Antagonis.

0
05:49

Oh aku tahu sekarang, jadi begitu cara bekerjanya. Kamu memilih di tempat yang aman. Tempat di mana bebas mengkritik: Menyuarakan kekurangan yang lain, menyuarakan kelemahanku. Dan berteriak setelah itu. Jika posisimu salah, ah kau kan begitu memesona, hingga sesentipun kau tak dianggap cacat.

Satu, oh setengah tahun yang lalu, aku begitu tak berdayanya di atas motor, 50 km per jam memutari gejayan. Menangis. Aku, menjijikkan sekali. Menangis hanya oleh karena tuduhan tidak bermutu yang dengan beruntung, sampai padaku. Mm, ijinkan aku coba mengingat kembali, agar ini yang aku kenang ketika aku mengingatmu. Haha, terlalu kejam? Kau pikir kau apa hah, kalau aku kejam. Mari kita katakan, ada pihak ketiga, untuk menghargai jasanya, membelamu.

Beberapa hari sebelum adegan mengitari gejayan, kamu mengirim pesan singkat. Mengajak sharing, mengajak bertemu untuk bercerita, berbagi, dan katamu, berguru. Aku membalas: aku bisa hari Senin. Hari Senin aku tiba di waktu yang aku janjikan, di tempat yang aku janjikan. Kamu tidak datang, aku SMS. Kamu tidak membalas. Aku lalu kuliah. Aku pikir itu mungkin saja berarti kamu sudah lega, tidak usah sharing. Kamu sudah menemukan solusi, tidak usah bertanya padaku. Tapi, suatu hari, pihak ketiga tiba-tiba datang padaku, meminta bertemu. Aku ngelesi, jadi aku tidak datang. Besok paginya aku bertemu denganmu, menawarkan kalau memang kamu mau cerita. Kamu bilang kamu sibuk. Lalu tidak sengaja bertemu pihak ketiga, mengklarifikasi. Aku bukannya paham malah bingung, coba merecall memori yang sudah mentok ini. Kata pihak ketiga, kamu menyampaikan padanya, “Lah, udah males aku sama Mbak Rahma mas. Ta hubungi nggak bisa-bisa, mau cerita nggak jadi-jadi, eh tadi dia mau minta cerita, ya males udahan.”

Singkat cerita, aku nyambung, memoriku masih bisa dikerok. Ini, kalau pelajaran di TPA dulu yang disebut adu domba. Tapi aku sudah tidak peduli namanya, aku hanya melabeli serangkaian peristiwa itu, dan kamu, sebagai antagonis. Pihak ketiga lalu berujar bahwa harus selalu ada dan bukan malah tidak peduli dengan kamu, seorang adik. Tolong sebentar saja jelaskan padaku bagaimana cara kerja kita memesan makanan. Kita lapar, lalu pergi ke warung, dan bilang ke abangnya kalo kita mau makan bakso. Percayalah, sedekat apapun abang warung dengan pembeli, dia tidak akan tahu isi hati mau makan apa kan? Bagaimana bisa dikasih bakso kalau kita saja tidak bilang kita mau makan bakso? Maka jangan salahkan kalau abang warung akan diam saja atau justru salah memberikan makanan. Alih-alih bakso, ia hanya menyuguhi nasi kucing.

Aku sudah selesai dalam urusan merangkai benang merah, sudah kupintal. Tapi aku menyerah dalam hal ‘memahami’ apa maumu. 

About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 comments: