku kubuat slowmotion, aku berhasil menyimpulkan kalau dia mirip Lukman Sardi. Rahangnya kukuh, tegas. Tangannya memegang dokumen hasil photo session seperti punyaku tadi. Ia jadi sering lewat, kadang berjalan dengan elegan, kadang agak tergesa menuju meja resepsionis, membuka ‘hasil fotografi’ dan sepertinya memperbincangkan sesuatu. Beberapa kali beriringan dengan perawat yang memakai baju hijau muda, tertawa tipis. Makin mirip Lukman Sardi. Hellooo, this is hospital, ladies and gentleman. It’s neither pers conference nor movie launching.

18. 40 WIB

Aku baru sadar bahwa aku sudah merasa familiar dengan pemandangan laju kursi roda, tempat tidur pasien, kruk, tongkat, perban yang melilit, dan bebat plester yang ada merah-merahnya. Setidaknya ini sedikit membantuku untuk rileks. Sebelumnya kan riwayat medisku bersih, hanya dikotori oleh rawat inap karena salah makan saat balita dulu. Jadi belum pernah berinteraksi terlalu akrab dengan rumah sakit, apalagi rumah sakit orthopaedi seperti ini. Aku sama sekali tak tahu kalau tahun-tahun selanjutnya catatan medis itu semakin panjang. Eh, dia lewat lagi. Karena mungkin merasa aneh dan risih ada yang memandanginya terus, si Lukman Sardi menengok ke arahku. Datar, lalu jalan lurus.

18. 45 WIB

Seseorang yang memegang berkas-berkas tidak tersusun rapi melemparkan pandangannya di ruang tunggu. Memanggil namaku jelas sekali, ia mendekat ke arah ibu. Ibuk sudah lebih dulu mengacungkan tangannya ketika perawat berseragam hijau muda tadi meneriakkan ‘Rahma Fitriana’. Dan sekali lagi dengan jelas (tapi kali ini lebih pelan) ia berkata, “Sebentar lagi masuk ruang bedah ya, Bu”. Aku dan ibuk santai. Kita sama-sama sudah ngantuk. Tapi aku malah mencoba mencari-cari dokter Lukman Sardi. Kalau itu Lukman Sardi, kenapa dia ada di sini, masak shooting nggak ada kru nggak ada kamera. Tapi kalo dia bukan Lukman Sardi, (ah jadikan dia Lukman Sardi) kenapa bisa mirip banget nget nget...

18. 48 WIB

Aku sempurna didorong mas perawat tadi ke ruang bedah. Lalu dipersembahkan di depanku sebuah ranjang berselimut putih tebal, bantalnya ditinggikan. Mas perawat hijau muda memanggilku dengan nama, menanyai kelas dan sekolah dimana. Aku sudah khawatir jangan-jangan habis ini dia akan bertanya tentang jadwal pelajaran. Untungnya ada seorang dokter mendekat, dokter yang di jas putih agung dokternya tertulis nama ‘Vida’, segera mengambil alih perbincangan. Kekinian dan kedisinian. Berujar tentang nanti akan dibius, tidak sakit, dan akan cepat. Belakangan aku baru tahu kalo yang ngomongin tentang bius itu namanya dokter anestesi.

 Ini masih di ruang tunggu kamar bedah, jadi aku punya waktu untuk menikmati udara yang dingin aneh beberapa saat, ditemani perawat tadi yang sekarang mulai bertanya tentang apa yang terjadi dengan kaki kiriku. Eh heii, dia mirip penyiar berita RCT*! Butuh beberapa detik untuk mencari namanya di folder memori, tapi hobiku memirip-miripkan orang bekerja lebih cepat. Aiman Wicaksono!

(Tidak tahu jam berapa, hapeku sudah dititipkan ke ibuk)

Ranjang istimewa ini didorong masuk ruang B, suhu udaranya bertambah dingin. Tidak seseram ruang bedah yang ada di sinetron, lampunya tidak dimatikan, tapi 4 lampu yang dirangkai bersama di tengah ruangan, itu benar. Yang membuatku terlalu berimajinasi justru peralatan yang ada di sekitar ruangan ini. Final Destination. Gunting yang besar (jangan samakan dengan gunting rumput, ini bentuknya sedikit aneh), perban yang gulungannya besar sekali, alat yang ujungnya tajam seperti jarum jahit yang dizoom, dan ada beberapa benda tajam lainnya, tidak familiar. Sambil membenarkan posisi kaki kiriku, mas perawat hijau muda bertanya lagi, kali ini tentang bagaimana aku bisa jatuh dari tangga masjid. Cukup membanggakan menyebut sebab semua ini. Jatuh dari masjid punya konotasi yang bagus. Anak alim. Ya, dalam setiap bencana tetap ada yang harus disyukuri kan: dapet image baru yang lebih berkelas. Pintu ruang bedah B terbuka, dan karena itu adalah satu-satunya hal yang paling menarik yang terjadi waktu itu, maka adegan pintu yang dibuka pun aku tonton. Dokter Lukman Sardi! Tak berlebihan aku menyebut pintu yang dibuka tadi adalah sebuah adegan, ini bintangnya. Ia memeriksa kakiku, menekan bagian engkel yang bengkak.
Lukman Sardi     : “sakit?”
Aku                    : “iya”
Lukman Sardi     : “ini cuma digips kok, nanti kan terus enggak bengkak lagi” (sambil tersenyum)
Aku                    : “digips kenapa harus dibius?”
Lukman Sardi     : “ini disposisi, jadi nanti kita benerin dulu (sambil meragain mbenerin tulang, yang justru terlihat seperti meres jemuran). Ligamennya juga sobek itu”
Aku                    : “Oo.. (padahal nggak mudeng)”
Lukman Sardi     : “Tapi santai aja, nanti kan dibius jadi nggak kerasa apa-apa”
Aku                    : “Hehe, iya hehe”
Lukman Sardi     : “Kelas berapa de?”

Aku  menjawab pertanyaan Lukman Sardi dengan semangat, menyebutkan kelas dan jurusan. Menyebutkan nama sekolah dengan cepat, tidak seperti sesi wawancara dengan Aiman Wicaksono tadi. Pintu berderit lagi, dokter Vida masuk. Dia masuk bersama perawat hijau muda a.k.a. Aiman Wicaksono. Yang berbeda, kali ini sang perawat kalem, tersenyum hangat, membenarkan lagi posisi kaki, meninggikan letak bantal. Dokter Vida memasangkan alat seperti oksigen di hidungku (aku tidak bisa memiripkannya dengan siapa-siapa).
Dokter Vida        : “saya pasangkan ya, tenang aja”
Aku                    : “He’em” (kedengaran sengau)
Dokter Vida        : “Udah, kayak tidur aja, rileks...”
Aku                    : “He’em” (lebih sengau karena sekarang aku menahan napas, ada gas yang melewati ‘pembungkam’ mirip oksigen ini, baunya menyengat)
Dokter Vida        : “Kenapa?”
Aku                    : “Eng mm em ekk” (sekarang jadi sempurna gagu, nggak bisa ngomong, lha dibungkam sama alatnya gini, aduh dok, gimana to, ya kan jadi nggak bisa jawab dok)
Dokter Vida        : “Eh, kenapa? Takut?”
Aku                    : “Mm mm mm” (sambil dadah dadah, tadinya mau ngomong ‘enggak’)
Dokter Vida        : “Lho, nggak usah takut, tinggal dihirup,”
Aku                    : “....” (Oo dihirup, haha mana aku tahu)

(belum lihat jam)

Aku sudah keluar dari ruang B, tapi masih di ‘lobi’ ruang bedah. Aku berharap yang pertama kulihat adalah Lukman Sardi, penasaran sekali ingin menanyakan film terbarunya. Atau minimal dokter Vida, aku ingin meminta maaf telah membuatnya bingung atas urusan anestesi tadi. Tapi malah Aiman Wicaksono. Takut ditanyai banyak, aku alihkan perhatianku ke kaki kiri yang sekarang berbalut fiber putih dari bawah lutut hingga ke telapak kaki, menyisakan jari-jari kaki yang bebas bernapas. Penasaran, aku angkat, dengan bodoh dan kesadaran seadanya, bertanya: “ini udah?”

Aiman menjawab dengan tersenyum, “Sudah, ini nunggu pengaruh obat biusnya hilang, terus kamu bisa pulang.” Hh, iya luuh iya, mana betah juga di sini, betah ding kalo ada Lukman Sardi. Hhe. Dokter Vida mendekat, menanyakan kabar dan mengatakan bahwa mungkin sedikit pusing, tapi sebentar juga akan hilang. Dia menyuruh Aiman Wicaksono mendorong ranjangku keluar. Di depan pintu persis sudah ada ibu. Cantiknyaa, dia tersenyum lega sekali.

21. 12 WIB

Ini semacam ruang transit pasien yang habis dari ruang bedah kayaknya. Aiman beringsut sebentar mengambil plastik kresek. Katanya kalau aku mual tinggal bilang, kalau mau muntah tinggal bilang. Iya, emang pusing. Bau obat bius tadi juga seperti masih berputar-putar di sekitar hidung, polusi sekali. Pakdhe yang ikut mengantar Ibuk dan aku sekarang bertanya pada Aiman bagaimana proses pemasangan gips. Aku mau ikutan tanya, harus ada pembalasan dendam beberapa pertanyaan untuk Aiman Wicaksono ini. Tentang kenapa tadi biusnya nggak lewat suntik, tentang bagaimana obat bius bisa bekerja.

Dia menjelaskan tentang penghambatan impuls, aku bertanya apakah itu tentang neurotransmitter. Apakah tentang Ca2+ dan Na, apakah itu efeknya ke cerebrum atau cerebellum atau keduanya, dan apakah target obat bius lokal dan bius total itu ke suatu hal yang sama atau tidak. Dia menjawab tangkas, menjelaskan singkat. Jangan-jangan benar penyiar berita di Seputar Indonesia itu. Aiman Wicaksono menyuruhku untuk sekolah di kesehatan kalau pengen tahu lebih banyak. “Ya kalau perawat kan lebih ke prakteknya sekarang, udah nggak belajar teori-teori kayak dulu pas kuliah. Pengen tahu ilmunya? Kuliah di keperawatan atau kedokteran besok,”

21. 20 WIB

Tambah kleyeng-kleyeng, tapi kata mas perawat hijau muda Aiman Wicaksono ini aku sudah boleh pulang. Ibu menolak aku dirawat inap, 2 jam perjalanan akan menyulitkan pergantian shift jaga. Ya Allah, visioner. Senang sekali berpindah ruangan, aku punya kesempatan bertemu Lukman Sardi lagi kan.. Tapi sampai di luar rumah sakit, detik-detik dimasukkan ke bagasi, eh mobil, dokter Lukman Sardi nggak kelihatan. Aiman Wicaksono berkata beberapa hal penting seperti harus hati-hati karena jika jatuh atau terpeleset bisa disposisi lagi dan harus kontrol dua minggu sekali. Mungkin bisa bertemu dengan Lukman Sardi lagi kalau pas kontrol. Perawat Aiman Wicaksono kemudian memindahkanku ke kursi mobil yang sudah diatur derajatnya, biar bisa buat tiduran. Sambil memperbaiki sprei tempat tidur yang aku gunakan, ia bergumam pelan, tapi sayang terlalu jelas aku dengar, “Berat badan kamu berapa , jan abot lho.."


*fraktura SMA: hasil obrak abrik file jaman kuna baheula


About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 comments: